PROLOG

2K 99 18
                                    

Katanya, sih, masa SMA itu masa paling indah sepanjang sejarah manusia. Masa santai, menuju dewasa, hang out bersama teman-teman.

Tapi bagaimana jika masa-masa indah itu berbanding terbalik dengan masa-masa 'indah' yang dirasakan seorang gadis cantik bertubuh mungil bernama Chika Tilotami ini?

"Dasar tukang PHP!!!!"

Ini sudah teriakan kesekian kalinya yang Chika keluarkan dari bibir seksinya. Matanya hampir saja copot keluar kalau kedua temannya tidak menenangkan dirinya yang kini tengah diambang kemarahan.

"Gak bakal mau lagi, deh, gue sama cowok biadab kayak gitu! Mau-mau aja, ya, gue kejebak perangkap receh si idiot itu. Ih, sumpah, jijik!" Chika ngedumel tanpa ampun, gerakan tubuhnya sudah benar-benar persis cacing kepanasan. Di dalam mall yang luas dan banyak lalu lalang orang-orang lewat, ia masih saja bisa meluapkan amarahnya.

"Chik, malu diliat orang, ish." Salah satu temannya, blasteran Jerman, Saqhira Howard--kerap dipanggil Ira , langsung mencubit gemas lengan Chika yang putih bersih itu. "Sumpah, ya, kalo aja ini di Sungai Amazon. Gue udah nyeburin lo biar sekalian berenang, noh, sama katak amazon!"

Chika menarik napas, matanya belum bisa lepas dari ponsel, walaupun kakinya masih melangkah. "Plis, deh, upil lele! Lo bisa rasain gak, sih, gimana sakitnya disaat lo ngespam 'dia' dan ternyata 'dia' gak respon sama sekali, tapi malah bisa nge-posting foto ke Instagram? Rasanya lebih sakit dari nahan boker empat jam di dalem kelas tau!"
Ira yang mendapat semburan itu dari Chika langsung memanyunkan bibir tipis nan merah mudanya, tak bisa melawan lagi walaupun masih banyak kata-kata yang ingin ia keluarkan untuk menyerang Chika.

"Chik, kalo emang lo kesel, yaudah kali. Diemin dulu, sekarang, kan, kita lagi jalan bareng. Lo lupain dulu masalah itu. Udahlah, lo gak bosen setiap hari jadi korban PHP mulu?" Kini, Felda Anastasya, gadis paling normal diantara Chika dan Ira akhirnya bersuara. Selalu menjadi penengah dan seolah Ibu yang siap menasehati anak-anaknya.

Chika terdiam. Ia tidak menanggapi ucapan Felda barusan, ia hanya mematikan ponselnya dan melempar benda pipih itu ke dalam tas.

Gadis yang diambang kegalauan itu diapit oleh kedua temannya dan dituntun menuju cafe yang terletak di dalam mall. Seolah mengerti kalau kegalauan Chika hanya bisa terobati oleh hal berbau makanan.

Beberapa menit mereka berjalan dengan lancar, tanpa halangan. Sampai akhirnya sesuatu yang basah dan lengket terasa melekat di baju bagian dada milik Chika. Membuat ketiga gadis itu speechless.

Terutama Chika.

"WHAT THE...?" Chika meratapi baju abu berlengan panjang yang baru ia beli kemarin bersama mamanya di butik mahal. Kemudian matanya memandang seseorang berperawakan kekar dan berparas, umm, lumayan tampan, sedang berdiri dengan tampang muka tak bersalah dengan tangan kanannya menggenggam segelas kopi dari cafe ini.

"Sumpah, ya, lo gak tau kalo ini semua salah lo?" Chika berusaha keras mengontrol emosinya. "Gimana gue harus bersihin noda ini...?"

Laki-laki itu masih terdiam. Menatap Chika dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Chik, mending lo gak usah cari masalah, plis." Felda yang tahu suasana makin tidak tenang, langsung menarik lengan Chika agar menjauh dari laki-laki tersebut. Tapi Chika tetaplah Chika dengan kepala batunya. Ia berontak dan tetap diam diposisi.

Mata Chika kembali menatap laki-laki laknat itu, bersidekap dengan wajah garang. "Apa lo tuli? Oh, atau lo gak bisa ngomong? Bisu?"

"Sori," cukup lama hening sampai akhirnya laki-laki ini mengeluarkan suara. Menatap tepat ke manik mata Chika yang indah itu.

"Noh, dia udah minta maaf. Sekarang ayok kita makan," Ira mengulangi aksi Felda yang sempat gagal tadi. Namun tetap saja Chika bersikukuh.

"Sori? Emang sori aja cukup gitu?"

Laki-laki itu hanya bisa menaikan sebelah alisnya. Tak berniat menanggapi pertanyaan Chika.

"Lo harus ganti rugi."

"Kenapa harus?"

"Eh, lo sadar gak kalo lo itu udah ngotorin baju gue?"

"Lalu?"

"Ganti pake uang dua kali lipat dari harga baju gue."

Ucapan Chika kali ini membuat Ira dan Felda cengo seketika. Sepanjang sejarah pertemanan mereka, Chika tidak pernah sematre ini. Apa efek galaunya dapat merubah pribadi Chika sendiri?

"Sori, gue harus pergi. Gue gak ada urusan lagi sama lo," laki-laki itu langsung mengambil langkah. Meninggalkan Chika yang wajahnya kini tak beda jauh dengan kera beranak.

"Woe! Lo ngacangin gue!!"

"Chik! Plis, deh. Lo gak malu apa teriak-teriak disini?" Ira langsung menyumpal mulut Chika dengan kertas yang ia temukan di kantong celana jeansnya. Sudah tidak bisa mengontrol kejengkelan yang disebabkan oleh sahabatnya.

"Sumpah, lo bakal dapet masalah besar, Chik." Felda langsung menarik Chika dengan paksa dan mengajaknya duduk di sudut cafe.

"Kenapa? Masalah besar apanya?"

Felda dan Ira saling tatap. Lalu menarik napas panjang. Dan dengan lucunya mereka kompak bersuara,

"Dia kakak kelas dan jadi ketua osis killer di sekolah kita!"

=================

Hope u like it guys:)

UselessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang