The Coolest Girl

338 22 0
                                    

April menguap lebar. Menggosok matanya dan mulai mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Gilang masih tertidur nyenyak di bawah karpet dengan tangan yang masih menggengam stick PSP nya.

"Dasar kebo" dengus April. Namun bibirnya berkedut. Ia tersenyum geli melihat Gilang.

Ia berjalan ke luar dari kamar menuju dapur rumah Gilang. Seorang wanita paruh baya tampak sibuk bertempur dengan peralatan dapurnya.

"Pagi Bunda" sapa April sambil memeluk wanita itu.

Wanita itu berbalik dan mengacak rambut April. "Udah bangun rupanya? Mau bunda buatin teh?" Tawar Tante Dinda, Bunda Gilang.

April mengangguk dan duduk manis di pantry. Memandang pundak Bunda Gilang. Wanita itu selalu terlihat cantik terlebih dengan aura keibuannya. Bahkan karena itulah terkadang ia merasa iri dengan Gilang.

"Gimana kabar Mama kamu? Udah balik dari New York?"

"Iya Bunda" jawab April sambil memainkan sendok di tangannya.

"Ah lama yah gak ketemu Mama kamu lagi. Salam yah buat Mama kamu, April" April hanya mengangguk dan mulai menyedu teh di tangannya.

"Ih Bunda kok Gilang gak dibuatin juga? Masa si biang kerok ini sih? Udah disogok berapa sih bunda?" Gilang datang dan langsung saja merampas teh milik April.

April yang kesal memukulkan sendoknya ke kepala Gilang. "Aw" keluh Gilang.

"Balikin!"

Gilang menggelengkan kepala dan meminum habis teh itu. Hingga lidahnya menjulur karena kepanasan.

"Rasain lo!" Sungut April.

Bunda Gilang hanya tertawa melihat pemandangan hari ini. Bukan pemandangan yang spesial karena nyatanya mereka memang terbiasa seperti itu. Tapi pemandangan di depannya ini memang selalu mengundang gelak tawa baginya.

"Bun, Ayah sama Tio mana?" Tanya Gilang saat tak menemukan keduanya. Biasanya Ayahnya dan Kakaknya itu akan duduk manis sambil menikmati sarapan.

"Pergi mancing. Ayah yang minta. Kamu kan gak suka mancing jadi mereka dulu aja. Gak tahu tuh kenapa pagi-pagi banget perginya" balas Bunda Gilang sambil menata makanan di meja.

Gilang hanya menganggukan kepalanya. Ia merogoh kantongnya saat ponselnya itu bergetar.

Senyumnya terbit. Hingga jari tangannya bergerak lincah di ponselnya.

April hanya memperhatikan dari jauh. Ia tahu dan sangat mengerti. Itu pastilah pesan dari gadis itu.

Tanpa ia sadari ia termenung. Bagaimana jika suatu hari mereka akan berpisah? Tentu hari itu akan datang. Mereka tentu tidak akan terus bersama seperti saat ini. Mereka akan bertumbuh. Mereka akan memiliki masa depan yang berbeda. Dan tentu saja perpisahan itu akan terjadi. Cepat atau lambat.

Lang, Gue takut.

***

Aprik berjalan cepat melewati koridor kampus itu. Tatapan tajam para mahasiswa seakan mengulitinya. Entah mengapa ia tetap merasa tak biasa walaupun ia sudah berusaha tak peduli.

Ia mengambil duduk di depan. Dan segera menelungkupkan wajahnya di antara kedua tangannya. Ia bosan.

Jika ada Gilang mungkin dia tidak akan sesepi ini. Tapi dia dan Gilang berbeda fakultas. Jika dulu saat sekolah ia akan menangis kejar pada kepala sekolah agar berada sekelas dengan Gilang. Tapi itu dulu. Sekarang ia telah kuliah.

Seorang pria berjalan ke arahnya. Pria dengan kaca mata bulat dan tebal dengan tubuh kurus berjalan ke arahnya. Meletakkan sebuah coklat batang dengan pita merah jambu yang lucu di atas meja April.

Ia tersenyum malu dan segera berjalan pergi. Beberapa orang yang melihatnya terlihat menggelengkan kepala.

Brukk

Kaki pria itu tersandung. Daren. Cowok rese di kelas bahasa Inggrisnya, mahasiswa fakultas hukum.

Gelak tawa mahasiswa lain pun terdengar. Terlebih saat cowok cupu itu berusaha mencari kaca matanya yang terlempar saat ia terjatuh.

April berusaha keras mengabaikan semua itu. Namun ia jadi kehilangan selera untuk tidur.

Ia berdiri dari duduknya. Dan mendekati pria itu. Membungkukkan badan dan mengambil kaca mata pria itu.

Pria itu mengerjapkan matanya termasuk mahasiswa lain yang menyaksikan. Bagaimana tidak, gadis paling jutek se kampus, Aprilia Puteri Agatha, kini sedang mengulurkan tangannya pada pria itu.

"Ambil kaca mata lo" ucapnya datar.

"Dan jangan muncul lagi di depan gue!" Tambahnya. Kata-kata yang selalu ia ucapkan pada setiap pria yang mencoba mendekatinya.

"Shut up your mounth, guys" ucapnya tegas pada orang-orang di sekitarnya. Ia berjalan ke kursinya dan kembali menelungkupkan kepalanya. Menutup matanya tampak peduli suara bisik-bisik di sekitarnya.

Karena sikap dinginnya tidak seorangpun kuat berada dekat dengannya bahkan untuk semenitpun kecuali satu orang yaitu Gilang. Sahabat satu-satunya yang ia miliki.

April For AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang