Prolog

122 57 61
                                    


Dinding dengan wallpaper bercorak bunga teratai menghiasi mataku, mata yang merasakan kekosongan, kesepian, dan kesedihan. Aku bersumpah tak akan ada lagi tawa setelah ini.

Aku berasa hanya sampah, tak berguna, tak akan dipandang siapapun lagi kecuali dengan rasa iba. Aku benci diriku sendiri, bahkan kurasa Tuhan juga membenci diriku.

"Chess.." Panggil seseorang membuyarkan lamunanku dari luar pintu, suaranya terdengar terisak.

Aku tidak merespon panggilannya.

Terlalu kejam untuk menerima bahwa sekarang kau adalah gadis cacat.

Kecelakaan itu merenggut semuanya, semua sumber kebahagiaanku.

"Chessa.. Dad mohon, maafkan Dad." dengan isak yang mengikuti setiap kata.

"Berhentilah, kami menyayangimu." ucapnya lagi.

Seperti ada yang menusuk menembus tulang rusukku, sangat sakit, mulutku tak dapat mewakilkan semua ini, aku berharap telingaku tuli akan semua kebisingan dan mataku buta akan semua penglihatan.

"Hentikan!" Teriakku dengan amarah yang membara.

Aku hancur saat ini, jiwaku seperti tidak sempurna, seakan menolak untuk tetap singgah.

Mengapa kau memberiku kesempatan? Mengapa tak kau biarkan aku untuk mati? Mengapa kau biarkan aku untuk merasakan kehancuran ini? Apa yang ingin kau lihat dari seorang yang cacat?

Aku membuat gerakan perlahan dan menjatuhkan diriku dari kursi roda.

"Aaarghhhh...." aku berteriak, tak peduli seberapa kencang, aku berteriak hingga telingaku pun mati rasa, aku memukuli tangan kanan dan kakiku yang sangat tidak berguna dengan seluruh tenagaku yang tersisa.

Tidak ada gunanya hidup, untuk apa? hanya untuk menderita?

Tangisku pecah, seketika itu juga entah Dad atau mungkin entah siapa mendobrak pintu untuk memaksa masuk ke kamarku lalu Dad berlari ke arahku dengan diikuti kerumunan orang yang ada dibelakangnya.

Yang ku ingat terakhir dari hari itu, Dad memeluk dengan erat dan ia tak berhenti berkata maaf dan terus berkata jika ini salahnya.

One ReasonHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin