Kejutan 'Tak Terduga (Bagian 2)

3.6K 256 8
                                    

Aku menatap horror Naya. "Jadi perempuan jangan sadis dong," ucapku pada Naya sambil menutupi kepalaku dengan bantal.

"Kan kamu yang buat aku jadi sadis gini. Makanya, jadi orang tuh jangan rese," balas Naya sambil menjulurkan lidahnya. "Cih kayak ular," cibirku dengan suara pelan. Saat aku mengedarkan pandanganku, terlihatlah seorang perempuan di depan rumah tetangga seberang.

Perempuan itu sedang menatapku dengan pandangan kebencian, aku yang melihatnya jadi takut sendiri. "Perasaan aku baru datang hari ini, kenapa sudah ada orang yang kayak benci sama aku ya? Salahku apa Gusti?" ucapku dalam hati.

Saat aku sedang mengamati perempuan itu, ia langsung berbalik dan masuk ke dalam rumahnya. Wajahnya seperti familiar, apa aku sudah pernah bertemu dengan dia sebelumnya ya?

 Aku pun langsung berpikir keras. "Wajahnya mirip Naya, tapi mana mungkin dia di Surabaya ya? Ah mungkin mirip doang," batinku kembali.

"Eh nay, ngomong-ngomong kamu kelas berapa?" tanyaku pada Naya. "Kelas sebelas," balas Naya singkat. "Sekolah dimana?" tanyaku kembali. "Kok kepo banget, sih?" balasnya dengan kesal.

"Suka-suka, dong. YA TUHAN NAYA!" teriak ku tiba-tiba dengan heboh. "Ngapain sih pake teriak-teriak. Aku tuh gak budeg bego," ucap Naya dengan marah-marah. 

"Iya aku emang bego. Kamu bisa pulang sekarang nggak? Aku mau mandi nih," ucapku pada Naya sambil mendorongnya keluar dari rumah.

"Ih, aku bisa keluar sendiri tahu. Nggak usah pake acara dorong-dorong dong," ucap Naya sambil mencubitku keras. "ADAW!" teriak ku dan dengan secepat kilat, Naya berlari menuju rumahnya. 

Sambil mengelus lenganku yang sudah dijadikan korban kejahatan oleh Naya, aku berlari menuju kamarku.

Dengan cepat, aku pun membasuh tubuhku dan sesudah itu aku langsung berpakaian. "Bodoh, bodoh! Kenapa aku bisa lupa tujuanku ke Surabaya sih? Gara-gara Naya KW 2 jelmaan nenek lampir itu sih!" ucapku sambil memukul jidat berulang kali dan berlari menuruni tangga.

"Eyang, Vandi pergi sebentar ya. Minta restu dulu dari Eyang biar barokah," ucapku pada Eyang lalu mencium punggung tangannya. Eyang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar perkataanku.

Setelah mendapat restu, aku pun dengan secepat kilat berlari menuju rumah Naya. Sesampainya di depan rumah Naya, aku mengatur napas sejenak. Dan sejurus kemudian aku pun berteriak di depan pintu rumah Naya, "Naya! Naya! Main yuk!" Karena tidak ada balasan sama sekali, aku pun berteriak kembali, "Nayaa! Main yuk!"

Sekali lagi ah, "Nayaa! Ma-ADAW!"

Aku pun langsung meringis sambil mengusap-usap kepalaku. Dari atas, tepatnya dari balkon, aku dilempar sandal oleh entah siapa. Dikiranya aku akan menyerah begitu saja apa? Oke sekali lagi, "Nayaa! Main yuk!"

Krieet...

Tuh kan apa aku kata, cepat atau lambat pintu ini pasti terbuka untuk ku. Aku pun mengadahkan kepalaku untuk melihat siapa gerangan yang membuka pintu. Dan tepat saat aku melihat orang itu, sebuah sapu melayang ke arahku dan mengenai badanku. 

Orang jahat itu, memukuliku berulang kali dengan sapu tersebut. "Aduh sakit, aduh. Eh berhenti dong," ucapku sambil berusaha menghindari pukulan demi pukulan.

"Kamu jangan ganggu cucu saya ya! Dasar orang sinting!" ucap Nenek jahat yang tidak hentinya memukuliku. "Ampun nek, saya temannya Naya," ucapku berusaha meyakinkan. 

"Cucu saya nggak mungkin berteman dengan spesies macam kamu, pergi!" balas Nenek jahat sambil terus memukuliku.

"Beneran nek, saya nggak berani bohong sama orangtua!" kataku pada Nenek sambil memasang wajah seserius mungkin. Kemudian Nenek itu pun langsung memberhentikan pukulannya. "Kamu beneran nggak bohong?" tanya Nenek. Aku pun langsung menjawabnya dengan tegas, "Saya nggak bo-"

"BOHONG NEK, AKU NGGAK PUNYA TEMEN KAYAK DIA!" teriak Naya dari balkon kamarnya. Nenek yang tadinya sudah memasang wajah bak malaikat, kini berubah kembali menjadi penjaga neraka. Dengan semakin sadis, nenek memukuliku tanpa ampun.

"Saya paling nggak suka dibohongin. Kamu nggak akan saya ampuni!" ucap Sang Nenek. Aku yang tidak ingin menjadi biru-biru layaknya dipukuli satu kampung, langsung mengeluarkan jurus lari kilatku. 

Aku berlari dengan cepat menuju rumah Eyang untuk bersembunyi, tentunya dengan mengabaikan sumpah serapah yang dilayangkan Nenek Naya padaku.

Sesampainya di rumah, aku langsung menghampiri Eyang. "Ya Tuhan, kamu habis ngapain nak? Udah dibilangin sama Ayahmu kan, kalau di Surabaya kamu gak boleh tawuran lagi. Tapi kenapa kamu kok melanggar perintah Ayahmu itu, Vandi!" ucap Eyang memarahiku sambil menjewer telinga kananku.

Lengkap sudah penderitaanku hari ini, kena marah dua nenek sekaligus. "Vandi gak tawuran yang. Beneran. Vandi jadi kayak gini karena dipukuli sama nenek tetangga seberang pake sapu. Vandi gak bohong yang!" ucapku pada Eyang sambil memasang wajah semelas mungkin.

"Kenapa kamu sampe dipukuli gini?" ucap Eyang terkejut, namun dapatku lihat jelas ekspresi geli di wajah Eyang. Cucu sengsara kok malah dianggap lucu. "Cewek yang Vandi kejar itu cucunya nenek seberang. Tadi Vandi nyamperin dia, teriak-teriak di depan rumahnya. Terus keluar nenek, terus Vandi dipukuli," jelasku pada Eyang.

"Makanya kamu jangan gangguin kedamaian orang yang sudah tua. Kalau Eyang jadi Nenek Dian yah jelas marah lah," ucap Eyang sambil mengelus kepalaku. "Ya sudah, sini Eyang obati memarmu," ucap Eyang sambil membawaku ke ruang tengah. Dan begitulah rintangan kedua mengejar cinta Naya.

___________________

a.n

Hai, gue kembali. Padahal minggu kemarin gue bilang bakal update tgl 13. Maaf ya ingkar janji, keingkaran janjiku ini bikin sebel apa seneng nih? Hihi:)

Entah mengapa, setelah liat comment demi comment, bikin gue semangat nulis. 

So, vomment ditunggu!

My TurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang