This is [Not] Home

359 19 0
                                    

April duduk menatap langit malam. Ia berbohong jika ia akan segera pulang. Ia lebih senang berada ditempat itu dibandingkan pulang ke tempat yang disebut orang sebagai rumah.

Hembusan angin menerpa kulitnya. Dingin. Tapi setidaknya lebih baik di banding di rumah.

Disini ia dapat melihat pemandangan kota Jakarta dan tentu saja pemandangan langit malam kota Jakarta dengan hamparan ribuan bintang disana.

Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan line dari sahabatnya tentunya.

GilangWardhana: Lo dimana? Makan yuk lapar gue. Gue traktir deh

April tersenyum. Setidaknya ada satu orang di dunia ini yang masih menanyakan keberadaannya saat orang lain akan berbalik badan menghindarinya.

ApriliaPuteri: Gue di rumah. Sebutin lokasinya aja entar gue nyusul

Beberapa menit kemudian. Sebuah pesan lokasi pun masuk. April segera meraih tas punggungnya. Ia menarik napas panjang, mengisi seluruh paru-parunya dengan oksigen sebanyak-banyaknya.

Mungkin gue gak akan pulang hari ini.

***

Gilang memicingkan matanya menatap penampilan sahabatnya yang masih memakai pakaian yang sama dengan yang pagi tadi  ia gunakan saat di kampus.

"Apa? Lo mau gue colok mata lo?" Tanya April dengan sangar.

"Itu bukannya pakaian yang lo pake tadi pagi. Kok lo pake lagi?"

"Serah gue dong. Udah makan aja katanya lo lapar"

Gilang hanya mengangguk. Memaksa April untuk bercerita tentu sangat sulit kecuali gadis itu sendiri yang bersedia. Dan Gilang hanya tidak ingin merusak suasana hati sahabatnya itu.

"Pril, bonyok lu dah balik?" Tanta Gilang berusaha mencairkan suasana.

Tubuh April bergetar namun ia segera bersikap biasa saja. Ia hanya belum siap menceritakan semuanya.

"Iya mereka udah balik kok" ucap April dan kemudian menyedot cappucchino latte miliknya.

Gilang menanggukkan kepala. Setidaknya April baik-baik saja jika seperti itu. "Hm Pril..." panggilnya lagi.

April mendongakkan wajah. Alisnya tertarik satu. Ia seakan berkata 'apa' pada Gilang.

"Gue chat sama Raisa. Anaknya asyik banget ternyata" Gilang merogok kantong celana jeansnya dan mengambil Iphone miliknya.

Ia memperlihatkan bukti chatting-nya pada April. April malah memutar bola matanya. Ia rasa pria dihadapannya ini sedang mabuk cinta.

"Alay lo. Kek belum pernah pacaran aja" April mendengus kesal. Hancur sudah selera makannya.

Ia tahu Raisa itu cantik. Lebih cantik dari April tentu saja. Gadis itu ramah dan manis berbeda dengan April yang lebih mirip seperti anjing penjaga seakan dijidatnya tertulis 'sekali senggol, gue bacot lo".

"Kayak lo udah pernah pacaran aja" tembak Gilang tepat sasaran.

"Tapi gue gak norak kayak lo kampret" balas April.

"Sorry aja yah Pril gue gak norak. Kalau gue norak mana mungkin gue punya banyak banget fans diluar sana"

April memperagakan gaya ingin muntahnya. Apa yang dikatakan Gilang memang benar tapi mendengar dari bibir pria itu langsung ia seakan merasa geli melihat sikap percaya diri milik Gilang.

"Alay lo, Cong" April memukul bahu Gilang.

"Cong, emang gue bencong apa? Lo butuh gue buktiin kalau gue bukan bencong, Nek?" Gilang menggerutu sebal. Bagaimana bisa ia disamakan dengan banci kaleng itu.

"Mesum lo, njir"

Dan malam itu mereka habiskan dengan saling menghina satu sama lain.

Bagi April, Gilang ada rumahnya. Tempat dia akan kembali saat ia tak lagi kuat menghadapi dua. Gilang adalah rumah yang akan memberinya kehangatan yang tak akan bisa ia dapatkan dalam gedung besar bernama 'rumah'.

April For AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang