SIAL

962 31 0
                                    

DANIEL POV

Futsal sudah menjadi keluarga kedua gue. Tapi sejak tadi gue bahkan nggak fokus dalam permainan ini. untuk sekedar menikmati saja, gue nggak bisa. dan itu terbukti dari tindakan gue yang mentah-mentah membiarkan gawang dibobol lawan. Serta banyak kesalahan-kesalahan kecil lain yang membuat gue terlihat kacangan.

Hari ini, gue stress berat setelah semalam bertengkar hebat dengan Oliv hanya karena masalah sepele yang membuatnya ngambek karena gue tak kunjung membalas panggilan teleponnya. Oke. Memang waktu itu gue lebih memilih game gue yang di ambang kekalahan dari pada menjawab panggilan dari Oliv.

Dan sebagai bentuk pembelaan diri, gue mengarang kebohongan dengan beralasan bahwa HP gue tertinggal di rumah teman. Sebenarnya ini bukan pertama kali gue melontarkan kebohongan-kebohongan serupa. Dengan dipicu oleh permasalahan yang sama pula. Dan sepertinya, Oliv sudah bisa membaca kedok yang gue gunakan selama ini.

Tapi apakah salah kalau seorang cowok mita sedikit me time dari ceweknya? Gue juga bukan robot pengangkat telepon yang bisa selalu siaga 24 jam. Ada kalanya gue benar-benar sedang meninggalkan ponsel di tempat yang gue lupa. atau mungkin ponsel gue lowbat atau alasan terakhir karena gue sedang males menanggapi Oliv.

Sebenernya yang gue minta nggak banyak dan nggak rumit pula. Gue hanya ingin dimaklumi saat gue gak kunjung menjawab panggilan darinya. Karena gue juga punya urusan, hidup gue bukan hanya dihabiskan untuk melayani Oliv.

Dan, Aji memanggil, membuat gue menoleh dengan kening berkerut yang belum sepenuhnya lepas dari pemikiran tadi.

Ini adalah jam pelajaran olah raga. Gurunya sedang malas mengajar sehingga tiga jam ini kami habiskan untuk berolah raga bebas. Gue menghalau anak-anak lainnya, memulai game kecil-kecilan sembari melatih strategi penyerangan dan pertahanan untuk lomba futsal mendatang. Tapi sialnya malah gue yang nggak fokus.

Aji melambai-lambaikan tangannya. Gue tahu maksud dari itu. dia sedang bosan dan lelah, lebih tepatnya malas untuk melanjutkan permainan kalau ada yang mainnya sedang asal-asalan---gue.

Istirahat dulu deh, itu refreshing biar ga bosen. Katanya sambil mengarahkan kepala ke tepi lapangan. tepatnya, tempat seorang cewek yang menjadi objek, sedang berdiri.

Gue tertawa ringan. Melihat di sana ternyata ada Risa yang sedang berjalan sendiri, cocok dijadikan sebagai sasaran tendangan manis dari bola.

Gue mengambil ancang-ancang, bertekad sedikit menyanggolkan bola yang gue tendang ke bagian tubuhnya. Dan...

Bola pun melayang. Menghantam tepat di kepalanya. Membuat Risa reflek berjongkok setelah terkena bola. Sial. Gue kurang bisa menilik jarak.

Beberapa orang menoleh ke arahnya. Termasuk gue yang mendadak cemas melihatnya yang berjongkok dan menunduk lama tanpa reaksi. Hening.

Dan Risa tiba-tiba menjerit. Menangis keras sambil memegangi ujung kepalanya yang tiba-tiba berdarah.

Sial. Sial. Sial

***

Gue mendapat skors satu hari. Karena saksi mata melihat gue menendang secara terang-terangan. Memang. Tapi gue nggak bermaksud untuk melukai Risa separah itu. Dan gue juga nggak bisa menjelaskan, mengelak, atau membela diri saat ditanyai oleh guru BK. Karena mau bagaimanapun, niat gue memang disengaja.

Gue dengar Risa dapat tiga jahitan di pelipisnya. Gue terpejam kesal. Menyadari kecerobohan gue. perkiraan gue, bola hanya akan menyenggolnya sedikit di pucuk kepala. Lalu Risa akan menjerit AW, kita tertawa, dan selesai. Tapi nyatanya jauh. Sangat jauh. Perhitungan jarak yang gue perkirakan melesat melebihi itu. dan hasilnya, gue akan pulang ke rumah dengan membawa hadiah surat peringatan.

Bahkan gue baru tahu kalau hanya dari tendangan bola bisa menyebabkan luka jahit.

Hanya ada satu yang gue khawatirkan. Kalau pelatih mendengar kejadian ini, gue nggak akan bisa ikut turnamen cup. Bahkan yang lebih parah, gue keluar dari tim karena sengaja melukai orang.

RISA POV

Perih. Pelipisku masih terasa perih dan berdenyut-denyut. Aku baru saja selesai ditangani oleh dokter yang sedang berjaga di UKS sekolahku. Tiga jahitan di pelipis adalah hadiah yang lebih dari cukup untuk hari ini. mataku masih berkunang-kunang ketika terdengar suara pintu UKS terbuka.

Aku melirik. Sedikit memiringkan kepala untuk melihat siapa yang datang, tapi sia-sia. Pandanganku masih kabur. Hingga akhirnya orang itu berdiri di depan tempatku tertidur, aku baru bisa mengenali bahwa dia adalah Daniel.

Masih dengan seragam olah raganya yang belum ganti dan bau keringat serta matahari, dia berdiri di depanku.

"Gimana, luka lo?" tanyanya. Aku memilih terdiam. Bicara dengan orang seperti dia tidak akan membuahkan apa-apa selain amarah. Aku sudah lelah.

Daniel terduduk di kursi kosong di samping kasur UKS. Lalu melirikku. "Gue nggak berniat bikin lo separah ini."

Aku tertawa sinis. Dari awal, dia memang berniat menendangkan bola dengan sengaja kan?

Gue nggak mengira lo akan dapet tiga jahitan di pelipis. Hening.

Aku masih terdiam. Enggan menjawab.

"Lo bisa ngomong nggak sih? gue sejak tadi ngomong sama lo." Tidak tahan dengan responku yang datar-datar saja, dia berkata sinis.

"Kalau nggak mau minta maaf nggak usah ngomong." Kataku datar. Tidak sedikitpun melihat ke arahnya.

Aku melirik jam dinding yang terpasang. Sebentar lagi jam pelarajan olah raga usai. Digantikan dengan mapel fisika. Rasanya aku ingin sejenak saja terlambat masuk kelas. Mumpung punya alasan sakit.

Di kursi duduknya, Daniel terlihat gelisah. Dia tidak pernah bisa terlambat masuk ke kelas. Ditambah lagi bu guru Fisika akan memberi poin bagi murid yang terlambat ganti pakaian di jam pelajarannya.

Daniel berulang kali melirik ke arah jam dinding. Hingga akhrinya kembali angkat bicara.

"Oke Ris, gue tahu gue salah, gue sengaja nendang bola ke arah lo. Tapi lo tahu apa akibat dari perbuatan gue? gue di skors. gue sepenuhnya bertanggung jawab atas kesalahan gue dan gak mengucapkan sedikitpun pembelaan di BK tadi. dan lo tahu apa yang paling parah? Mungkin besok gue gak akan bisa ikut lomba futsal, atau bahkan dikeluarkan dari tim."

Kali ini, Daniel menatapku. Meski aku tetap mencoba mengalihkan pandanganku darinya. "Gue hanya berharap, lo nggak memperpanjang masalah ini sampai ke telinga pelatih gue. atau gue out. "

Aku memejamkan mata sejenak. Bertekad untuk mengutarakan pembelaanku yang dijadikan objeknya selama ini. kalau selama ini aku memilih menjadi peredam dari ledakan Daniel, kini aku memandang dari sisi yang lain. Mungkin ini saatnya aku untuk ambil bagian dalam pembelaan ini.

"Gue heran aja separah itu kelakuan lo ke gue. padahal kita baru kenal hanya karena sekelas sama lo. Sebenernya gue salah apa?" aku menarik nafas, sambil menata hati agar suaraku yang hampir menangis tidak menjadi parau.

"Lo punya ibu?" kataku yang berhasil membuat Daniel terdiam.

"Bayangin ibu lo, perempuan yang lo sayang, di hina dan dijadikan objek permainan. Apa lo rela?" lalu, "kalau iya, lo memang terlahir untuk jadi pengecut. "

Aku mendengar suara derik kursi dan lantai keramik yang beradu paksa. Sangat keras dan memekakkan telinga. Kursi itu lantas terjatuh, sedikit terbanting.

Daniel berdiri dengan wajah menegang. Sejuta amarah terbesit di matanya. Seberapa keras pun dia berusaha untuk menyembunyikan.

Sepertinya aku telah menang. Setelah menjalankan bidak catur terakhirku dalam pertandingan ini. Ibu adalah hal sempurna untuk setiap manusia. Ia tidak bisa digantikan. Adakah negosiasi yang bernilai lebih tinggi dari pada ibu kita?

"Tahu apa lo tentang ibu?!" jawab Daniel yang lalu melenggang pergi dengan membanting keras pintu UKS.

X-RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang