Tangan Aster mengucek-ngucek matanya berulang kali, masih merasa terbius dalam khayalan yang disebabkan oleh kabut tadi. Astaga! Astaga! Astaga! Entah berapa kali dia mengulangi kata yang sama. Batinnya belum bisa percaya dengan mudah. Sesuatu yang dia kenali sebagai gunung dari dalam buku geografi, kini bertengger di hadapannya. Sesuatu yang sangat besar dan lebar. Terdiri dari gundukan benda berwarna cokelat bernama tanah. Pepohonan hijau menghiasi permukaannya. Aster masih tidak beranjak dari tempatnya semula. Badannya lemas, tak sanggup meluapkan kekaguman akan keindahan yang baru saja dilihatnya.
Gunung tersebut sungguh luar bisa besarnya, bahkan yang terlihat itu hanyalah sebagian dari tubuhnya yang terendam dalam laut. Aster memperhatikan dengan seksama. Puncaknya tidak berbentuk segitiga seperti yang guru terangkan. Gunung itu lebih tepat seperti memiliki lubang pada bagian tengahnya. Bagai sebuah mangkuk raksasa yang dibalik. Seakan sedang mewadahi sesuatu di tengah sana.
Mungkin ada sesuatu di dalamnya...
Rasa penasaran membuat Aster memutuskan untuk terbang mendekat. Bahkan jika mampu, dia berpikir untuk bisa menjejakkan kaki dan menyentuh tanahnya. Aster tidak ingin membuang-buang waktu lagi, mengingat jaraknya dengan gunung itu masih cukup jauh.
Perasaan senang luar biasa membuat Aster buta dan tidak sempat memperhatikan sekitar. Pandangannya hanya terfokus pada satu titik yang akan dijadikan tempat untuk mendarat. Tak menyangka sebuah bahaya tengah terbang mendekat dengan kecepatan yang tak kalah tinggi.
Suara nyaring yang terdengar seperti teriakan memilukan mencuri perhatian Aster. Sesuatu yang besar dan bersayap dengan kuku tajamnya siap menerkam. Dengan spontan, Aster membelokkan arah motornya secepat mungkin untuk menghindari serangan. Sayangnya kuku-kuku itu lebih dulu menggores lengan Aster. Memberikan kenang-kenangan yang sangat menyakitkan.
Aster mengaduh, merasakan beberapa pisau merobek daging lengannya cukup dalam. Rasa sakit membuat air mata berkumpul di sudut matanya. Namun, saat itu rasa takutnya jauh lebih besar dibandingkan rasa sakit itu. Aster berusaha mencari tahu benda apa yang telah menyerangnya barusan.
Setelah menengokkan kepala beberapa kali ke sekitar, barulah dia bisa menangkap sosok asli dari benda tersebut. Seekor burung elang raksasa melayang di dekat sana. Sayapnya yang panjang dan lebar mengepak-ngepak di udara. Badannya sangat besar, Aster bisa saja dihabisi dalam sekali telan olehnya. Sejauh yang Aster ketahui dalam buku pelajaran, tidak pernah ada elang sebesar itu. Apalagi yang satu itu memiliki taring layaknya anjing laut dan jambul yang berdiri saat menjerit. Deretan gigi tajamnya terlihat saat burung itu mulai berteriak.
Aster terbelalak, sesaat badannya tidak bisa digerakkan karena takut. Rasa nyeri pada lengan yang mengalirkan darah pun tak dihiraukannya. Teriakan burung pemangsa itu makin membuat darah Aster mengalir deras, tidak hanya dari lukanya melainkan menuju ke kepala. Tangannya bergetar, seakan sudah tidak mampu menggerakkan stir motornya lagi.
Aku akan mati? Aku akan mati! pikirnya dalam hati dengan penuh keputusasaan.
Beberapa saat lagi, burung raksasa pemangsa itu siap meluncur menuju santapan malamnya. Aster meremas lukanya agar segera tersadar dari keputusasaan yang bisa membunuhnya kapan saja. Dia meringis kesakitan, namun kini tangan dan kakinya sudah dapat merespon dengan baik.
Sebelum monster itu kembali menyerang, Aster menginjak pedal gas sedalam mungkin dan memutarbalikkan arah motornya. Satu-satunya tempat yang terpikirkan hanyalah Oakland. Hanya di sanalah tempat aman yang Aster ketahui. Hanya saja, burung itu tak ingin kehilangan mangsanya. Dikepakkanlah sayap panjangnya untuk mulai menyusul Aster. Cakar tajamnya selalu siap untuk menyerang. Berkali-kali Aster membanting stir ke kiri atau ke kanan untuk menghindari serangan sang pemburu.
Perjalanan pulang yang sangat melelahkan dan penuh ketegangan itu terasa amat lama dan jauh. Aster hanya berharap dia tidak menuju ke arah yang salah. Bahkan tidak ada satupun penunjuk arah di sana. Dia hanya mengandalkan naluri semata. Sebuah harapan semakin kuat di saat Aster mulai bisa melihat bayangan menara dari kejauhan, yang sudah pasti berada di Oakland. Masih terlalu banyak hal yang belum diketahui membuatnya tak ingin berakhir dalam perut elang tersebut.
Tampaknya sang pemburu masih tidak ingin melepaskan Aster begitu saja. Kini hanyalah masalah kecepatan. Jika Aster tidak bisa menandingi kecepatan si elang raksasa di belakangnya, maka habislah dia. Tangan Aster mulai licin karena berkeringat. Dia semakin khawatir jika sewaktu-waktu kehilangan keseimbangan karena hal itu.
Sedikit lagi Aster, bertahanlah! Aster menginjak pedal hingga motor melaju dengan kecepatan maksimal. Begitu juga dengan monster yang tengah kelaparan di belakangnya. Perlahan kehadiran menara kota mulai tampak jelas. Di sanalah harapan Aster satu-satunya berada. Dia menuju menara itu tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun. Kurang lebih sejauh enam meter lagi motor Aster akan menabrak menara besi di hadapannya. Namun, dia sama sekali tidak bergeming.
Jaraknya hanya tersisa lima meter dari menara, begitu pula dengan cakar burung di belakangnya. Wajah Aster mulai memucat menatap menara yang semakin membesar. Jaraknya hanya tersisa sejauh empat meter sebelum tabrakan, tiga meter, dua meter, satu meter... dan Aster berbelok dengan tajam ke arah kiri. Burung elang itulah yang kini menggantikan Aster untuk beradu dengan menara. Jerit kesakitan burung tersebut terdengar sebelum akhirnya pergi terhuyung menjauhi kota.
Aster menarik napas lega, dia membiarkan tubuh lemasnya terkulai pada bagian depan motor. Kendaraan tersebut masih terhuyung pelan, terombang-ambing di udara karena si pengendara sudah tidak menginjak pedal gasnya. Ingin rasanya cepat-cepat mencari tempat untuk mendarat dan melemaskan otot-otot kaki yang tegang, pikirnya. Ditambah lagi, bukan sesuatu yang baik jika Aster terlalu lama berada di udara. Pasti akan aneh jika ada yang melihatnya mengendarai kendaraan yang seharusnya hanya digunakan oleh polisi patroli. Maka sebelum ada orang yang menyadari kehadirannya, dia mulai terbang rendah mencari tempat untuk mendarat.
Aster berhenti di dekat tempat pembuangan sampah Oakland. Tempat tersebut sangat sepi, cukup untuk melindungi keberadaannya. Ditaruhnya motor curian itu dengan sembarang lalu mulai berjalan menjauh, kembali masuk ke dalam kerumunan. Satu-satunya tempat yang kini terpikirkan hanyalah menara sekolah.
Langit mulai berubah warna menjadi oranye kemerahan. Aster menghentikan larinya di bawah menara yang selalu dia panjat. Tapi untuk saat ini rasa lelah membuatnya tak sanggup untuk menapaki anak tangga yang ada. Dia membiarkan tubuhnya terkulai lemas bersandar pada tembok menara. Sebelah tangannya mengusap peluh yang membasahi wajah.Masih bertanya-tanya apakah dia baru saja mengalami sebuah mimpi yang melelahkan?
"Aw!" Aster tak sengaja menekan tangannya yang cidera ke tembok. Membuatnya kembali merasakan nyeri dari goresan kuku sang raksasa bersayap tadi. Meski sakitnya bukan main, hal itu justru memberikan sebuah keyakinan, bahwa semua yang baru saja dialaminya bukan sekedar mimpi belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aster [The First Adventure]
Science Fiction[SUDAH DITERBITKAN] Book 1 of Aster Trilogy Higest Rank #6 in science fiction (30/6/17) Bertahun-tahun lamanya manusia mengeksploitasi bumi tanpa mengenal batas. Lantas apa jadinya saat bumi ini mengamuk dan meminta bayaran atas semua itu? Bagaiman...