T I G A

20 4 1
                                    

Hana mendesah lelah. Dia menatap gadis di sampingnya. Dia capek sekali, rasanya kakinya ingin patah karena menemani Eriska mengitari Mall tempat mereka berada sekarang. Semuanya akan menjadi lebih baik jika Eriska membeli setidaknya satu jenis barang. Tapi nyatanya tidak. Jangankan membeli barang, makan saja Hana yang harus mentraktirnya.

Sekarang mereka ada di toko yang menjual aksesoris seperti kuncir rambut, tas laptop, dan lain-lain. Sedari tadi Eriska hanya berputar di toko itu, memegang, melihat-lihat, kemudian menaruhnya kembali. Hana sudah risih sekali melihat tatapan kesal penjaga toko yang melihat mereka sudah hampir setengah jam di sana tapi hanya berputar-putar dan tidak membeli apapun.

"Ers, pulang aja deh yuk. Dari tadi kita muter-muter aja, capek tau nggak," bisiknya di telinga Eriska ketika melihat tatapan mbak-mbak penjaga toko semakin sadis.

Eriska menoleh dan menyadari wajah lelah Hana. Dia tersenyum terpaksa. Dia merasa bersalah karena membuat Hana menemaninya mengitari tempat ini. Dan parahnya tidak membeli apapun. Bukan karena ia tidak memiliki uang. Kemarin dia sudah memindahkan sejumlah uang bulanan pemberian ayahnya ke tabungan pribadinya. Jumlahnya cukup banyak. Dan kalau dia tidak ingat tiga minggu lagi dia akan tinggal di asrama, dia pasti sudah gelap mata dan menghabiskan uangnya dengan membeli semua barang yang dia inginkan.

Ya, Eriska memutuskan untuk menolak perjodohan itu dan harus merelakan dirinya tinggal di asrama dengan seluruh fasilitas yang ditarik oleh Harry. Dia sudah menyerahkan seluruh kartu yang dimilikinya tadi pagi dan Papinya itu menerimanya dengan wajah datar. Setelahnya Eriska langsung pamit pergi karena Hana sudah menjemputnya.

Eriska mengangguk. "Ya udah, yuk pulang," ajaknya. Dia menarik tangan Hana keluar dari toko itu. Baru mereka sampai di ambang pintu masuk, langkahnya terhenti membuat Hana mengedip heran.

Tatapan Eriska tertuju pada toko yang ada di depannya. Lebih tepatnya mungkin terlihat seperti, distro? Di sana, di balik kaca bening yang menghalangi penglihatan Eriska, dua orang lelaki sedang tertawa sambil melempar ejekan.

Hana mengikuti arah pandangan Eriska lalu mengerti penyebab sahabatnya itu mematung seperti sekarang. Dia menyenggol lengan gadis itu. "Mau nyamperin nggak?"

Eriska mengerjap. Dia menatap Hana yang balas menatapnya dengan tatapan meyakinkan. Matanya beralih lagi pada dua lelaki tadi. "Nggak papa?" tanyanya ragu.

Hana mengangguk semangat. Matanya mengedip beberapa kali. "Noprobs. Asal lo jangan malu-maluin." Kali ini ia gantian menarik tangan Eriska. "Yuk."

Eriska sebenarnya ragu. Tapi akhirnya ia mengikuti saran Hana dan mengumpulkan keberaniannya untuk menghampiri dua lelaki tadi.

..........................

Pemilik distro tempat mereka berada sekarang adalah sahabat Danish dan Keenan semasa SMA. Namanya Denar Hardian. Sayangnya, mereka tidak masuk ke universitas yang sama. Tapi untungnya itu tidak membuat hubungan persahabatan mereka tidak merenggang. Danish dan Keenan sudah sering ke distro ini. Minimal sebulan dua kali, tepatnya ketika ada barang-barang baru yang datang. Seperti sekarang.

Keenan hobi mengoleksi sepatu. Bukan sepatu yang mahal. Keenan tidak terlalu menyukai barang-barang mahal melekat di tubuhnya. Kebetulan distro milik Denar menjual sepatu dengan harga paling mahal seratus ribu. Dan hari ini berbagai sepatu koleksi terbaru datang dan Keenan tidak ingin ketinggalan. Makanya Keenan meminta Danish untuk menemaninya.

Tapi tentu saja Keenan tidak hanya membeli sepatu. Biasanya dia akan melihat-lihat baju atau topi dan jika ada yang menarik matanya, maka dia akan membelinya. Walaupun pemilik distro ini adalah sahabatnya, Keenan tidak ingin mendapat potongan harga. Karena ini merupakan usaha milik sahabatnya, masa dia ingin mengurangi rezeki yang harus diterima Denar? Rasanya kejam sekali.

"Keenan, Danish," panggil seseorang dari belakang membuatnya menoleh dan melihat Denar yang berjalan menghampirinya.

"Hei, Den," sapa Keenan. "Apa kabar lo?"

"Baik." Denar mengajak mereka duduk di sofa yang ada di satu sudut distro. "Barangnya belum dateng nih, Ken. Lo mau nunggu apa mau pergi dulu baru balik lagi?"

Keenan menggeleng. "Gue nunggu aja deh." Dia menyandarkan tubuhnya. "Eh, Den, ini temen lo datang nggak mau dikasih minum apa?"

Denar tertawa. "Santai aja kali, Ken. Tadi udah gue suruh pegawai gue buat beli minuman." Dia lalu menatap Danish yang duduk di samping Keenan. "Kenapa lo, Dan? Lesu amat."

Danish memasang tampang masam. "Ini semua gara-gara lo, Den. Coba lo nggak bilang kalau hari ini ada barang baru datang, pasti gue sekarang masih berkutat dengan mimpi indah gue." Dia mendengus ketika mendapati Keenan nyengir. "Nggak usah cengar-cengir lo. Balik ini lo mesti traktir gue pokoknya. Gue nggak mau tau," sungutnya. Tangannya terlipat di dada.

Keenan merengut. "Kampret. Elo juga masih punya utang traktir makan sama gue, kalau lo lupa," ingatnya lagi. Denar hanya bisa tertawa melihat perdebatan kedua sahabatnya.

Danish tidak mempedulikan Keenan. Dia memilih menyandarkan tubuhnya dan mulai memejamkan matanya. "Gue mau lanjutin mimpi indah gue dulu. Bangunin gue kalau lo udah selesai." Keenan mendengus dan tidak berkata apa-apa lagi.

..........................

Eriska tersenyum mendengar percakapan ketiga lelaki itu. Percakapan yang diselingi dengan perdebatan kecil. Eriska sampai harus menahan tawanya karena tidak ingin orang-orang melihatnya tertawa tanpa sebab.

Dia lebih memilih untuk mengamati lelaki yang menarik perhatiannya tadi sambil melihat-lihat isi distro tersebut. Jarak dari tempatnya berdiri sekarang dengan ketiga lelaki tadi cukup dekat sehingga dia dapat mendengar seluruh percakapan mereka. Dan membuat Eriska mengetahui nama lelaki itu.

Keenan.

o000o

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang