Chapter 3: Aku Ingin Mengenalmu Lebih Dekat

291 33 12
                                    

*
.
.

Aku tau aku sudah terjatuh sejak awal. Terjatuh dalam sekali. Lantas, kenapa aku masih mendekatimu saat itu?
.
.
*

Selain baik hati, Nona Mesin Kasir ternyata juga mudah untuk diajak berbicara dengan orang yang baru dikenalnya. Tentu karena Jisoo membuka percakapan lebih dulu. Sepanjang mengelilingi toko bunga ini, Jisoo dan Nona Mesin Kasir membicarakan hal seperti asal-usul Jisoo yang lahir di Los Angeles. Meski pernah menghabiskan separuh masa remajanya di Korea, pemuda dengan senyum seteduh rintik hujan itu lupa dengan beberapa kosakata bahasa Korea. Pengucapannya memang fasih, tapi Jisoo buruk dalam membaca tulisan hangul, dia yang mengakuinya sendiri.

Lagipula semenjak kuliah, Jisoo tidak lagi tinggal bersama orang tuanya. Melainkan pindah ke apartemen setelah mendapat pekerjaan. Orang tua Jisoo itu kaya akan harta, namun anak semata wayangnya itu malah menyusahkan dirinya sendiri. Jisoo bukannya tak menghargai hasil kerja payah orang tuanya untuk membiayainya, ia hanya ingin belajar mandiri dan memulai segalanya dari nol. Dan karena ia senang mengambil foto, ia pun bekerja sebagai fotografer di salah studio foto tak jauh dari apartemennya.

Sedikit informasi yang diberikan Nona Mesin Kasir saat ia bercerita mengenai dirinya-dia tak bercerita sebanyak Jisoo, omong-omong. Toko bunga 'Cheonsa's Flower' ini adalah miliknya. Tepatnya, usaha bisnis yang diwarisi keluarganya turun-temurun. Dia bilang semua keluarganya menyukai bunga. Nona Mesin Kasir pun begitu. Tapi bukannya meneruskan usaha keluarganya, Nona Mesin Kasir membuka cabang sendiri di Seoul. Semuanya berasal dari modal miliknya, termasuk membeli ruko dan merenovasinya ulang.

Hal penting yang membuat Jisoo terkejut selanjutnya adalah tentang si Nona Mesin Kasir, yang ternyata laki-laki. Jisoo sempat menolak kenyataan itu dalam hatinya, dia terlalu cantik untuk disebut laki-laki. Coba lihat helai rambut pirangnya yang kadang terjatuh menutupi sebagian wajahnya, atau senyum indahnya yang secerah sinar mentari itu. Bukankah itu terlalu sempurna?

Kedua pria dengan outfitnya yang berbeda malam itu kembali berjalan, menyisiri satu demi satu pot bunga dengan jenis dan warna yang berbeda. Jisoo dengan mantel tebalnya masih menyeret kopernya sedari tadi. Sementara si Nona Mesin Kasir sudah seperti pemandu wisata sekarang. Dia berjalan di depan, dan Jisoo mengekorinya. Setiap kali melintasi pot bunga-bunga, Jisoo selalu bertanya 'Bunga apa itu? Itu terlihat bagus' yang dengan sabarnya dijawab oleh Nona Mesin Kasir. Beserta bahasa bunganya.

"Yang ini mawar merah, kan?" Jisoo berhentmenyeret kopernya dan menundukkan badannya. Dilihatnya dengan seksama pot berisikan bunga mawar merah di rak kedua barisan paling kanan. Jeonghan yang berdiri beberapa meter di depannya terpaksa harus menyamakan langkahnya.

"Ya, itu mawar merah." Mereka melakukannya hampir seperempat jam yang lalu. Dan Jeonghan mulai kesal.

'Pelanggan ini niat membeli tidak, sih?'

"Aku sering melihat yang seperti ini di film-film romantis yang pernah kutonton. Bahasa bunganya adalah pernyataan cinta, kan?" Jeonghan melihat tatapan si pemuda yang begitu antusias dengan mawar merah. Kalau memang dia suka mawar merah, kenapa tidak bilang saja dari tadi? Jeonghan memutar matanya bosan. "aku benar, kan?"

Jeonghan mengangguk saat pria berambut kecoklatan itu menoleh ke arahnya. "Kau bisa memberikannya pada kekasihmu, atau orang yang kau sukai. Karena sebentar lagi Valentine, stok bunga mawar di toko ini sering habis bahkan sebelum hari Valentine itu tiba."

"Sungguh?" Jisoo nampak terkejut. Antara merasa ngeri dan takjub. Orang-orang yang sudah berpasangan itu terkadang menyeramkan juga. Padahal itu hanya bunga. Daripada membeli bunga yang bisa membusuk kapan pun, memberi barang yang jangka pakainya lebih awet itu jauh lebih berguna.

Flashback: SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang