Hari itu sudah pagi, di Solo, pada Bulan Agustus tahun 2015, setelah alarm dari Bunda yang sangat khas dan tak asing di telingaku, aku terbangun dari beberapa mimpi yang tak sempat ku tulis pagi hari ini. Bunda, namanya Nina Hiratta Rispratiwi biasa dipanggil Bunda olehku, wanita super yang selalu sabar dengan anak satu-satunya ini.
Sedikit bercerita tentang ayahku juga, beliau sudah meninggal dua tahun lalu karena sakit tekanan darah tinggi, itu kenapa ayah tak boleh minum kopi sama Bunda. Sedikit bandel namun dia tetaplah ayah yang bertanggung jawab dalam keluarga kecilku. Narta Hiratta Bima itu nama beliau, bekerja di bidang perumahan dan tak pernah lupa tentang nama-nama material bangunan. Setelah beliau meninggal usaha ayah dilanjutkan oleh Bunda. Nama-nama keluargaku memang selalu diselipkan Hiratta di tengahnya, kata ayah supaya tidak tertukar. Nama bunda juga diselipkan Hiratta setelah beliau di boyong ayah untuk menjadi istrinya. Namun sebenarnya nama Hiratta diperoleh turun-temurun dari kakekku, Andreas Hiratta Bima itu nama beliau, seorang penulis dan rajin membaca buku, namun kakekku sudah meninggal pada bulan Mei tahun 1994.
Aku tinggal bertiga dirumah ini. Aku, Bunda dan Bi Endang pembantuku, tak lupa barang-barang dan perabotan rumahku juga terpaksa ikut tinggal disini. Rumahku berada di daerah Kota Barat, rumah berukuran type 70. Sedikit halaman di depannya, meskipun ukurannya tidak luas, namun cukup. Ada beberapa tumbuhan seperti bunga dan satu pohon srikaya, yang kadang Bunda suka kesel kalau sudah mulai panen matang dan ada beberapa buah yang terjatuh dengan sendirinya nyeprot ke halaman.
Hari ini Senin di kota Solo. Pagi itu setelah selesai mandi, aku bergegas menaiki motorku untuk segera berangkat menuju ke kampus. Sedikit malas rasanya setelah libur UAS (istilah untuk Ujian Akhir Semester yang aku kurang suka mendengarnya). Aku bersepeda motor menuju ke kampus, melewati beberapa jalan favoritku karena ada banyak pohon-pohon rindang di bahu jalannya. Sekitar 4Km dari rumahku akhirnya aku sampai di kampus, dan tadi sedikit kesal karena menemui ibu-ibu naik motor dijalan yang kadang membuatku ingin terbang karena cara mengemudinya "like a boss".
Aku mengambil study di salah satu perguruan tinggi swasta yang berada di daerah pinggiran kota Solo, tepatnya Solo bagian barat. Bagiku, itu adalah kampus yang sangat menyenangkan se-dunia, atau minimal se-Solo lah. Karena banyak tempat-tempat yang menurutku menarik, seperti ada beberapa gazebo yang berada tepat disamping lapangan basket dan lapangan sepak bola, tempat dimana aku sering menikmati senja ketika perkuliahanku baru selesai di senja hari. Ada tumbuh pohon-pohon besar di sekitaran gazebo, cabangnya banyak dan bagus kalau dilihat, tak malas juga burung-burung untuk sekededar duduk atau ngobrol di beberapa rantingnya. Kata teman-temanku pohon itu banyak hantunya, tapi aku gak takut, kecuali harus tidur sendirian disitu malam hari.
Disana aku mengambil jurusan Ilmu Komunikasi semester tiga dan mungkin perjalanan ku masih panjang di universitas ini, ada dua mata kuliah hari ini yang siap membuatku merasa lebih pintar setelah mengikutinya. Selesai perkuliahan aku mampir sejenak ke kantin untuk sekedar makan siang dan minum kopi. Aku memang tak pernah langsung pulang ketika perkuliahan telah usai. Kantinku berada persis disamping tempat parkir motor, ukurannya lumayan besar kira-kira 10x20 meter. Terdapat ruang kecil berukuran 5x10 meter, tempat itu memang sengaja dipisahkan hanya untuk kaum minority atau lebih tepatnya smoking area tempat dimana anak-anak yang sebagian besar adalah tukang bercanda dan cenderung bergaya bebas.
"Heyy Raga!! Duduk sini dulu dong kau ini, barenglah sama kita-kita anak pintar haha" Suara keras Dika memanggil dengan bergaya khas Batak, sedikit kacau karena memang Dika adalah orang asli Solo. "iyaa Dik iyaa, mau pesen kopi dulu" sautku sambil terus berjalan untuk memesan makan dan kopi.
Di kantin, selain ada Dika, ada juga Dhimas, Alo dan Rino. Yang sekelas denganku hanyalah Dika namun dia bolos perkuliahan dan itu memang bukan hal asing mengenai dirinya sebagai tukang bolos dan pemalas. Dhimas, Alo dan Rino mengambil jurusan Desain Komunikasi dan Visual. Ternyata mereka sedang membahas tentang kegiatan Makrab gabungan antar dua jurusan mahasiswa baru yang akan di selenggarakan sekitar bulan depan, aku diminta tolong untuk membuat konsep acara. Aku, sih, oke saja. Bagiku gampang lah itu.
Hari hujan saat itu ketika aku dijalan menuju pulang ke rumah, mungkin tidak usah terlalu berfikir panjang untuk sedikit menambah laju motorku, karena aku lihat air hujan mulai tidak santai membasahi jaket jeansku. Kuputuskan untuk mampir ke kedai KOPI JOKO yang memang searah menuju arah rumahku, Disitu mas Joko terlihat sibuk untuk persiapan membuka warung, waktu masih menunjukan pukul 15.05 WIB, dan memang kedai ini mulai buka sekitar satu jam lagi. Kuputuskan untuk bermain harmonica untuk menunggu sembari melihat kearah luar kedai dan melihat hujan yang begitu tegas membasahi jalan dan beberapa pohon yang berada di bahu jalan. Taman di depan kedai pun terlihat indah dari sudut pandanganku sekarang, kalaupun kamu tidak, itu terserah. Namun sepertinya senja menyatakan libur hari ini dan mungkin ia lagi tak mau berbagi pijar denganku untuk waktu sekarang, semoga besok tidak.
Senja, walau hampir setiap hari aku menunggu, untuk melepas rasa, entah senang atau tidak, entah. Namun aku tau hadirmu tak akan tentu. Aku menunggu, semoga kamu juga.
Jam berapa sekarang? Oh, sudah jam 16.15 WIB, aku minum kopi dulu ya. Besok, kulanjut lagi ceritanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/71424460-288-k474832.jpg)
YOU ARE READING
Lima Seperempat
RomanceKetika senja bersahabat dengan secangkir kopi, diparuh waktu antara siang dan malam. Disana, terdapat ujung dari cahaya.