RIVAL

1.3K 44 4
                                    

DANIEL POV

Dengan mengacuhkan gue, Risa langsung terduduk di bangkunya. Memasukkan sebagian buku ke kolong meja, lalu menidurkan kepala di atas meja. Di telinganya rapat terpasang sebuah earphone bermusik keras yang selalu rutin ia dengarkan di pagi hari. Mungkin malas mendengar ocehan dari gue. Gue menggoyang goyangkan badannya, menarik sedikit ujung rambutnya agar dia merasa terganggu. Tapi Risa hanya terdiam. Seperti mati kaku.

Gue yang terduduk di bangku Rendi, bersama Iko dan Aji hanya memandangnya acuh dan melanjutkan kegiatan kami bermain gitar. Ini adalah salah satu rutinitas gue setiap pagi,sembari menunggu bel masuk sekolah, gue dan geng koplak di hadapan gue ini selalu menyanyikan dengan random lagu dengan bantuan gitar gue yang selalu gue bawa setiap hari.

Kenapa nggak pernah di tinggal di kelas? Bahaya. Karena di sekolah gue banyak barang-barang berharga yang belakangan ini hilang. Dan gue nggak mau gitar mahal gue menjadi sasaran selanjutnya.

Saat suasana kelas sedang heboh dan riuh karena ada pr plus ulangan Kimia di jam pelajaran pertama, grup musik gue mengiringi kesibukan para siswa lain dengan menyanyikan lagu pembuka yaitu zona nyaman, dengan iringan gitar dari Aji. Dan curut-curut lain yang bernyanyi, termasuk gue.

Sembiluuu......

yang dulu......

biarlah....

berlaluuu......

bekerja bersama hati... kita ini insan bukan seekor sapi...

"WOY BERISIK."

Lagu kami terhenti seketika saat Rini berteriak dengan hebohnya karena panik menghadapi UH kimia yang sudah di depan mata. Gue, Aji, dan Iko saling tertawa lantas menghentikan kebisingan karena takut kalau sudah berurusan dengan Rini. Dia cewek paling ditakuti di kelas . Pasalnya, kalau sudah berurusan dengan Rini, siap-siap saja bakalan ditagih uang kas yang sudah menumpuk. Karena itu kami memilih diam.

Tak berselang lama pun, bel berbunyi. Menyisakan debaran di hati masing-masing menjelang ulangan. Aji sudah mengeset tempat duduknya menjadi di sebelah gue, dengan Bimo, cowok berbadan gede yang berpindah di depannya. Setelah memastikan bahwa posisinya aman untuk menyontek. Aji tersenyum, menaikkan sebelah alisnya ke arah gue pertanda aman.

***

Gue baru saja selesai latihan futsal. Lapangan sekolah dan koridor sudah terlihat sepi. Semua murid sudah pulang sejak tadi. sementara futsal mengambil waktu lama untuk latihan karena akan segera menghadapi turnamen cup beberapa hari lagi.

Gue sebagai kapten dari tim gue nggak mau menelan kekalahan mentah-mentah sehingga yang bisa gue lakukan adalah mempermatang strategi dan memperbanyak jadwal latihan.

Selesai mengambil barang-barang di lapangan, gue berniat naik ke lantai tiga untuk mengambil gitar di kelas yang gue tinggalkan. Aji dan Iko baru saja pulang. Menyisakan gue bersama beberapa orang penjaga sekolah.

Kelas kosong. Dengan sampah berserakan dan bangku yang acak-acakan. Gitar gue berdiri di belakang kelas, persis di samping bangku gue. gue menghampiri, mengecek apakah ada lagi barang yang tertinggal, tapi nyatanya aman.

Saat gue ingin melangkah, sudut mata gue menangkap sesuatu yang muncul dari kolong meja Risa. Sebuah map dengan beberapa lembar kertas putih di atasnya. Penasaran, gue mendekat dan mengambil benda itu. membacanya satu persatu lantas mengernyit.

Ini adalah beberapa lembar data diri untuk pengajuan beasiswa perguruan tinggi negeri. Semuanya masih kosong, yang artinya belum diisi sama sekali oleh Risa. Mulai dari pas foto, nama, dan persyaratan-persyaratan lainnya.

Gue tertawa sinis. Bahkan gue saja nggak tahu ada kegiatan macam ini dari sekolah. gue membaca lembar selanjutnya. Tertera batas akhir pengumpulan adalah besok. Kalau malam ini Risa belum bisa melengkapi, mungkin besok dia nggak akan lolos. Gue meletakkan lagi kertas-kertas itu di mejanya asal.

Tiba-tiba melintas bayangan Risa di kepala gue. saat ulangan kimia berlangsung tadi, gue melihatnya beberapa kali menghirup ingus. Lalu beberapa kali gerakannya seperti menyeka air mata, seperti sedang menangis.

Mungkin orang lain tidak menyadari. Tapi gue lebih dari sekedar menyadari kalau Risa tadi sedang menangis. Gue nggak tahu apa masalahnya. Tapi hal itu lumayan mengganggu ketentraman gue.

Gue pun kembali melirik tumpukan kertas formulir itu. memungutnya kembali dan berniat mengantarkan barang ini ke rumahnya.

RISA POV

Di SMA, yang menjadi titik klimaks penyiksaan kalian adalah ketika menyiapkan mental menjelang ujian nasional sembari memikirkan rencana apa yang akan dilakukan seusai SMA. Kuliah kah? Bekerja? Menikah? Semua itu masih berupa tanda tanya sebelum kalian sudah benar-benar menjalaninya.

Pasalnya, Orang-orang yang berpikir mereka akan berkuliah pun tak sedikit yang ternyata langsung bekerja atau menikah selulus SMA. Kalau pun kalian memutuskan untuk berkuliah, maka penyiksaan terberat ada di saat kita yang harus menentukan jurusan apa yang akan kita ambil, kampus mana yang akan kita pilih, belum lagi menyesuaikan dengan passion kita, belum juga terjangkit sindrom jaket yang dialami remaja belakangan ini.

Hanya mau masuk kampus bagus dan ternama, tidak peduli mata kuliah sesuai atau tidak dengan bakat dan kemampuan. Bagitulah kira-kira yang akan dihadapi.

Sama seperti aku yang sedang stress berat menghadapi masa-masa SMA menjelang titik akhir. Di saat besok adalah hari penentuan, aku belum memutuskan ke mana aku akan melangkah. Data pengajuan beasiswa pun belum aku sentuh sama sekali. Karena aku masih belum menemukan jawaban kampus dan jurusan apa yang akan aku pilih.

Aku membuka tas. Mencari lembaran kertas referensi kampus berniat untuk kembali membacanya agar mendapat keputusan. Tapi seketika aku menjadi panik saat kertas-kertas itu tidak ada.

Beralih ke meja belajar, mungkin aku meninggalkannya di situ, tapi tidak ada. Di laci meja, di tempat tidur, rak buku, Ah! semuanya tidak ada.

Aduh!

Besok adalah hari terakhir pengumpulan data itu. tapi sekarang pun kertasnya sudah hilang. Aku berlari ke dapur, bertanya ke ibu barangkali melihatnya. Tapi tidak juga. tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku berjalan ke depan, membukanya dan seketika mematung setelah melihat siapa yang datang.

Daniel? sejak kapan cowok ini tahu rumahku? Mau apa dia datang ke sini? mau membuliku di komplek rumahku? Kurang cukup di sekolah? deretan pertanyaan rancu saling bermunculan. Tapi aku hanya berdiam diri mencoba menyembunyikan kebingungan dan kekagetan yang datang dengan bersikap datar.

Daniel hanya menatapku. Dengan pandangan yang juga datar. Terdiam sejenak, melihatku dari ujung rambut hingga kaki lantas mengernyit. Aku tebak dia baru selesai bermain futsal. Rambutnya basah, dengan baju biru gelap dan celana hitam lalu menenteng tas olahraga.

"Mau apa?" tanyaku sedikit sinis saat dia masih berdiam diri tak mau bicara.

"Ini, mau nganterin barang yang sebenernya sama sekali nggak penting buat gue." katanya sambil menyerahkan sebuah amplop coklat. Mataku membulat seketika. Ini lembaran pengajuan beasiswa yang aku cari-cari sejak tadi. aku membukanya, mengintipnya sedikit dan masih lengkap.

"Kalau nggak karena gue, pasti lo nggak akan bisa ikut kan? " tanyanya. Dengan nada yang terkesan sinis. Aku hanya terdiam. Tidak berniat memulai perdebatan.

H"ebat juga lo, bisa ambil hati guru. Nggak semua orang kan tahu ada kesempatan seperti ini? bahkan gue aja nggak tahu. Sengaja? Cuman murid pinter aja yang bisa dapet kesempatan?" Daniel tertawa sinis. Membuatku juga tertawa sinis.

Aku malas berhadapan dengannya. Cowok licik. Diumumkan atau tidak adanya kegiatan ini, itu urusan sekolah. bukan urusanku! Kalau sudah berurusan dengan dia, tidak akan pernah ada habisnya, jalan terakhir yaitu aku harus mengalah.

"Thanks ya." Kataku lalu masuk dan langsung menutup pintu.

X-RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang