Bagian Satu

290 24 2
                                    

"Miss White, kurasa aku mulai menginginkanmu". Oh, bagus sekali, Tuan Playboy Bajingan Senior. Entah mengapa panggilan sepanjang itu masih kurang lengkap untuk menggambarkan tabiat pria di hadapan seorang gadis dengan sedikit saliva si pria membekas di bibir penuhnya.

Gadis manis itu tersenyum, pipinya merona semu. Ia kembali menuangkan sampanye dalam botol ke gelas pria itu hingga hampir terisi penuh. Cih, gadis itu bergidik ngeri atas tindakannya sendiri, bertingkah manis dan lemah lembut di hadapan seorang pria yang gemar menggoda wanita bar kemudian menciumnya memang sungguh menjijikkan.

"Ambil lah ini, sayang," ujar si pria. "Hanya untukmu". Ia mengedipkan sebelah mata, lantas menyodorkan sebuah kotak lebar berisi perhiasan yang baru diraih dari saku celana.

Maka tersenyum penuh seringai lah gadis dua puluh tahunan itu—seperti malam-malam sebelumnya, ia segera memasukkan kotak itu dalam clutch nya yang berkapasitas cukup luas.

"Halo". Gadis itu menempelkan ponselnya di sisi kanan kepala. "Ah, baiklah, Ibu. Aku akan pulang sekarang," lirihnya sambil berangguk kecil penuh sandiwara.

"Maaf Tuan Junmyeon, ibu sedang sakit, aku harus pulang sekarang". Ia berdiri, menarik bagian bawah dress selutut nya agar tak terlalu mengerut.

Pria itu sejenak mengamati wajah ayu gadis semalamnya itu—atau mungkin dua malam mengingat besok mereka akan bertemu lagi sesuai perjanjian—sebelum akhirnya bergestur setuju.

"Tak apa, Baby Girl. Jangan lupa kencan besok di bar ini lagi," ia mengelus lengan gadisnya dalam keadaan mabuk dan sepertinya si cantik bernama Soojung itu merasa ingin muntah sekarang.

Tubuh lampai gadis dibalut dress merah itu hilang dari pandangan begitu sampai di balik pintu bar, high heels setinggi tujuh senti pun samar berderap di lantai.

*****

Memoles wajah—menggoda—menahan muntah—kemudian meminta uang sepertinya sudah mendarah daging pada diri Soojung. Hal-hal menjijikkan yang sudah berbaur menjadi satu itu telah dilakoninya selama lima tahun sebagai agenda malam. Dan sebutan berakting atas kegiatannya rasanya lebih enak didengar dibanding menipu—karena selalu kabur tiap kali lembaran uang sudah berpindah tangan.

Alasannya, ia tak punya koneksi. Orang tua yang sudah bercerai dan tak mengurusnya sejak usianya delapan belas tahun membuatnya tak memiliki pendidikan yang layak dan arah tujuan jelas.

Sebaliknya, puluhan ribu won yang sudah menebal di dompetnya sudah lebih dari cukup untuk membayar sewa kontrakannya tiap seperenam tahun.

"Hei, kau melamun saja! Aku akan mengurangi fasilitasmu jika uangmu masih kurang!" wanita berumur bertubuh gempal yang tak lain pemilik kontrakan nya mengetuk meja dengan keras.

Soojung terdiam menunduk, baru menyadari jika biaya sewa kontrakan bahkan masih dibayar separuh harga.

Seraya mengelus tengkuk lantaran bulu kuduk nya merinding akibat tatapan tajam empunya rumah, ia memikirkan siapa lelaki buaya yang akan ditipu lagi meski rasanya sudah hampir semua pernah menjadi korban nya di negeri ini, alih-alih memikirkan seberapa pesat intelijensi playboy korea berkembang dalam menghindari penipuan hingga beberapa klien nya sebulan terakhir belum juga mentransfer uang muka.

"Berikan aku waktu seminggu, Nyonya Oh". Sial, batinnya merutuk. Mungkin dirinya akan berakhir menjadi gelandangan dan tinggal di pinggir jalan.

"Baiklah, seminggu. Ingat jika kau tak bisa kabur kapan saja! kau sudah berhutang seratus ribu won padaku!".

Seratus ribu won.
Bekerja di toko? well, waktu seminggu pasti tak mampu mengumpulkan uang sebanyak itu. Atau mengorbankan kegadisannya? itu pasti solusi instan. Ah, omong kosong. Ia sudah mulai gila.

*****

Keesokan malamnya Soojung memoles wajahnya dengan bedak tipis, perona pipi, eyeliner, serta bibirnya dengan lipbalm warna cerah yang menampakkan kesan natural. Kali ini ia pergi ke komplek club malam di daerah Itaewon dan mencari salah satu tempat berlabel 'karaoke'.

"Hei, Miss White! kau mau masuk karaoke? aku akan menemanimu malam ini, sayang...," seorang pria mabuk terus berceloteh jalang di trotoar sedangkan Soojung hanya mendengarnya sebagai 'blablabla'.

"...ayolah nona, biar kulihat...". Ingatkan Soojung untuk menghindari makhluk sebangsa ini di dalam tempat karaoke nanti.

Pria itu meraih lengan Soojung dan mencengkeram nya dengan kuat. Soojung meronta minta dilepaskan, pemabuk yang merupakan pengusaha bangkrut akibat terlalu sering bermain wanita itu bukan incarannya malam ini.

"Enyahlah, bangsat!" sebuah seruan dilantangkan dengan suara khas, sosok yang berlagak seperti pahlawan kemalaman itu muncul dari belakang Soojung dan langsung menghajar si pemabuk tepat di wajahnya.

*****

"Siapa kau?" Soojung bertanya malas. Ia mengamati ujung kaki sampai ujung rambut pria itu, membuatnya menyimpulkan jika dirinya seorang pria berandal setengah baik.

"Aku Kim Jongin". Ia tersenyum getir. "Kau tak seharusnya memakai pakaian seperti itu dan berada di Itaewon malam-malam jika tak ingin diganggu".

Yah, tak terlalu berandal—mungkin. Positifnya ia masih mengerti sopan tidaknya penampilan seorang wanita.

"Aku mencari uang".

Benda paling laknat itu membuatnya tampak seperti budak harta dan menyatakan secara terang-terangan di hadapan seorang pria separuh asing.

"Ya, kau pasti menjual diri," sahut Jongin. Dengan sedikit menyesal, ia pergi begitu saja dan memasuki gang sempit di sebelah barat. Pria itu berjalan menuju sebuah truk pengangkut bir sedangkan Soojung mengekor di belakang.

"Jangan ikuti aku. Aku tak butuh penghibur, lagipula aku hanya ingin kau tau truk ini bahkan kubeli karena sudah bekas". Jongin hendak membanting pintu mobil tuanya sebelum Soojung menahan sebisa tenaganya.

"Dengar, aku mungkin memang jalang, tapi masih gadis jika kau ingin tau. Yang kubutuhkan sekarang hanya tempat tinggal".

Dan Jongin tak terlihat seperti pria bernafsu yang ingin memanfaatkan tubuhnya andai mereka tinggal serumah.

"Aku akan bekerja untukmu, gratis. Mencuci, membersihkan, dan juga memasak, aku bisa melakukannya".

"Pergilah! masa bodoh, itu hidupmu! apakah diriku tampak membutuhkan seorang pengurus rumah dan mampu memberinya makan?" Jongin membentak, wajahnya melengos. Tentu saja ia tak semudah itu percaya pada wanita berpakaian kurang bahan di Itaewon, selain dirinya memang tak membutuhkan pekerja.

"Aku mohon, beberapa hari saja dan aku berani bersumpah sama sekali tak menipumu".

Jongin membanting pintu, Soojung yang terkejut sedikit mundur seolah terpental ringan. "Aku janji," lirihnya, hampir tak terdengar.

Jongin menumpukan kakinya di atas pedal gas setelah menghidupkan mesin, kemudian menginjaknya dan mobilnya mulai terpacu pelan.

"Baiklah". Soojung berpaling, ia melangkah kecil menuju jalan sempit di depan truk Jongin, berdiri tegak disana. Sorot lampu depan mobil menyala terang, memperlihatkan cairan serupa kristal bening yang mengalir dengan lembut dari ujung mata Soojung.

Ijinkan ia mengucapkan ratusan atau bahkan ribuan sumpah serapah mengenai kejalangannya. Tak mengerti semahal apa kehidupan saat yang diketahuinya hanya tentang gemerlapnya lentera bar dan menerima uang hasil rayuan. Apakah mati lebih baik? biarkan ia segera tau jawabannya dengan merasakan sakit di sekujur tubuhnya yang dilumuri darah akibat benturan keras.

"Kau gila?!" pekik Jongin.

Telinga Soojung mendadak tuli serentak dengan pandangannya mengabur menghadap jalan sempit beraspal di bawah heels nya. Ia berharap jika kehampaan itu menjadi pemandangan terakhir dan bukannya lelaki konglomerat pemain wanita.

Kehidupan tak penting.
Tidak, hidupnya lah yang tak penting.
Dirinya pun juga tak penting.

—lanjut or?

oh, it's alright. just bye.

Helter SkelterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang