Day 4

6K 1K 31
                                    

Ten Reasons Not to Die

Hari keempat - Mother Grace

     "Maaf berantakan," aku menggerutu, memindahkan salah satu kausku dari kasur yang mana kutempati bersama anak lain. "Tidak kusangka kau akan datang lagi."

     Bibir Evan yang kemerahan memanjang menyerupai sebuah senyuman. "Itu terdengar seperti kau tidak menginginkanku di sini."

     Aku mengendikkan bahuku. "Sejujurnya, memang tidak."

     Evan mengerutkan dahinya dengan ekspresi bingung. "Apa?"

     "Maksudku, aku hanya tidak ingin kau melihat tempat seperti apa yang aku tinggali. Aku tidak ingin kalau kau tahu aku berbagi kamar dengan tiga anak yatim piatu lainnya yang sekiranya lima tahun lebih muda dibanding diriku." Aku mengatakan yang sejujurnya sembari merebahkan tubuh bagian depanku di atas kasur bertingkat ini.

    Semua teman sekamarku ada di lantai bawah, entah menyelesaikan PR mereka di ruang makan atau menonton kartun lewat televisi kecil yang hanya memutarkan acara berwarna hitam putih di ruang keluarga.

     Evan rebahan di sampingku, membuatku membatu. Maksudku, aku tidak bermasalah dengannya yang rebahan di sampingku, hanya saja ia menjadi sangat dekat.

     "Aku tidak apa-apa," Evan berbisik, matanya mengunci mataku. Kasur bertingkatku bukanlah kasur yang paling besar, jadi wajah kami berjarak lumayan dekat. Jika aku bergerak beberapa inci saja, bibir kami pasti akan saling bersentuhan.

     "Aku tidak tahu banyak tentangmu," kataku.

     "Apa maksudmu?" Evan bertanya, napas hangatnya menggelitik leherku.

     Aku menelan ludah, menggulingkan tubuhku menjauh darinya, jadi sekarang aku berbaring di atas punggungku. Aku menatap ke atas, ke bagian bawah kasur di atasku, dan membasahi bibirku yang kering. "Maksudku, aku mengenalmu sebagai Evan Woods, sang laki-laki dari sekolah yang dicintai semua orang karena betapa baik dirinya pada semua orang." Aku tersenyum lembut. "Tapi, siapa Evan yang asli? Siapa dirimu?"

     Evan mengendikkan bahunya,  wajahnya pucat dan tanpa ekspresi. Ia berdeham, matanya terlihat kebingungan. "Aku tidak tahu," ia berbisik dengan lembut. "Aku hanya Evan, kurasa."

     Aku menghela napas dalam kekecewaan, memalingkan wajahku darinya. Evan yang semua orang lihat dari luar adalah seseorang yang bahagia dan bebas. Namun, siapakah dia di balik itu semua?

     Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu dan mengejutkanku. Aku melompat dari kasur dan kepalaku membentur bagian bawah kasur di atasku. Aku mendesah dan mengusap kepalaku. "Masuklah," ujarku.

      Mother Grace masuk dengan sebuah senyuman kecil di wajahnya. "Makan malam sudah siap," katanya padaku. Matanya hinggap pada Evan. "Maukah kau bergabung bersama kami, sayang?"

     Pipi Evan berubah menjadi merah terang ketika ia menggelengkan kepalanya. "T-Tidak apa-apa. Aku akan permisi saja."

     Mother Grace terkekeh sembari bergeleng. "Tidak! Kami masih punya tempat yang cukup untuk memuat satu orang tamu."

     Aku memukul Evan pelan di bahunya. "Ayolah. Makanan di sini tidak terlalu buruk," aku menggodanya dan mendapatkan balasan berupa tawa Mother Grace.

     Kami berdua mengikuti Mother Grace turun ke ruang makan, di mana semua anak sudah duduk. Evan dan aku mengambil dua tempat duduk kosong yang bersebelahan di dekat ujung meja, sementara Mother Grace menempati ujungnya.

     "Kuharap kau suka ayam panggang?" Mother Grace bertanya pada Evan. "Jika tidak, kami masih punya beberapa roti lapis dari sisa makan siang tadi."

     Evan bergeleng, memberikan Mother Grace senyuman terima kasih. "Ayam tidak masalah bagiku, terima kasih."

     Aku memotong ayamku menjadi potongan-potongan kecil dan mengigitnya. Makan malam yang akan Evan dapati di sini bukanlah yang terbaik, sebab panti tidak akan mampu memberi makan tiga puluh anak dengan makanan bintang lima.

     Setelah makan malam, Evan dan aku menawarkan bantuan bersih-bersih pada Mother Grace, sementara anak-anak lain sedang menikmati cuti dari giliran tugas rumah mereka.

     "Remy, aku bermaksud memberitahumu mengenai sesuatu sejak tadi," ujar Mother Grace sembari menyapu lantai. Evan sedang mencuci piring, sementara aku membantunya mengeringkan piring-piringnya.

     "Apa itu, Mother Grace?" Aku bertanya seraya meletakkan sebuah piring di tempat penyimpanan.

     "Aku telah mengenalmu selama sembilan tahun, Remy. Kau sudah seperti seorang anak bagiku." Mother Grace memulai membuatku menahan napas dan tanganku gemetar. "Perkembanganmu di sekolah selalu melampaui rata-rata dan guru-gurumu sudah memastikannya. Kami harus membiarkanmu pergi tahun depan, sayangnya. Tapi, kami telah menyimpan dana untukmu pergi kuliah."

     Mataku melebar dan kepalaku berpaling kepada Mother Grace. "Mother Grace, kau tidak perlu --"

     "Ya, sayang." Mother Grace tersenyum. "Aku harus. Sangat menyakitkan melihat banyak keluarga yang meninggalkanmu. Mereka benar-benar telah kehilangan seorang gadis yang cerdas, patuh, dan cantik."

     Kata-kata Mother Grace membuat mataku berkaca-kaca. Penglihatanku menjadi kabur ketika Evan melirik ke arahku dengan kecemasan terukir di wajahnya.

     "Para biarawati yang telah menyaksikanmu tumbuh menjadi seorang wanita muda cantik setuju bahwa kecerdasanmu akan sia-sia saja bila kau tidak pergi kuliah. Itulah mengapa aku mengumpulkan dana untukmu. Itu memang bukan uang yang banyak, namun seharusnya cukup untuk satu atau dua semester di universitas."

     Aku terisak seraya menatap Mother Grace dengan mata yang berair. Aku memberinya senyuman yang jauh lebih berarti dibanding segala senyuman yang pernah kuberikan kepada siapapun. "Terima kasih, Mother Grace. Terima kasih banyak."

     Mother Grace membalas senyumanku. "Tidak, Remy. Terima kasih." Ia menghela napas dalam-dalam. "Aku akan memeriksa anak-anak sekarang. Setelah kau dan Evan selesai dengan piring kotornya, kalian berdua bebas melakukan apapun yang kalian inginkan."

    Mother Grace melangkah keluar dari dapur, lantas aku menggigit bibir bawahku. Evan berdeham, memberiku sebuah senyuman lembut. Dengan ujung jemarinya, diangkatnya daguku.

     "Tidakkah kau melihat berapa banyak orang yang mencintaimu?" tanyanya dengan mata hijaunya yang menyatu denganku. "Tetaplah hidup, Remy. Demi Mother Grace, dia berharap banyak padamu."

Ten Reasons Not To Die [Indonesian Ver.] | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang