#2 Mistake

2.4K 234 46
                                    

***

Hujan malam itu masih berlanjut dan enggan untuk berhenti. Menghadirkan suhu dingin yang bahkan tidak bisa dirasakan oleh gadis yang tengah menggeliat gelisah di atas ranjangnya.
Pelipis dan surai cokelatnya basah, matanya terpejam tapi katup bibirnya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Kepalanya menggeleng ke sana kemari, sementara kedua tangannya mencengkram erat pada sprei hingga detik berikutnya bola mata gadis itu terbuka lebar dengan napasnya yang tersengal-sengal.

Ia terdiam beberapa saat, fokus menatap langit kamarnya yang berwarna putih lantas satu tangannya tergerak menghidupkan lampu kecil yang sengaja ia letakkan pada meja nakas di sebelah ranjangnya. Ia bangkit, mendudukkan dirinya di tepi seraya memijit pelipisnya yang terasa pusing akibat mimpi buruk itu lagi.

Perlahan wajahnya mendongak, memperlihatkan jejak air mata yang entah sejak kapan sudah menghiasi kulit putihnya. Bibirnya bergetar pelan dan dengan kasar ia menghapus sisa lelehan yang masih belum surut dari kelopaknya.
Sejenak sesuatu mengganggu pikirannya, membuatnya merasa cemas tiba-tiba ketika irisnya lekat menatap daun pintu cokelat di hadapannya. Dengan gusar ia bangkit dan membuka pintunya hingga bertemu langsung dengan daun pintu lain di depan kamarnya.
Sorotnya datar, tapi ada kecemasan yang jelas di sana, membuat kakinya lantas melangkah cepat menuruni anak tangga dan berhenti pada depan pintu kamar orangtuanya. Tangannya sudah terangkat, siap mengetuk tapi ia urungkan. Ia menghela napas pelan lalu kepalanya kembali mendongak, menatap nanar pintu kamar kakak tirinya.

.
.
.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima dini hari. Itu berarti sudah lebih dari dua jam sejak ia terjaga dan berakhir duduk bersimpuh di depan kamar Chanyeol, dengan sebuah wadah berisi air es yang sudah mencair.
Semalam ia begitu khawatir. Melihat bagaimana pucatnya wajah laki-laki itu saat terakhir mereka bertatap muka membuatnya tak bisa kembali tidur. Ia tahu, tak seharusnya begitu mengkhawatirkan laki-laki itu, tapi mengingat Chanyeol memberikan jaket padanya saat di box telepon dan memilih kedinginan demi dirinya sudah cukup ia jadikan alasan.

Ia takut, sangat takut apa yang selalu hadir di mimpinya selama beberapa tahun terakhir ini akan terulang lagi, hingga Soojung kembali meringkuk seraya memeluk kedua lututnya erat.
Semalam ia berniat mengetuk pintu kamar Chanyeol, hendak mencari tahu apa laki-laki itu baik-baik saja, tapi ia kelewat tak berani. Membayangkan apa yang terjadi pada Chanyeol, ia tak bisa.

Bagaimana jika dia tidur?

Bagaimana jika dia tak menjawab saat aku memanggilnya?

Bagaimana jika dia tak bergerak saat aku mengguncang tubuhnya?

Apa wajahnya juga pucat?

Apa dia juga tak akan bernapas?

Soojung menyembunyikan wajahnya pada lengan yang memeluk kedua kakinya, membiarkan rasa takut dan bayangan-bayangan buruk itu pergi dan berhenti menghantuinya. Hingga sebuah derit pintu terdengar dari bawah sana.

Ia bergerak perlahan mengangkat kepalanya dan menilik ke lantai bawah. Ada ibunya yang sudah rapi tengah membantu sang ayah menggeret koper besar dari dalam kamar.

“Sudah mau berangkat?”

Kedua orangtuanya lantas mendongak lalu tersenyum mendapati gadis itu berdiri mengamati mereka. “Kau sudah bangun? Kemarilah,” ujar ibunya dengan senyum hangat yang membuatnya lupa akan rasa dingin beberapa saat lalu. Perlahan kakinya melangkah turun dan berhenti tepat di depan kedua orangtuanya.

“Kami akan ke Jeju dalam beberapa hari, kau dan Chanyeol baik-baik di rumah,” ujar sang ayah yang dibalas Soojung dengan anggukan kepala.

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang