Marischa
Langit sore ini mendung, menelan panasnya kota Jakarta. Tidak terlalu buruk, fikirku.
Tes... tes... tes....
Pelan - pelan gerimis turun, tanpa derap yang terlalu menderu seperti yang hujan lakukan.
Aku spontan mengambil sebuah saputangan dari tasku, kemudian menutupi kepala sebisaku dengan saputangan berwarna biru muda itu.
Tak lama, gerimis menderas, memburu jatuh menghantam tanah beraspal.
Sesaat pertama, ketika beberapa orang berlarian, aku masih bertahan untuk tetap berjalan anggun layaknya tuan putri.
Lama kelamaan, gerimis berubah rupanya menjadi hujan, memaksaku untuk sedikit berlari.
Crak.....
Seseorang disampingku berlari agak cepat melewati sebuah kubangan. air keruh kecoklatan itu memberi bekas di rok yang ku pakai.
Hei... aku berhak marah, kau tahu kan?
Tapi orang itu sudah terlanjur berlari menjauh dan air hujan seolah menahan emosiku untuk tidak segera menyembur keluar.
Aku tak ambil pusing, kemudian berlari menuju sebuah cafe kecil di pinggir jalan. Répondre café, sebuah café kecil bergaya Prancis yang menyajikan sebuah suasana hangat, seolah memnaggil tamu - tamunya untuk membuat temu di dalam sana.
Sebuah kursi di samping jendela, satu - satunya yang aku cari setiap memasuki sebuah café. Entah kenapa, aku suka mentapai jalan dan hiruk pikuknya selagi menyesap secangkir kopi yang tersaji di hadapanku, sampai tandas.
"Bonjour, madamoiselle (selamat siang, nona) Ada yang bisa kami bantu?" seorang waitress menyerahkan daftar menu ke arahku. dengan sedikit membolak - balik lembarannya, aku memutuskan dengan cepat.
"secangkir cokelat panas, topping hazelnut dicampur vanilla dan.. emm... sedikit rum" pintaku sembari si waitress mencatatnya di notes kecil yang dibawanya.
"Baiklah, madamoiselle... silahkan menunggu sekitar 15 menit." si waitress pamit dari mejaku.
Aku memangkukan dagu diatas kedua tanganku, sambil melempar pandang ke luar café. Ironis, aku bisa melihat dengan jelas anak - anak kira - kira berusia belasan tahun bermain hujan sambil menawarkan payung berwarna - warni kepada setiap pejalan kaki yang mereka jumpai.
"désolé, madamoiselle (maaf, nona) ini pesanan anda. ada lagi yang bisa saya bantu?" waitress itu meletakkan secangkir cokelat panas di dalam sebuah cup berwarna putih, sementara aku hanya melempar sebuah senyum padanya. "Ah.. saya hampir kelupaan... seorang maître(tuan) disana meminta saya untuk memberikan ini kepada anda..." waitress itu menyerahkan sebuah saputangan berwarna putih dengan wangi mintz yang menyegarkan.
Dari siapa? aku kenal wanginya... wangi yang tak asing bagiku...
aku melirik ke arah yang ditunjukkan oleh waitress yang baru saja berlalu menuju meja kasir. seorang pria berkemeja biru tua sedang duduk dengan posisi yang sama denganku, dalam sisi yang berlainan. ia juga sedang melempar pandangannya pada perempatan jalan Jakarta.
Cepat - cepat aku memaikai saputangan itu untuk menyapu habis bekas air kubangan yang tadi terciprat di atas rok ku.
Dia.... laki - laki yang berlari disampingku sampai membuat rok ku berlumuran tanah kotor.
Dia harus meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat tadi..... dengan inisiatifnya sendiri atau aku yang akan membuatnya meminta maaf padaku!Ray
Aku bisa melihat bayangan seorang perempuan berambut pirang sebahu terpantul dari kaca jendela yang mengembun. Lihat apa yang akan aku lakukan kemudian padamu, madamoiselle...
"Permisi...." sapa perempuan itu sambil mengetukkan jemarinya diatas mejaku. aku menggigit senyum karenanya.
"Permisi, mas..." kurasa perempuan itu mulai jengkel atas tingkahku. sembari memagut senyum, aku menoleh perlahan kearahnya. aku bisa melihat posisinya yang berkacak pinggang disampingku.
"Ada yang bisa saya bantu, mabk?" tanyaku iseng.
"Mas yang tadi lari di samping saya, kan? gara - gara mas ini rok saya kena air kubangan, mas tahu? mas harus minta maaf sama saya.." perempuan itu mengomel panjang lebar.
sama..... dia masih gadis yang sama...
Aku kembali mengulum sanyum.
"Mbak sudah menerima saputangan yang saya titipkan sama waitress nya kan? itu bentuk permintaan maaf saya ke mbak lho..." jawabku.
"Tapi mas belum minta maaf secara langsung sama saya..." perempuan itu mulai sewot.
Benar.... dia masih gadis yang sama.....
"Ya sudah... kalau gitu saya minta maaf ya sama mbak..." aku tertawa kecil, mengamati bola matanya yang tepat hitam di Irisnya.
"Mas serius, nggak, sih minta maaf sama saya? kok pakai tertawa segala? apanya yang lucu?" perempuan itu kembali menggumaman kekesalannya padaku. membuat aku justru makin ingin tertawa...
tertawa karena akhirnya aku menemukan dia.... setelah 15 tahun meninggalkan Indonesia untuk belajar di kota mode, Prancis.
'Aku pulang, Marischa...' jeritku dalam hati. Aku bahagia.Takdir kah? jika ini memang permainan nasib, maka aku benar - benar menikmatinya. Disini, aku dipertemukan lagi dengan satu - satunya orang yang paling pertama ingin kutemui sesaat ketika aku menapakkan kakiku di Ranah Pertiwi lagi. Satu - satunya gadis ceria yang berhasil mencuri sebagian hatiku untuk tetap tinggal di Jakarta. Gadis pertama yang menjadi alasanku untuk 'pulang' kembali ke negara ini.
Tidak banyak yang berubah dari dia. Hanya saja postur tubuhnya yang makin tinggi dan wajahnya makin terllihat dewasa, terbalut dengan senyum kekanak-kanakannya...
Kemudian matanya, alisnya, rambuttnya, sikapnya..... Diamasih gadis yang sama.....
Meskipun menurut kesaksian beberapa kerabatnya, diamengalami kecelakaan berat yang menyebabkan memorinya terhapus. Dia... sekarang diperbudak oleh amnesia...
"Jadi gimana nih, mas? Mas masih gamau minta maaf yang benar sama saya??" perempuan itu kini menekuk wajahnya, cemberut.
Aku meraih tangan kanannya yang diletakkannya di pinggangnya, kemudian menggenggam hangat jari kelingkingnya. Kali ini, aku tersenyum tulus. ini yang biasa ku lakukan jika dia marah padaku, dulu. biasanya, dia akan menatap dalam mataku dan sesaat tatapan kami bertemu disatu titik, kemudian dia akan melupakan alasannya marah padaku.
Aku melihat dia setengah kaget, tapi tak bisa berkata apa - apa. bibirnya terkatup, tak ada emosi lagi yang keluar dari sana. Dia menatap mataku dalam, dan -lagi- tatapan kami bertemu. sebuah nostalgia tak begitu buruk, fikirku.
Reaksinya masih sama.... hanya saja tatapannya kini menyiratkan sebuah kekosongan.
aku mengartikannya sebagai isyarat untukku mengambil sebuah bagian di dalamnya.
"désolé, madame. Je m'ennuie de toi. acte ignorant est une forme de mon amour pour vous. (maaf, nona. aku hanya merindukanmu. berbuat jahil adalah bentuk rasa sayangku padamu.)" gumamku kemudian.
Dia masih terdiam, sementara aku melepaskan genggamanku atas kelingkingnya.
"Bagaimana kalau kita berkenalan dulu? Aku Ray, senang bisa berkenalan denganmu, madamoiselle...." aku menyodorkan tangan kananku, menanti sambutan tangannya.
Dia menyalamiku dalam diam.
Dan kami berkenalan lagi, dari awal, meskipun aku begitu mengenalnya. tapi menurutku, mungkin ini cara yang terbaik.
Kalau dia tidak bisa ingat, kenapa tidak sekalian saja membuat ingatan baru?
Aku berjanji akan membuatnya jatuh cinta untuk yang kedua kalinya kepadaku....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanakotoba
RomanceSetiap helai kelopak bunga menguntai cerita. Tentang kamu, aku, atau kita.. Bahkan mereka. Setiap warna membawa makna. Tentang angan, cinta, cita, tawa dan air mata. Karena dibalik setiap indahnya, selalu tersimpan bahasa yang tak mampu terucap. [Ku...