.
Happy Reading! :D
.
Cast: Hong Jisoo x Yoon Jeonghan
Genre: Angst, Romance
©mokaphie
.
Disclaimer: Seventeen milik orang tua serta keluarga mereka, Pledis, dan Carat-deul tersayang~ *hugkiss* Tapi Jeonghan dan cerita ini punya yang nulis, weh~ :* :v *terbang ke gedung Pledis**
.
."Pinjamkan aku mesin waktu, maka aku akan mengulangnya lagi. Mengulangi semuanya dari awal kembali. Karena seharusnya ini tidak pernah terjadi."
.
.
*Pukul sebelas malam lewat beberapa puluh menit. Lorong-lorong di rumah sakit itu terlihat sepi dan mencekam. Saudara serta sanak keluarga yang datang menjenguk anggota keluarga mereka tak seramai saat siang hari tiba. Staff-staff rumah sakit yang mengambil jam malam pun lebih sedikit jumlahnya.
Namun pria awal dua puluhan itu mana peduli. Pikirannya kalut saat mendapat telepon dari rumah sakit ketika ia hampir terlelap di kasurnya. Ia berjalan cepat menyusuri lorong demi lorong menuju ruang kamar yang dimaksud represionis tadi. Sepatunya berdecit ngilu saat bergesekan dengan lantai. Jas formalnya ia sampirkan di sebelah tangannya. Menyisakan kemeja putih dengan ujung lengan yang digulung sampai batas siku.
"Pasien di kamar nomor 310 baru saja dipindahkan ke ruang UGD, Tuan. Letaknya di lantai satu, lorong paling ujung di sebelah kanan. Tidak jauh dari kamar sebelumnya."
Ia berlari kecil saat ruang UGD itu tinggal beberapa meter dari tempatnya berpijak. Langkah kakinya perlahan melambat dan berhenti pada satu titik. Ia berusaha menetralkan deru napasnya yang terengah-engah. Matanya kian membulat saat beberapa perawat datang dari arah berlawanan. Tiga perawat itu tengah tergesa-gesa mendorong ranjang seorang pasien yang tergeletak lemah tak berdaya. Seorang perawat lagi memegangi selang infus pasiennya.
"Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu. Percayalah padaku."
"Ya, aku percaya padamu, Jisoo."
Jisoo mengangkat wajahnya saat seseorang yang menjadi lawan bicaranya itu tersenyum menyejukkan padanya, seolah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja. Tapi Jisoo tau betul, ia sudah terlalu lama memendam rasa sakit itu sendirian. Sungguh, dalam kondisinya yang hampir sekarat itu, dia bahkan masih bisa tersenyum. Terkadang Jisoo bertanya dalam hati, penderitaannya terlampau berat untuk dipikul seorang diri, bahkan jika Jisoo berada di posisinya sekarang, ia lebih memilih untuk bunuh diri sejak lama. Mungkin Tuhan mengutuknya, atau sedang memberinya cobaan. Tapi, bukankah rasanya ini terlalu berlebihan?
Sekalipun hatinya sesuci malaikat dan setahan logam anti karat, Jisoo sebenarnya berharap agar dia berhenti tersenyum. Meski sekali saja. Memang raut wajah macam apa yang ditunjukkan orang lain saat mereka kesakitan? Mengeluh, mengumpat, menangis, dan berteriak histeris? Ya, ya, sesuatu seperti itu pasti. Tapi dia? Tidak. Dia sakit dan dia terus tersenyum. Itu menyedihkan. Dan Jisoo membencinya.
Helaan napas kasar keluar dari lubang hidung pria awal dua puluhan itu. Ditatapnya lagi seseorang yang terbaring di ranjang dengan selang infus pada nadinya.
Dia seorang yang peka dan sangat berempati, jadi tatapan Jisoo bisa diartikan sebagai penjamin kepastian akan kepercayaannya pada Jisoo. Jisoo meragukannya? Dia pikir tidak. Jisoo hanya mengkhawatirkan keadaannya, itu saja. Berulang kali kalimat seperti, 'Aku akan baik baik saja, Tuhan selalu ada di sisiku, atau jangan terlalu mengkhawatirkanku' sudah sering ia ucapkan. Tapi dia tak yakin Jisoo akan sanggup menghadapi semua ini. Justru, yang terlintas dalam benak dan hatinya adalah keadaan Jisoo sendiri-bukan dirinya yang sekarat. Apa dia bisa makan tepat waktu? Apa dia akan begadang semalaman lagi? Dia bisa membereskan apartemennya di hari libur? Berapa batang rokok dan kopi bungkus yang akan Jisoo habiskan kalau ia tak ada?
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashback: Sunshine
FanfictionSummary: Karena Jisoo adalah si bunga matahari yang tak bisa hidup tanpa sang matahari. Lalu bagaimana jika mataharinya malah pergi dan menghilang? "Aku seperti bunga matahari yang selalu mengikuti pergerakan matahari." "Siapa mataharinya?" "Kam...