Bagian 14

54.8K 3.1K 21
                                    

"Sweet!" Aku yakin ini sudah kesekian kalinya dia memanggilku dalam satu menit. Aku yang dari tadi tidak menjawab mulai risih sendiri dengan panggilannya itu.

"Sweet." Aku menggertakkan gigiku, kesal dengan ulahnya ini.

"Apa!" Aku berkata dengan cukup keras, bahkan cenderung membentak.

"Say yes, please!" Aww, cute! Tapi aku masih belum siap buat nikah. Gila aja, aku kan jadi gak bisa nonton cowok ganteng dengan bebas. Apalagi nikahnya sama si Mr. Possessive akut, pasti 'kegiatan mengamati' itu akan jadi mission impossible.

"Nggak, Rey. Kenapa nggak santai aja, sih? Pacaran dulu, soal nikah bisa entar-entaran, lah!" Aku mencoba beralasan pada Rey.

"Kenapa harus menunggu, kalau akhirnya sama saja?" balas Rey dengan keras kepala.

"Siapa yang tahu kalau akhirnya sama atau tidak, kamu nggak bisa maksa takdir!" ucapku membalas kalimatnya yang terlalu yakin itu.

"Kamu milikku, Sweet." Percuma bicara logika kalau dia sudah keras kepala seperti ini. Apalagi kalau kabut posesif sudah meracuni pikirannya itu.

Suara dering HP-ku membuatku melihat pada benda segi empat yang dari tadi ada di tanganku.

"Iya, Bu, ada apa?" tanyaku pada ibuku yang ada di ujung telepon.

"Cepat pulang, ibu sudah ada di rumah kamu." Cepat banget datangnya, aaahhh! Ini gara-gara si gila Rey.

"Iya, Bu, tunggu sebentar, ya." Aku segera mematikan telepon itu setelah mendapat jawaban 'ya' dari ibuku.

"Mau ke mana?" tanya Rey begitu melihatku berdiri dari tempat dudukku.

"Pulang, udah di tungguin orang tuaku di rumah."

"Aku antar." Tanpa menunggu jawabanku, Rey sudah menggandeng tanganku keluar dari kafe yang kami datangi sejak 15 menit yang lalu.

Sampai di rumah, aku menyesal tadi tidak pulang sendiri saja dan malah bersama Rey. Karena saat ini aku berada di sebuah kondisi yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi dalam waktu dekat.

Aku melihat kedua orang yang ada di depanku dengan tatapan memohon. Berharap agar mereka menolak apa yang diajukan oleh orang di sampingku ini. Please, say no!

"Saya setuju." Kekecewaan langsung menghiasi wajahku saat ayah mengatakan kata tersebut. Hal itu tentu saja berbanding terbalik dengan ekspresi orang yang saat ini di sampingku, senyum bahkan langsung tercetak jelas di wajahnya setelah ayah mengatakan 'setuju'.

"Tapi semua keputusan ada di tangan putri saya." Aku menghembuskan napasku lega mendengar pernyataan ayah selanjutnya.

"Kalau hal itu Om tidak perlu khawatir, saya sudah bertanya ke Reva dan dia setuju," jawab Rey dengan yakin. Aku mendelik ke arahnya, kapan aku setuju? Kayaknya dia sudah tidak bisa membedakan antara khayalan dan realita.

"Idih, siapa yang bilang se— Aduh!" Ucapanku terpotong, karena tangan Rey yang meremas tanganku secara tiba-tiba. Belum apa-apa udah melakukan KDRT, gimana kalo aku iyain, pasti bukan tanganku aja yang bakal diremas.

"Apaan, sih?" Aku bertanya tanpa menutup-nutupi kekesalan dalam nada suaraku. Rey menatapku dengan tatapan memperingatkan, kalau mata itu bisa ngomong pasti dia akan bilang gini 'say yes or else'. Untung aku udah imun dengan tatapan dan ancamannya itu.

Suara dehaman dari seseorang menghentikan aksi saling tatap kami. Aku lihat ibu yang tersenyum melihat kami berdua, sedangkan ayah melihat interaksi kami dengan seksama, seolah kami berdua adalah rumus matematika yang sulit terpecahkan.

Crazy CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang