Ten Reasons Not to Die
Hari kesepuluh - Kau
Evan tidak ada di sekolah keesokan paginya.
Aku tidak akan berbohong dan bilang kalau aku tidak kecewa ia tidak ada di sana. Aku hampir berharap bertemu dengannya hari ini dan melihat apa yang telah direncanakannya untukku. Segalanya yang sejauh ini ia lakukan sudah membuatku sangat senang. Aku tidak bisa apa-apa, kecuali bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi bila ia tidak pernah menemukanku berdiri di pinggir tebing seminggu yang lalu.
Yang kutahu, aku pasti tidak akan pernah saling lempar-melempar telur dengannya di toko roti pamannya, diterima di Universitas Brown dengan beasiswa penuh, dan yang terpenting, bersama dengan Evan.
Aku bergidik, menelan ludah dengan cemas.
Apa aku baru saja mengakui kalau aku menyukai Evan?
Tidak, aku terus berkata pada diri sendiri. Aku tidak bisa menyukai Evan. Ia hanya mencoba menyelamatkan hidupku karena ia merasa tidak enak denganku. Aku tidak menyukainya dan tidak akan pernah. Namun tetap saja aku tidak berdaya dengan terus menyanggah diri sendiri, karena selama di sekolah, aku terus berharap ia ada di sini hari ini.
Setelah sekolah berlalu, aku mengerahkan keberanianku untuk menghampiri salah satu dari orang-orang yang sering kulihat berada di sekeliling Evan, Mason. Aku sering melihat mereka tertawa bersama dan aku bahkan pernah melihat mereka di luar sekolah sekadar keluyuran. Jadi, menurutku Mason adalah salah seorang teman dekat Evan. Ia pasti tahu di mana Evan hari ini.
Mason sedang bersender di Porsche Carrera merah miliknya, tertawa kencang akibat sesuatu yang salah satu orang di dekatnya katakan. Aku mengembuskan udara dari mulutku dan berjalan mendekati Mason. Ia tidak menyadari diriku sampai aku berdiri tepat di depannya.
Ia mengangkat dagunya, menatapku dengan mata coklatnya yang kebingungan. "Bisa kubantu?" tanyanya. Nadanya tidak kasar ataupun dingin, seperti yang kuharapkan akan terjadi. Suaranya hampir terdengar ramah, namun di sana ada rasa penasaran yang membalut ujung lidahnya.
Aku melihat dengan resah ke arah tiga laki-laki lain yang menatapku. Mason pasti menyadari kalau aku tidak menginginkan mereka berada di sana, jadi dengan satu anggukan, mereka semua pergi menjauhi Mason dan diriku.
Mason kembali padaku, mengangkat alisnya seperti memberi sinyal padaku untuk berkata sesuatu. Aku membasahi bibirku dan menghela napas. "Apa kau tahu di mana Evan hari ini?"
Mason menatapku dengan kosong sebelum mata coklatnya mulai menjelajahi wajahku. Ia menatapku dengan begitu dalam, seperti ia sedang mencoba membaca apa yang sedang aku pikirkan. "Siapa kau?"
Aku menelan ludah. Itu jelas sekali bukan jawaban yang aku harap dapatkan. Aku menginginkannya untuk cukup memberitahuku di mana Evan. Aku tidak menduganya untuk bertanya siapa diriku dan mengapa aku ingin bertemu Evan. "Remy. Hanya teman Evan."
Mata Mason seketika melebar seperti ia mengenali siapa diriku. "Kau Remy? Remy Montgomery?"
Aku mengangguk pelan. "Itu aku."
Bibir Mason terbelah dan ia berdeham. Seketika, bibirnya mulai kembali bergerak, tapi tanpa suara yang keluar darinya. Aku memerhatikan bibirnya saksama, mencoba membaca apa yang ia gumamkan. Aku menerka ucapannya mengenai angka-angka. Bibirnya berhenti bergerak saat ia sampai pada hitungan kesepuluh.
"Hari kesepuluh." Ia berbisik pada dirinya sendiri sebelum matanya terkunci padaku. "Hari ini hari kesepuluh."
Evan bilang ke Mason tentang perjanjian kami? Memang, aku tidak terkejut. Mereka berdua adalah sahabat. Aku hanya berpikir kalau perjanjian itu hanya di antara kami berdua, sebab Evan tidak pernah menyebutkan kalau ia memberitahu orang lain. Aku seketika mengerutkan dahiku. Siapa lagi yang ia beritahu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Reasons Not To Die [Indonesian Ver.] | ✔
Nouvelles••• This is the Indonesian version of the short story Ten Reasons Not To Die. All the copyrights and the original work go to @RiceLover ••• Ini adalah terjemahan dari buku cerita pendek Ten Reasons Not To Die. Hak cipta dan karya asli milik RiceLove...