Rumah Irene.
Setelah merayakan hari ulang tahun Sarah, kita memutuskan untuk sleepover karena kita tidak pernah melakukannya lagi semenjak lulus SMA. Sejujurnya, kita semua sangat merindukan satu sama lain sehingga 1 (satu) hari saja tidak cukup untuk melepas kangen. Rumah Irene sangat luas. Banyak tanaman obat yang ditanam di perkarangan rumahnya. Aku cukup rindu dengan suasana rumah Irene yang tenang dan sejuk. "Tidak berubah, masih sejuk seperti biasanya." aku tersenyum dalam hati.
"Halo cantik, ya ampun kalian cantik-cantik banget... Tante sampai pangling lho!" Lamunanku seketika buyar mendengar sahutan Ibunya Irene dari kejauhan.
"Tante juga masih cantik kok!" Timpal Vani sambil mencium tangan Ibunya dengan sopan.
Kami bergantian menyalimi Ibu dan Ayah Irene. Mereka adalah orang tua yang sangat luar biasa perhatian kepada Kita semua. Mereka baik dan sangat berhati mulia bahkan kita tidak segan untuk memanggil ayahnya dengan sebutan "Ayah Bersama".
" Wah Sarah, Lama nggak ketemu makin modis aja hihihi." Tante sangat gembira melihat kedatangan Kami.
"Masa sih? Ah perasaan Tante aja kaliiii. Aku mah biasa-biasa ajaa." Sarah menangkal namun kenyataannya dia tersipu. Itu adalah kalimat yang ingin dia dengar setelah sekian lama berkunjung ke rumah Irene. Kita hanya tertawa garing melihatnya.
"Vani dan Maura gimana perkuliahan?" Tanya Ayah Irene penasaran.
"Alhamdulillah lancar, Om!" Mereka merespon sambil tersenyum.
"Sekarang sih lebih banyak paper..Jadi kita udah jarang banget kumpul bareng Om. Susah ngaturnya hmm." Vani menambahi dengan gelisah.
"Itu wajar kok. Kalian jangan pernah menyerah dulu sebelum melihat garis finish di depan mata. Kelak ketika kalian sudah melewatinya, kerja keras kalian pasti akan sangat terbayarkan. Om ngomong begini karena Om sangat yakin kalian semua adalah wanita-wanita cerdasnya Indonesia."
Kami terenyuh mendengar apa yang diucapkan Ayah Irene dan seketika tingkat kepercayaan diriku kian meningkat. He is a good father!
"Nera! Hey Kamu! Kok murung banget??" Aku terkesiap hampir meledak. Jantungku hampir jatuh dari sarangnya. Semua ini karena Ibunya Irene menepuk pundakku dan sedikit berteriak.
"Ohh..ho..ho duuuh Tante. Nera nggak murung kok..." Aku terkekeh sedikit karena sejujurnya aku kaget sekali.
Empat anak itu hanya bisa menahan gelak tawa melihat aku dikagetkan seperti itu.
"Lagi galau tuh... Keliatan banget kan ma, bengong-bengong cuman dengerin kita ngomong." Irene menyikut pinggang Ibunya diiringi tawa tertahan.
"Tolong cariin Nera pacar baru ya Tante! Kasian setiap hari diliputi kegelisahan hahahaha." Maura tertawa sambil memegangi perutnya. Apa yang lucu!?
"Emang ya, dari dulu selalu gue terus yang dihina-dina. Ngebully gue emang seenak apa sih?"
Mereka semakin tertawa di luar kendali. Aku heran tapi nggak mau ambil pusing. What's wrong with you, guys?
"Itu tuh alasan yang bikin kita seneng banget ngerjain lo!" Sarah menyeka air matanya. Air mata berlebih dari efek tertawa yang berlebih juga.
Alasan apa!?
"Hey udahan ah... Kasian tuh Nera yang lagi galau dibikin pusing sama kalian. Lama-lama dia jadi Socrates sang pemikir." Tante mencoba mengakhiri suasana yang riuh namun bagiku gagal karena mereka semua benar-benar mentertawakanku sambil membayangkan Socrates versi perempuan.
Aku hanya terkekeh pasrah. Bagiku tidak apa-apa aku menjadi bahan candaan, asalkan mereka bisa tertawa bahagia. Suasana ini yang aku inginkan setelah berjuang keras ingin keluar dalam ruang kesedihan. Aku benar-benar patah hati.....
"Ma, Pa, Irene dan yang lain ke kamar ya. Nanti kalau udah waktunya makan kasih tau aku."
"Iya sayang, mama siapkan dulu makanan favorit kalian yaa."
Ibunya Irene memang orang yang paling bisa memanjakan tamunya.Kamar Irene.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Kami berkumpul di ruang tv sambil menikmati cemilan. Sejujurnya pencernaan dalam tubuhku sudah tidak ingin menerima berbagai macam asupan, tetapi lain dengan mulutku yang ingin sekali mengunyah sesuatu. Ada banyak snacks, potato chips, 5 mango juices, gorengan, dan permen coklat di toples.
"Ra, jangan kebanyakan bengong dong, nggak asik ah!" Vani menggerutu.
"Tau nih.... kan jarang-jarang kita ngumpul bareng." Maura yang tadinya fokus dengan acara tv ikut-ikutan cemberut.
"Ya ampun gengs! gue nggak bengong kok. Daritadi kan kita ngobrol."
"Emang lo inget tadi kita ngobrolin apa?"
"Ngomongin itu kan...... si ituuuuuu.... siapa sih namanya!" Aku geregetan.
"Kita kan daritadi nggak ngomongin orang. Wah wah.... lo mesti dibawa ke psikiater nih sekalian di belah otaknya." Vani mulai berangan-angan.
Umur 21, obrolannya masih seperti bocah ingusan. Duh temanku tersayang!
"Beneran deh gue berani sumpah.... gue biasa aja. Iya gue akuin gue kayaknya patah semangat....."
"Apa dong yang bikin semangat lo balik lagi? Lo nggak boleh terus-terusan begini. Masih banyak hal yang mesti lo kerjain ketimbang galau nggak jelas. Inget... sekarang lo udah semester 6. Cari tempat magang, kek. Cari informasi beasiswa kek, apa kek!" Sarah tidak suka melihat Aku yang tidak bersemangat seperti ini.
"Hmm... tapi menarik juga sih." Irene tiba-tiba menemukan sebuah ide.
"Menarik apanya?"
"Gapapa.... lumayan buat ide skripsi gue untuk semester 7 nanti."
"Jangan setengah-setengah ngomongnya! Eittttt.... tunggu dulu. Gue ngerti nih obrolan kita ngarahnya kemana." Aku dan Irene layaknya perangkat bluetooth. Dari dulu pikiran kita selalu cepat terkoneksi.
"Hehehe lo tau gue kan, Ra. Setuju nggak?"
"Hmmm.... boleh juga. Gue juga penasaran berapa banyak wanita yang mengalami kejadian pahit yang kayak gue alami sekarang ini. Lo keren juga, Ren!" Aku dan Irene ber-high five ria.
Vani, Sarah, dan Maura hanya bisa melihat satu sama lain tidak mengerti dengan percakapan 2 (dua) anak ajaib ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Interview
RomanceSeorang wanita sederhana bernama Nera yang menceritakan kisah cintanya kepada para sahabatnya melalui sebuah wawancara kecil. Kejadian mengharukan, menyenangkan, membahagiakan, mengejutkan, dan menyedihkan bercampur menjadi satu hingga menjadi sebua...