Part. I

206 13 7
                                    

FAT(iya)


"Tunggu panggilan berikutnya dari pihak kita ya Mbak, Terimakasih." Aku hanya mampu memberikan senyum terpaksaku saat lagi-lagi kalimat itu yang terucap. Entah ini sudah yang berapa kalinya aku mendengar kalimat penolakan secara halus seperti ini. Dibilang tunggu panggilan berikutnya, tapi nyatanya berbulan-bulan ditunggu ngga ada panggilan apapun. Ternyata bukan cuma laki-laki doang yang PHP.

Jengah sudah pasti, tapi berusaha terus apa salahnya. Usahaku mungkin bisa dibilang tidak salah, setiap hari maksimal tiga surat lamaran pekerjaan aku kirim ke Perusahaan-perusahaan di Jakarta. Namun nihil, sampai sekarang aku adalah pengangguran sejati.

Pendidikan mungkin salah satu faktornya, hanya lulusan Sekolah Menengah Atas bukan lulusan Sarjana yang kayanya menjadi kriteria utama buat melamar pekerjaan.

Tapi, kurasa faktor utama susahnya dapat pekerjaan aku rasa karena... Yah, karena aku ini GENDUT! Terbukti dari teman-teman seangkatan yang sama-sama hanya lulusan SMA mereka bisa dapat pekerjaan. Entah kenapa, ruang lingkup untuk mencari pekerjaan bagi orang seperti aku ini memang terbatas. Semua perusahaan selalu menginginkan wanita yang kutilang -kurus tinggi langsing-. Benar-benar habis kesempatanku.

~♡~♡~FAT(iya)~♡~♡~

"Gimana Iya, keterima?." Tanya Bunda padaku.

"Nanti, tunggu panggilan lagi katanya Bun." Aku tidak bisa menyembunyikan nada kecewa dikalimatku. Aku berniat tidak ingin Bunda tahu akan kesedihanku. Rasanya, sangat mengecewakan Bunda, walaupun aku yakin Bunda tidak berpikir seperti itu. Elusan dikepalaku menyandarkanku dari lamunan. Bunda, menarikku kedalam pelukannya, menyandarkan kepalaku didadanya. Memberikan ketenangan yang sangat aku butuhkan.

"Ngga usah sedih, masih banyak lowongan kerja. Usaha terus pasti dapet, Nak"

"Mau usaha gimana lagi Bun, ini udah dua tahun Iya lulus tapi, belum dapet kerja juga. Temen Iya semuanya udah pada meniti karir, cuma Iya yang masih cari-cari kerja. Iya ngga mampu buat kuliah, tapi Iya juga ngga mampu buat bantu Bunda, Iya ngerasa gagal jadi anak Bunda." Pelukan Bunda semakin mengerat. Pecah sudah semua emosi yang kupendam selama ini. Berusaha tidak apa-apa saat sedang terjadi sesuatu dihadapan Bunda adalah hal yang tidak bisa kulakukan. Bunda selalu tahu dan bisa mengerti dengan pasti apa yang terjadi sebenarnya. "Iya capek Bun, Iya capek jadi cewek gendut. Iya mau kurus, Iya mau jadi cantik."


"Iya dengerin Bunda." Bunda melepas pelukannya. Menghapus airmataku yang berjatuhan dipipi.

"Iya itu cantik, anak Bunda selalu cantik. Iya itu permata bagi Bunda, hidupnya Bunda. Bunda ngga tau apa yang Iya dengar dari orang-orang diluar sana. Tapi, Bunda cuma bilang ke Iya kalau Iya harus percaya sama diri Iya sendiri. Kalau Iya aja ngga percaya sama diri Iya sendiri gimana orang lain mau percaya sama kamu, Sayang".

Bunda menggenggam tanganku, aku merasakan seperti ada energi yang dialirkan Bunda dari genggaman tangan kami. "Lagian Iya, cantik itu ngga harus punya tubuh langsing, kulit putih, tinggi atau yang lainnya. Kecantikan sejati wanita itu adalah hatinya. Percuma kalau dia sempurna fisik tapi hatinya kotor, dan kalaupun dia sempurna fisiknya serta hatinya itu adalah bonus dari Tuhan, Orang yang bijak pasti mengerti akan hal itu. Jadi, Iya ngga harus mengubah apapun dalam diri Iya, karena bagi Bunda, Iya itu kecantikan yang sesungguhnya. Anak Bunda, permata Bunda. Jangan sedih lagi ya?".

Aku terpaku menatap Bunda, Memeluknya dengan erat adalah hal yang harus kulakukan. "Terimakasih Bunda." Hanya itu ungkapan yang mampu aku berikan untuk semua kasih sayang Bunda. Hidup ini akan jadi apa kalau ngga ada Bunda disisiku. Aku Cantik, itu kata Bunda. Mempercayainya adalah kebaikan untukku.

FAT(iya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang