Ten Reasons Not to die
Hari kelima - The Boardwalk
Evan tidak datang keesokan harinya, seperti yang sudah kuduga. Ia biasanya datang satu atau dua jam setelah pulang sekolah, tapi hari ini ia tidak datang. Malahan, ia datang malam-malam, sekitar pukul sepuluh tepatnya. Para biarawati sudah sering melihat Evan sehingga cukup mengenalinya. Saat salah seorang biarawati muda memanggilku ke bawah, aku mendapati Evan sedang duduk di sofa sembari dikelilingi oleh para gadis.
"Apakah kau pangeran tampan Remy?" Seorang gadis berumur tujuh tahun dengan gigi ompongnya bertanya, membuat Evan terkekeh.
"Aku yakin begitu." Mendengarnya berkata demikian membuat telingaku gembira.
Gadis ompong itu terkesiap sebelum akhirnya tertawa geli. "Tapi laki-laki itu menjijikan. Mereka punya cooties!"
Evan tertawa, mengusap kepala berambut pirang gadis kecil itu. "Tidak kalau kau seorang pangeran."
Aku merasa cukup mendengar semua itu dan keluar dari dinding persembunyianku. Aku menghampiri Evan, lalu menariknya menjauh dari keramaian gadis-gadis kecil itu. "Ayo pergi, Evan," ucapku.
"Apakah kau akan membawa Remy ke kerajaan ajaibmu sekarang?" anak lain bertanya, membuat pipiku memanas.
"Bagaimana kalian bisa menebaknya?" canda Evan.
"Tidakkah kalian sudah harus tidur?" Mother Grace muncul dari daun pintu, menyilangkan lengannya di depan dada. Seketika, semua gadis-gadis kecil itu cepat-cepat keluar dari ruang tamu dan mematikan TV di waktu yang bersamaan. Mother Grace mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum akhirnya ia melangkah keluar untuk mengikuti para gadis ke atas. Ia mungkin ingin memastikan kalau mereka menggosok gigi mereka dan segera masuk ke dalam selimut.
Aku menarik Evan ke depan lobi panti, menyilangkan lenganku selagi aku menatapnya dengan curiga. "Anak-anak akan mengangguku tentang kau selamanya mulai dari sekarang." Aku menghela napas. "Lagipula, apa yang sedang kau lakukan larut begini di sini?"
Evan tersenyum lebar. "Aku ingin membawamu ke suatu tempat."
Wajahku memberengut, sesaat rasa penasaranku terbangun. "Kau tidak bersungguh-sungguh akan membawaku ke sebuah kerajaan ajaib, kan?"
Evan tertawa, menggelengkan kepalanya saat ia menuntunku keluar panti. Ia membuka kunci mobilnya dan membukakan pintu penumpang untukku. "Tidak." Ia berhenti dan bergegas pergi ke kursi pengemudi. "Tunggu saja dan lihat nanti."
Aku menyilangkan lenganku sambil menatap ke luar jendela selagi Evan mulai mengemudi. Beberapa saat kemudian, aku menyadari kalau kami tengah berada di lahan parkir boardwalk yang hanya berjarak beberapa menit dari kota. Lampu-lampunya menyala semua hari ini dan mataku dengan cepat tertuju pada kincir ria di sana.
"Kau membawaku ke boardwalk?" Dahiku mengerut.
Evan tersenyum, kemudian mengangguk. "Aku sering pergi ke sini sewaktu kecil. Tapi, kemudian aku berhenti mendatangi tempat ini."
Evan tidak menatapku. Sebaliknya, mata hijaunya terlihat kebingungan dan seakan berada jauh saat ia menatap ke arah cahaya-cahaya yang berkedip di sana. Aku tidak bisa mengelak, mengabaikan bagaimana mata hijaunya terlihat lebih terang karena semua cahaya ini. Sejenis batu zamrud hijau yang hampir tampak nyata.
"Evan?" Aku memberinya dorongan pelan. "Apa kau baik-baik saja?"
Evan terhenyak dari pikirannya saat matanya turun ke bawah untuk memandangku. Tatapannya terlihat seperti ia baru saja teringat kalau aku sedang berdiri tepat sebelahnya. "Aku baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Reasons Not To Die [Indonesian Ver.] | ✔
Kısa Hikaye••• This is the Indonesian version of the short story Ten Reasons Not To Die. All the copyrights and the original work go to @RiceLover ••• Ini adalah terjemahan dari buku cerita pendek Ten Reasons Not To Die. Hak cipta dan karya asli milik RiceLove...