Chapter 2

49 5 0
                                    

" CINDERELLA is a proof that a new pair of shoes can change your whole life. "

~


Seorang wanita elegan dengan warna rambut yang serupa dengan Jansen tiba-tiba datang dan langsung menghampiri kami. Jansen langsung merenggangkan tangannya dan tersenyum kearah wanita itu.

"Mom, seperti janjiku, aku membawanya kemari."

Wanita itu kemudian menatapku dari ujung kepala hingga kaki dan mengulanginya sampai 3x.

"Well, seleramu tak buruk." Ia mengangguk-ngangguk. "Tak heran jika Krystal Cameron Velerie memiliki banyak pengikut."

"Pengikut?" Tanyaku heran.

"Mom, jangan bercanda. Tak mungkin kau mengikutinya setelah aku kencan dengannya 3 hari yang lalu, kan? Dan, nama lengkapnya bukan Cameron tetapi Camryn." Jansen membenarkan.

"Hmm kau ada benarnya juga, nak. Mom bahkan sudah mencetak foto-foto itu." Ucapnya riang. "Jean, Mom masih bingung mengapa dari sekian banyak foto, kau tidak ada dengannya?"

Oke aku memang tidak bodoh. Tapi saat ini aku merasa bodoh karena aku tidak paham apa yang mereka bicarakan. Aku hanya paham peranku sebagai kekasih Jansen.

"A-ah mom kurasa Krystal sudah mulai lapar. Apa kau sudah memesan tempatnya?"

"Ah! iya." Ibu Jansen menggaet lenganku. "Apa makanan favoritmu? Apa kau sudah mencoba menu di Masa? Aku memesan tempat disana." Ia membawaku masuk ke dalam Range Rover putihnya diikuti oleh Jansen yang berjalan di belakang kami.

***


Hanya dengan waktu 3 jam berlalu, aku dan Wanda-ibu Jansen sudah dikategorikan cukup dekat. Mungkin sifat Jansen yang mudah bergaul itu menurun dari Ibunya.

Setelah itu, kami mengunjungi pameran seni yang menampakkan lukisan abstrak yang sedikit tak jelas. Dan anehnya, setiap lukisan ini berharga mahal.

"Baiklah, Mom harus menghadiri meeting. Jangan menyia-nyiakan waktu kalian berdua ya!" Wanda menempelkan pipi kanan kirinya ke pipiku dan aku membalasnya dengan senyuman. Kemudian ia pergi meninggalkan kami berdua.

Aku membuang nafasku, akhirnya permainan ini selesai.

Aku melipat kedua tanganku di depan dada lalu memberikan tatapan yang bermakna "jelaskan padaku semua ini".

"Oke, oke baiklah. Aku juga akan menjelaskan semua ini tanpa kau harus memasang ekspresi mengerikan seperti itu. Kau tahu, aku baru saja melihat ekspresi barumu. Apa kau pernah menunjukkan ekspresimu itu pada lelaki lain?" Jansen sedikit membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan wajahku.

"Tidak. Kau yang pertama melihat ekspresi ini. Dan jika aku menunjukkan ekspresi tak menyenangkan seperti ini, repurtasiku akan menurun. Jadi, jelaskan apa yang terjadi."

"Aku tak menyangka kau harus membutuhkan penjelasan yang panjang. Jika saja aku menarik wanita lain, pasti ia akan menerimanya dengan senang hati." Pungkas Jansen sambil menuntun jalanku meninggalkan gedung lukisan ini menuju tempat parkir.

"Sayangnya aku bukan tipe wanita yang seperti itu Jean."

"Baiklah aku kalah." Ucap Jansen dengan nada sedikit kesal. "Jadi, ayahku menjodohkanku dengan putri bungsu temannya. Aku tidak tahu apa perusahaan milik keluarganya, lebih tepatnya aku tidak peduli. Dan, aku menolak semua itu."

"Mengapa kau menolaknya? Bukankah itu kesempatan yang bagus? Kau sudah bisa memiliki kekasih pilihan orang tuamu dan kau juga bisa langsung terjun kedunia yang sesungguhnya daripada kau masuk kuliah." Cecar Krystal.

"Tidak, tidak. Bukan itu masalahnya. Masalahnya, Katleen bukan tipeku dan..."

"Dan?"

"Aku tidak bisa menjelaskannya." Jansen menggaruk-garuk kepalanya frustasi yang tidak gatal.

"Hftt." Aku menggerlingkan mataku sambil membuang nafasku kasar.

"Aku janji aku akan menunjukkan seperti apa Katleen itu." Jelas Jansen. "Jadi aku meminta bantuanmu untuk menjadi kekasihku."

"Bukankah itu tawaran yang bagus?" Lanjut Jansen girang yang hanya kuberikan tatapan datar tak berarti.

"Hey! itu kesempatan bagus. Aku tahu kau masih sendiri dan kau juga bisa memanfaatkanku untuk Blair karena itu sangat menjijikan bagaimana Blair memelukku di depan umum." Jansen menepuk-nepuk pundakku.

"Aku tak menyukai konotasimu 'masih sendiri' " Aku menggerlingkan mataku.
" Aku hanya membutuhkan peranmu untuk sementara waktu saja Krys. Biarpun aku sering masuk ke ruang konseling, percayalah, aku bukan asshole 'kok " Jelasnya.

Aku menimbang-nimbang ucapan Jansen. Ia ada benarnya juga, sih. Aku bisa menggunakannya agar Blair tak berulah, dan yang paling penting adalah untuk membuktikan bahwa Jansen bukan miliknya seperti gosip yang selama ini disebarkan olehnya. Benar-benar menjijikan.

"Aku baru saja tahu kau selalu menghabiskan waktu yang banyak untuk berpikir." Cecar Jansen memecahkan pikiranku yang sedang berpikir apa aku harus menerima tawarannya atau tidak. "So, dimana rumahmu?"

"Beverly Park." Jawabku singkat. "Kau tahu, pertanyaanmu ini sedikit susah untuk kujawab, jadi jangan mengejarku dengan pertanyaan itu."

Jansen membawa mobilnya sesuai dengan instruksi rumahku yang kusebutkan hingga masuk meleeati gerbang rumahku dan terparkir indah di depan pintu utama.

"Aku masih tak percaya jika kau sudah menyebutkan kita sudah berkencan selama 3 hari. Tetapi, terima kasih untuk hari ini." Aku hendak membuka pintu mobil namun Jansen menghentikan tanganku.

"Pinjam ponselmu,"

"Untuk?" Tanyaku sambil memberikan ponselku.

Jansen tak menjawab pertanyaanku, ia malah mengutak-atik ponselku lalu memberikannya lagi padaku.

"Apa kau memberikan nomormu?"

"Kau bisa menghubungiku kapan saja. Jadi, silahkan keluar." Ia tersenyum diakhir perkataannya.

"Kau tak perlu mengusirku seperti itu. Lagi pula aku akan keluar dengan sendirinya. Kau berhutang seragam dan tas sekolahku." Ucapku acuh di akhir kemudian aku benar-benar keluar dari mobil itu dan mobil itu langsung pergi begitu saja.

***


Aku menarik pintu rumahku disertai dengan decitan kasar engsel pintu rumahku. Aku melajukan kakiku lurus langsung menuju anak tangga tetapi sebuah objek mengalihkan manik mataku.

Sebuah siluet jangkung berkulit putih pucat yang sedang duduk sambil menyesap secangkir teh dan tangan lainnya yang memegang majalah fashion.

"Warren?"

Dan inilah dia, Warren Houston Jay. Lelaki yang membuat kekesalanku memuncak secara tiba-tiba. Detak jantungku terpompa berat karena kenangan masa laluku yang sudah kuanggap menjadi momok muncul lagi didepanku seakan-akan menantangku untuk jatuh di permainannya lagi.

Tak banyak berpikir aku langsung naik masuk kedalam kamarku dan kukunci rapat-rapat tanpa memperdulikannya yang sedang memanggil-manggil namaku berharap aku akan membukakan pintu kamarku. Itu mustahil jika aku benar-benar membukakan pintu kamarku untuknya karena aku benar-benar ingin menghilanhkan wajahnya dari kehidupanku.

Tanpa berpikir jauh tentangnya, aku langsung mengambil kasar ponselku dan mengetik sebuah pesan "YA" untuk Jansen. Lalu, aku membanting tubuhku diatas kasur dan benar-benar memaksa mataku untuk segera lelap masuk kedalam dunia mimpiku agar hari cepat berganti dan mataku tak melihat pemandangan hina itu.

Princess CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang