Fourth petal - Peony

22 1 0
                                    

Tentang pergulatan batin

Suara berdebam dihasilkan tepat ketika seorang gadis membanting pintu apartement-nya agak keras, seolah tak perduli lagi jika pintu itu harus rusak atau rontok dari engselnya. Kemudian, gadis itu mendaratkan tubuhnya di atas tempat tidurnya dengan keras, serupa caranya membanting pintu apartement-nya, mungkin tak perduli jika iya harus jatuh terguling akibat terlalu keras menghantamkan dirinya diatas kasur.

Ia terdiam... lama, tanpa pergerakan.....
Matanya menatap nanar ke langit - langit kamarnya yang sengaja ia cat dengan warna biru muda, sewarna langit pagi hari cerah -warna kesukaannya.
Ia merasa kesadarannya mulai terganggu, ketika selama beberapa saat ia mulai mendengar suara ribut dari dalam dirinya sendiri terselip di antara keheningan malam, padahal bibirnya sama sekali tidak bernafsu untuk berbicara meskipun hanya untuk satu huruf.
Gadis itu memejamkan kedua matanya, kemudian memicingkan telinganya -atau lebih tepat jika disebut 'menajamkan perasaannya'- untuk bisa mendengar suara yang tengah beradu dalam benaknya...

"Kau lihat perubahan yang terjadi pada majikan kita akhir - akhir ini?" Hati mulai membuka topik pembicaraan dengan Logika.

"Tentu saja aku tahu. Karena akulah yang paling pertama menentang perubahan itu..." desah Logika kemudian.

"Aku merasa kasihan pada majikan kita... Lihatlah, pipi tembamnya itu kini berubah menjadi tirus, layaknya bayi kekurangan gizi, tak terpenuhi jumlah ASI dari ibunya. Kurasa jika kondisi ini terus dipertahankannya, pimpinan perusahaan tempatnya bekerja sekarang akan dengan sangat terpaksa memotong gajinya -karena membolos jam kerja akibat keluhan penyakit." Hati mulai gelisah.

"Memang benar, sih... dan lagi, akhir akhir ini sikapnya pun mulai berubah. Majikan kita mulai seperti raga tanpa nyawa, tubuh tanpa roh... tak lagi ada tawa ataupun ceria. hilang gairah hidup, mungkin? seperti mayat hidup saja lakunya belakangan ini..." Sarkasme dari Logika terdengar begitu tajam. Logika memang tipe yang tak bisa menyembunyikan kenyataan. dengan terpaksa, akhirnya Hati meng-iyakan pernyataan Logika barusan.

"Aku paham betul bagaimana perasaan majikan kita....." Hati mengecilkan volume suaranya. ada suaranya mendayu pilu.

"Apa yang kau tahu, ha? Harusnya majikan kita menuruti apa kataku! Inilah yang terjadi karena ia terlalu banyak mengikuti maumu! lihat, siapa yang kesusahan sekarang..." Logika melirik sinis ke arah Hati.

"Hei... apa maksudmu barusan?? Aku hanya berusaha untuk membantunya dengan sedikit petuah yang aku punya! apa salahnya, sih, kalau dia mempunyai rasa cinta pada lelaki itu?" Hati mulai tersinggung.

"Cinta... cinta.... cinta.... kau masih mau bilang kalau ini bukanlah suatu kesalahan, meskipun lelaki itu kini meninggalkannya sendiri dengan tumpukan masalah yang harus majikan kita selesaikan seorang diri?? Persetan dengan cinta.... majikan kita hanya menyakiti dirinya sendiri dengan mencintai lelaki itu..." Kalimat yang dilontarkan Logika kini lebih pedas lagi dari sebelumnya.

"Apa kau tak punya sedikitpun rasa peduli pada majikan kita? Coba sekarang kau fikirkan dan renungkan. Kalau bukan karena mencintai lelaki itu, lantas dengan siapa majikan kita akan merasa bahagia? Semenjak traumatis akibat kasus orangtuanya, majikan kita telah mati rasa, tak lagi bisa mencicip manisnya bahagia, senyumpun tak pernah ada. Menangis saja kerjanya tiap hari. Tetapi lihatlah, ketika lelaki itu datang, senyum itu berangsur - angsur pulih dari wajahnya. Apa kau tidak ikut merasa senang dengan kondisi itu?" Hati mulai memberi bukti nyata.

"Huh... apa guna bahagia yang hanya sementara jika pada akhirnya nelangsa datang juga? menurutmu, bergunakah mereka yang datang sebentar, kemudian pergi setelahnya, menjadikan majikan kita hanya sebagai persinggahan sejenak, kemudian hilang entah kemana?" Logika tak mau kalah.

HanakotobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang