Day 3

7K 1K 57
                                    

Ten Reasons Not to Die

Hari ketiga - Memanggang

     Evan mengunjungi panti setelah sekolah usai pada Senin siang. Aku tidak menyangka akan melihatnya, tapi aku tidak terkejut pula.

     "Apakah kau mengenal laki-laki ini?" Mother Grace bertanya padaku setelah memanggilku turun dari kamar. Ia berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan nada terkejut pada suaranya, karena aku tidak pernah, sama sekali, kedatangan tamu satupun.

    Kedua mataku terkunci pada Evan saat ia memberiku senyuman kecil. "Kami satu sekolah."

     "Oh." Mother Grace membalas senyuman pada Evan. "Senang melihatmu bersama seorang teman, Remy."

     Aku membasahi bibirku. "Kami bukan --"

     "Jika kau tidak keberatan, Mother Grace," Evan melemparkan senyuman manis padanya, "aku ingin membawa Remy keluar untuk satu atau dua jam?"

     Mother Grace mengangguk, menepuk punggungku. Aku mendesah, memutar bola mataku saat ia mendorongku sedikit ke arah Evan. "Bawa dia pergi selama yang kau mau. Remy jarang meninggalkan panti, kecuali saat dia pergi sekolah."

     Evan tersenyum girang. "Aku akan menjaganya dengan baik."

     Dengan itu, aku pun mengikuti Evan keluar panti. Saat Mother Grace menutup pintu di belakang kami, aku pun melemparkan sebuah tatapan kepada Evan. "Ke mana kau akan membawaku hari ini?" tanyaku, sarkasme merambat dari nadaku.

     Evan mengacuhkan peringatan sarkasku bersamaan ketika ia menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. "Aku akan membawamu ke toko roti pamanku."

     Aku mengerutkan dahi. "Apa yang akan kita lakukan di sebuah toko roti?"

     "Kita akan belajar bagaimana membuat kue kering cokelat lapis tiga," cetus Evan santai.

     Kami berhenti di sebuah toko roti yang terkenal di kota kami. Aku sebelumnya pernah berkunjung satu kali, tapi itu sebelum orangtuaku meninggal. Mereka pernah satu kali mengajakku ke sini di hari ulang tahunku dan membiarkanku memilih kue manapun yang aku inginkan. Aku berakhir dengan memilih kue cokelat paling enak di sini. Aku bahkan mengingat senyuman tersembunyi di wajah paman Evan saat aku mengatakan padanya apa yang kuinginkan.

     "Evan!" seorang pria memanggil dengan tepung di sekujur tangannya. "Senang melihatmu, nak."

     "Senang melihatmu juga, Paman Frank." Evan menarikku ke depan, memperkenalkan diriku. "Ini Remy Montgomery, salah satu dari temanku."

      Frank mengangkat satu alisnya kepada Evan dengan tidak yakin. "Apakah kau yakin kalian berdua tidak lebih dari itu?"

      Mataku melebar bersamaan dengan Evan yang sedikit tersipu di sampingku. "Ya. Aku yakin Paman Frank," desah Evan. "Apa kau mendapat semua bahan-bahan untuk membuat kue keringnya?"

     "Tentu saja, Evan!" Paman Frank tersenyum licik. "Orangtuamu memastikan aku membuat kencan ini sempurna untuk kalian berdua. Mereka tadinya mulai cemas kalau kau berubah menjadi gay, karena kau tidak pernah pergi berkencan sebelumnya."

      Aku menahan tawa ketika Evan menggerutu di sampingku. Lengannya menghadang pergelangan tanganku, menarikku menuju ke dapur. "Ayo pergi, Remy." Ia memberengut dengan rasa malu.

     "Apa kau pernah memanggang sebelumnya?" Ia bertanya saat kami memasuki wilayah dapur.

     Aku menggelengkan kepalaku. "Para biarawatilah yang memasak di panti."

    "Baiklah." Evan terkekeh. "Aku juga tidak pernah memanggang. Jadi, kukira kita mulai dari awal, kan?"

     Evan terlihat bingung ketika ia menatap semua bahan-bahan itu. "Baik." Ia mengoceh tak menentu, mengambil beberapa telur dari kulkas. "Ayo mulai dengan memecahkan ini!"

     Kami memecahkan telur-telur itu, sesekali mendapati cangkang telur jatuh ke dalam mangkuk. Selagi aku mulai menganduk telur-telur itu dan menambahkan gula serta garam, Evan sedang mencoba untuk mencari cara bagaimana membuka kantung tepungnya. "Apa kita punya gunting di sini?" tanyanya, mencoba merobek segelnya. Baru saja aku hendak mengopernya sebuah gunting, tepung itu menyembur ke wajahnya.

     Ia menatapku tak percaya, dengan wajahnya yang tertutup bubuk putih. Aku tertawa sedikit dan menyodorkannya sebuah gunting. "Masih membutuhkannya?" godaku.

     Evan berdiri saat tepung itu jatuh ke kemejanya. "Kau pikir ini lucu?" ia bertanya, mengangkat sebelah alisnya yang sekarang juga berwarna putih.

     Aku tersenyum lebar saat ia mulai mendekatiku. Senyumku pupus saat ia membuka lengannya lebar-lebar. "Apa yang kau --" ujarku.

     Evan menarikku ke dalam sebuah pelukan erat, menggosokkan wajahnya di seluruh bahuku. Tepungnya membuatku batuk. Aku pun mendorongnya.

     Saat aku menjauh, aku menyadari ada tepung di seluruh rambut dan pakaianku. Aku membelalak pada Evan, mengangkat sekarton telur. "Kau akan menyesalinya, Woods." Aku tersenyum, melempar sebutir telur ke arahnya.

     Telur itu mendarat di dadanya, pecah terbuka. Wajah Evan saat itu sungguh tidak ternilai harganya lalu ia mengambil beberapa bubuk soda kue dari mangkuk. Ia melemparnya ke arahku dan bubuk itu pun melapisi seluruh tubuhku.

     Aku menatapnya.

     Ini berarti perang.

     Tidak beberapa lama kemudian, kami tertutup oleh bahan kue dari kepala hingga kaki. Kami terlihat menggelikan.

      "Bagaimana keadaan kue keringnya?" Frank menyembulkan kepalanya.

      Matanya terbelalak melihat kekacauan ini, bersamaan dengan rahangnya yang terlihat hampir copot. "Ya Tuhan!" ia mendengking.

     Aku mengigit bibir bawahku dengan rasa bersalah. "A-Aku minta maaf. Aku akan membersihkannya."

    "Oh tidak, manis!" ia menatapku. "Aku tidak menyalahkanmu! Di sini aku menyalahkan Evan! Bagaimana bisa kau melempar telur kepada seorang gadis di kencan pertamamu?"

     Mata Evan berpindah kepadaku, sesaat sebuah senyuman menyebar di sepanjang bibirnya. "Alasan nomor tiga, Remy. Memanggang kue. Kita tentu harus memanggang lebih sering lagi."

     "Tidak di dapurku!" seru Frank.

Ten Reasons Not To Die [Indonesian Ver.] | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang