(Walaupun tokohnya belum nongol lagi, tapi ini Sebastian, senior renang yang muncul di Bab 2 Enjoy!)
Oktober 2003
.
.
.
Sebuah mobil Starlet hitam berhenti di depan gang. Suara mesinnya yang sudah tua berderak saat rem diinjak, dan setelah terdengar suara kunci pintu dibuka, keluarlah seorang lelaki tampan bertubuh jangkung dari sisi pengemudi. Wajahnya sudah tampak menua, kacamata berbingkai tebalnya menggantung di hidungnya yang mancung, dan walaupun rambutnya sudah mulai memutih, wibawanya masih terpancar dari tatapannya yang sejuk.
"Ahh..Bandung emang seger ya. Ayo, bu, ayo anak-anak, keluar. Kita udah sampe!" laki-laki itu melongok kembali ke dalam mobil.
"Iya, yah. Sebentar. Anak-anak masih tidur tuh di belakang." seorang wanita berparas ayu pun ikut keluar dari mobil. Kulitnya berwarna sawo terang, parasnya anggun dengan bibirnya yang merah tanpa diberi lipstik. Rambutnya sebahu, menonjolkan bentuk wajahnya yang tirus.
"Ngantuk mereka, kita berangkat emang terlalu subuh, ya. Yah lumayan, sampe disini masih jam 9. Untung dari Jakarta lewat Puncak gak terlalu macet ya." lelaki itu membuka bagasi yang berisi tas-tas kulit dan koper besar.
"Kaka..dede..ayo bangun..udah sampe nih." sang ibu membangunkan kedua anak laki-laki yang tertidur pulas di kursi belakang.
"Udah sampe, bu?" si anak sulung mengusap matanya dan keluar, disusul dengan erangan dari si bungsu, yang membuka matanya malas sembari menguap.
"Iya udah sampe. Kita udah di rumah baru, ka, dek." sang ibu mengelap liur si sulung dan menggendong si bungsu keluar.
"Yeee!! Aku mau pilih kamarnyaa!!" si sulung tiba-tiba langsung berlari keluar mobil ke arah gang.
"Kaka! Ati-ati! Jangan lari-lari!" sang ibu pun tidak bisa mengimbangi kelincahan si sulung karena sedang menggendong putra bungsunya. Si sulung yang berlari ke dalam gang pun menghilang dari pandangan.
"Aduhh, si kaka emang lincah banget, ya. Kalau udah lari, gak kekejer." si ibu menyusul ke dalam gang sambil menjinjing satu buah koper besar dan menggendong sang adik bungsu.
"Dikejer gih, bu. Nanti dia nyasar atau jatuh, repot." si ayah membongkar bagasinya sambil melongok ke dalam gang, berusaha untuk melihat anak sulungnya, yang sekarang sudah sampai di ujung gang.
"Ibu! Ibu!! Ini rumah kita?" si sulung menunjuk-nunjuk satu rumah di ujung gang dengan papan nomor 33 tergantung di tembok di sebelah pintu.
"Iya, ka. Ini rumah kita sekarang. Jangan lari-lari, ya. Nanti kamu jatuh." si ibu berhenti di belakang si kakak dan mencubit pipinya yang tembem.
"Krisna mau pilih kamarnya, boleh bu? Boleh yaaa..pleaseee" si kakak yang mukanya tampan agak blasteran ini memelas, memperlihatkan mata besarnya.
"Aduh, kamu ini mau merayu ibu, lagi, Krisna? Hahh..ya sudah, masuk ke rumahnya, tapi hati-hati, banyak barang-barang yang belum dibongkar." si ibu pun menyerah setelah dirayu oleh putra sulungnya yang baru berusia 5 tahun itu, dan sang kakak pun melesat ke dalam rumah diikuti teriakan "Yeeeee!" yang panjang.
"Adek juga mau pilih kamal, ibu. Boleh?" si adik mulai berceloteh di gendongan ibunya.
"Ha ha ha..boleh, Yudhistira. Tapi kamu nanti pilihnya sama ibu ya?" si ibu mencium pipi tembem anak bungsunya ini. Sifat dan wajahnya lebih kalem dibanding kakaknya yang terlihat lebih badung. Kulitnya pun lebih gelap dari sang kakak, mungkin keturunan Aristia, sedangkan Krisnawan berkulit lebih terang, turunan bapaknya.
"Iya, bu." Yudhistira pun terdiam lagi di pelukan ibunya.
"Bu, ayo masuk, kita beres-beres. Pegawai-pegawai kakek nanti datang bantu-bantu agak siang. Kita berbenah sekenanya dulu aja." sang ayah berjuang memasuki gang yang sempit sambil membawa satu koper super besar dan enam tas kulit yang terbagi di dua tangannya.
"Aduh, ayahh. Dua kali jalan aja bawanya. Sampe repot begitu lihat." sang ibu spontan mengambil satu tas kulit dari tangan kanan suaminya.
"Ahh..gak apa-apa. Laki-laki tulen itu kalo bawa barang banyak sekali jalan." sang ayah nyengir sambil mencium pipi istrinya.
"Jagoan ayah mau masuk ga? Mau masuk ga?" wajahnya dikonyol-konyolkan sembari menguyel-uyel pipi si bungsu.
"Mau, Yah." Yudhistira menjawab dengan kalem. Mereka pun masuk ke rumah nomor tiga puluh tiga itu, memulai hidup mereka di Bandung.
Siapa mereka?
Sang ayah, tentunya sudah bisa ditebak. Dia adalah ayah dari Krisnawan Wiranata, si sulung, dan Yudhistira Putra Wiranata, si bungsu. Namanya Adhikarsa Batara Wiranata, seorang pengusaha berusia 35 tahun dari Jakarta yang baru saja diwariskan sebuah rumah di Bandung oleh mendiang kakeknya. Badannya tegap, tinggi jangkung dan sedikit berisi. Wajahnya kalem, tatapannya sejuk, seolah tidak ada amarah sedikitpun di dalam sanubarinya.
Istrinya yang ayu? Dia Aristia Ningsih Gantharini. Seorang wanita berusia 28 tahun yang berasal dari Solo. Dia bertemu Adhikarsa sepuluh tahun yang lalu, saat Adhikarsa sedang mengunjungi kerabatnya di Solo. Aristia ini, kalau ditilik nenek moyangnya, masih ada darah keturunan kesunanan Solo, tapi dia bukan keturunan langsung dari permaisuri. Parasnya ayu, misterius, tatapan matanya tajam tapi memikat. Tetapi ada sesuatu tentang mereka.
Pernikahan mereka tidak pernah disetujui oleh keluarga Wiranata dan orang tua Aristia. Yang mendukung mereka sepenuhnya adalah kakek dari Adhikarsa, yang cuma berkata,"Lamun bogoh sareng jodoh, Gusti oge moal misahkeun." (kalau sudah cinta dan berjodoh, Tuhan pun tak akan memisahkan). Ketidaksetujuan akan cinta mereka berdasarkan ras dan agama. Adhikarsa keturunan blasteran Tionghoa Belanda dan beragama katolik. Aristia, dengan darah keturunan ningratnya, beragama muslim. Keluarga mereka menolak keras tindak tanduk cinta mereka, tapi apa mau dikata, mereka cinta mati semenjak mereka bertemu di keramaian Jalan Slamet Riyadi, jatuh cinta pada pandangan pertama.
Akad nikah mereka pun diadakan diam-diam, dengan kakek Adhikarsa yang datang sebagai saksi di hari itu. Setelah mereka menikah, Adhikarsa diusir dari rumahnya dan begitu pula dengan Aristia. Mereka mengadu nasib di ibu kota, tinggal di rumah susun sederhana di pinggiran Jakarta. Berangkat subuh dan pulang malam, mereka menjalani surga mereka sendiri di tengah-tengah kerasnya hidup.
Sampai suatu hari, tanggal 19 bulan Agustus 1998, lahirlah Krisnawan Wiranata. Mereka sudah berjanji, satu anak cukup. Pendapatan mereka yang pas-pasan tidak akan bisa menghidupi mereka kalau harus ditambah satu buah hati lagi.
Tetapi, Tuhan berkata lain. Tanggal 22 Desember 1999, Yudhistira Putra Wiranata pun menjadi bagian dari keluarga ini. Dan tidak sedikitpun mereka menyesal akan kehadiran putra bungsunya yang tidak diduga-duga ini. Mengenai uang, Adhikarsa mengambil dua pekerjaan, siang, dia menjadi montir di bengkel, dan malam, dia berjualan di satu gerai telepon seluler di ITC Mangga Dua. Aristia pun berjuang demi surga kecilnya. Siang hari dia mengajar di SMP Negeri, dan malamnya dia memberikan les Matematika dan Fisika untuk murid-murid dari SMP lain.
Sedikit demi sedikit, peruntungan keluarga kecil ini berubah. Berkat keuletan dan kegigihan Adhikarsa dalam berjualan, dia bisa menjadi pemilik gerai telepon selulernya sendiri. Pendapatan mereka sedikit demi sedikit bisa menutupi kebutuhan-kebutuhan mereka. Krisnawan dan Yudhistira tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih, dan penuh keberuntungan.
Sampai pada suatu hari, 13 Agustus 2002, satu minggu sebelum ulang tahun Krisnawan, sang kakek meninggal dunia. Dan rumahnya di Bandung, di ujung gang nomor 33 ini, diwariskan kepada cucu kesayangannya, Adhikarsa. Anggota keluarga lain berang, marah. Tapi, semua sudah ditentukan. Adhikarsa pun pindah ke Bandung, memulai hidup yang baru, lebih tenang, dan lebih damai. Atau itu yang setidaknya dia kira.
(OH iya, gw baru sadar kalau vomment tuh singkatan vote sama comment, bukan typo hahaha. so kalo kalian ada waktu dan emang ada kritik atau saran, silakan vomment, atau comment doang, atau vote doang. Thanks for reading!)
![](https://img.wattpad.com/cover/70098984-288-k594089.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Recess
RomansKisah epos cinta dan perjuangan Alexander Richard Setiawan, seorang anak SMA yang 'rata-rata' mencari jati diri di dunia yang lebih dari sekedar 'rata-rata'