Chapter 2: Nona Mesin Kasir

376 46 6
                                    

*
.
.

Ketika aku menekan tombol 'play' pada masa laluku, sanggupkah aku untuk menekan 'pause' bahkan men−closenya? Haha... Kurasa tidak."
.
.
*

"Jisoo-ya, aku sudah mengatakannya berkali−kali padamu."

"Kapan? Aku tak mendengarnya."

Jisoo tersenyum manis pada kekasihnya yang merajuk sebal, bibirnya dimanyunkan. Sengaja mengerjainya di pagi hari mungkin bisa membuat moodnya semakin bagus.

'Cantik'. Jisoo membatin.

"Jangan pura-pura tidak tau. Kopi itu tidak bagus untuk kesehatanmu. Aku sudah menaruh beberapa kotak daun teh ke dalam lemari dapurmu, tapi kau tak meminumnya. Menyebalkan. Apa-apaan itu?"

Jisoo membalikkan badannya. Memunggungi si pria cantik yang sudah menjalin kisah cinta dengannya untuk kesekian tahun.

"Yak! Jisoo-ya! Jangan menghindariku!"

Baju Jisoo ditarik kasar. Tidak kerahnya, lengan bajunya, atau ujungnya sekalipun terus- terusan ditarik.

"Jeonghan, berhenti. Nanti bajuku melar."

"Biar saja. Siapa suruh kau tak meminumnya? Padahal aku sudah baik hati membawakannya untukmu."

"Tehnya pahit. Aku tidak suka."

"Lalu apa bedanya dengan kopi yang biasa kau minum? Keduanya sama-sama pahit."

"Tapi pahitnya itu berbeda, Jeonghan. Aku lebih suka rasa pahit kopi ketimbang teh."

"Kau bisa menambahkan beberapa sendok gula."

"Aku tetap tidak suka."

Mereka lalu terdiam beberapa lama. Jisoo masih memunggungi Jeonghan, sementara Jeonghan memandangi pundak tegap Jisoo yang membelakanginya. Berusaha tidak peduli dengan obrolan mereka yang sama dan terus menggantung hampir setiap harinya, Jeonghan mengambil remote televisi di meja nakas. Bermaksud menambahkan volume berita pagi hari ini.

Jisoo menopang dagunya di tangan sofa, matanya menelisik ke belakang sesaat ketika suara pembaca berita ramalan cuaca hari ini mengeras, mengisi ruang hening yang tercipta. Dilihatnya, Jeonghan yang nampak fokus memperhatikan sederet kata yang fasih diucapkan si pembaca berita.

"Kami menghimbau agar Anda para pemirsa, selalu keluar rumah dengan memakai mantel atau sweater tebal, payung, dan meminum minuman hangat untuk menjaga stamina tubuh Anda tetap stabil. Karena kesehatan adalah sesuatu yang mahal dan begitu berharga,"

Jisoo merasakan pergerakan di sebelahnya, sofa yang diduduki Jeonghan perlahan mengembang ke atas seperti kue bolu yang dipanggang dalam oven. Jeonghan tiba-tiba pergi melengos begitu saja. Mata Jisoo mengikuti Jeonghan, kekasihnya itu pergi ke dapur. Mungkin dia mengambil segelas susu karena haus, pikirnya.

Tapi seingat Jisoo, Jeonghan baru saja tiba di apartemennya sejam yang lalu, dia langsung pergi ke dapur tanpa terlebih dulu membangunkannya di kamarnya. Padahal Jisoo sudah bangun bahkan sebelum Jeonghan datang ke apartemennya. Dan yang selanjutnya yang bisa Jisoo dengar adalah suara pantat teflon yang bergesekan dengan api kompor. Jeonghan pasti memasak sesuatu. Dan bodohnya, Jisoo malah sarapan duluan, dengan menu secangkir kopi pahit dan roti selai kacang.

Jeonghan pasti marah, dan ia sungguh marah sekarang. Bukan karena ia sarapan duluan dan menghamburkan makanan yang sudah Jeonghan buat. Jeonghan malah pernah bilang padanya, akan lebih bagus kalau Jisoo bisa sarapan lebih awal bahkan membuatnya sendiri. Tapi ini karena menunya yang tidak sehat. Dibandingkan makanan yang itu-itu saja, Jeonghan akan memasakan menu yang bervariasi setiap harinya. Dan Jisoo menyukainya karena rasanya lezat.

Flashback: SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang