éna - 1

7.2K 396 57
                                    

Bintang.

Siapa yang tidak menyukai bintang? Semua orang sudah pasti menyukainya, bahkan gadis itu. Baginya, bintang adalah suatu titik kecil di atas langit yang memancarkan cahaya di tengah gelapnya malam. Mengirimkan sejuta keindahan gemerlapnya yang selalu sejukan jiwa dan menaburkan benih-benih kedamaian.

Tiada malam baginya tanpa menatap langit yang bertaburan bintang-bintang biru dan kilatan sinarnya yang silau. Kelap-kelipnya nan jauh di sana mampu menghangatkan hatinya yang telah lama dingin diterpa bebatuan es.

Indah.

Bahkan, suku kata itu saja tidak cukup menggambarkan bagaimana indahnya bintang di atas sana. Gadis itu rela, sangat rela jika ia menghabiskan seluruh malamnya hanya untuk memandang berlian malam hari yang terlalu berharga jika dilewatkan barang hanya satu detik saja.

Bintang selalu setia menemani bahkan menghiasi seluruh malamnya dengan senyumannya yang mampu membakar habis raganya yang hilang di antara antah berantah. Gadis itu ingin sekali merangkulnya dan menjadikan bintang tersebut satu-satunya penerang dalam hidupnya, walau ia tahu itu tidak akan mungkin terjadi.

Andaikan gadis itu mempunyai sayap yang mampu membawanya terbang kemanapun ia mau, maka ia akan dengan senang hati menghampiri salah satu bintang di langit dan memeluknya dengan erat. Tak akan ia lepas sekalipun walau Tuhan mengutuknya.

Ah, gadis itu lupa dengan khayalan semu yang selalu menemani hari-harinya selain bintang. Khayalan semu merupakan sahabat terkasihnya yang selalu membawanya terjun ke dalam awan hitam penuh kebahagiaan. Aneh? Memang. Tetapi, keanehan itulah yang membawanya keluar dari awan hitam yang penuh dengan kegelapan dan kehancuran.

Tertegun dan termangu dirinya di atas penyanggah jendela besarnya yang kokoh. Jiwanya terngguncang bersamaan dengan datangnya kabut hitam yang merampas paksa harapannya. Saat itu juga, dirinya kembali mengingat sebongkah kenangan terburuknya yang pilu beberapa tahun silam.

"Ter, maafkan aku. Aku tahu aku sangat mengecewakanmu, tetapi percayalah bahwa aku akan kembali tak lama lagi," ujar pria yang berada tepat di hadapan gadis bernama Asterina itu. Matanya memancarkan kesedihan dan rasa bersalah yang teramat sangat besar.

"Darimana kamu tahu kalau kamu akan kembali?" Tanya Asterina seraya menatap pria itu lekat-lekat. Suaranya parau karena menahan tangisnya yang sudah berada di pelupuk mata. Oh, jangan tanyakan bagaimana sulitnya gadis itu menahannya karena ia sendiri masih tidak percaya dengan kemampuannya itu.

Pria itu mendekat. Menghapus jarak antara dirinya dengan gadis yang telah mencuri hatinya selama tiga tahun terakhir. "Aku percaya akan takdir dan aku percaya kalau takdirku adalah bersamamu."

Mata Asterina berkedut dan memandang pria itu dengan tatapan yang entah apa artinya. Tak kuasa lagi ia menahan air mata yang entah kenapa menunjukkan arah duka di bawah naungan mimpi buruk. Perasaannya benar-benar tidak enak, seperti ada sesuatu yang mengganjal tepat di ulu hati.

"Hanya sebentar, Ter. Hanya sebentar sampai gelar sarjana berada di genggamanku." Pria itu menatap Asterina tepat di manik matanya, meyakinkan gadis itu agar percaya dengan kata-katanya.

"Sebentar saja seperti apa yang kamu maksud? Empat tahun? Begitu maksudmu?" Tanya Asterina dengan suara yang agak keras. Tak bisakah kekasihnya ini menuntut ilmu di negeri mereka saja? Demi Tuhan, perasaannya benar-benar tidak enak. Seseorang dalam dirinya mengatakan bahwa sesuatu akan terjadi menimpa kekasihnya. Entahlah, ia memang bukan cenayang atau peramal, apalagi orang yang bisa membaca masa depan. Tetapi, firasatnya tidak pernah salah.

"Ter, kumohon percayalah denganku." Pria itu berkata dengan suaranya yang terdengar sangat putus asa.

Asterina diam dan lebih memilih melirik ke arah lain. Ia tak sanggup lagi.

******

Sept 12, 2017.

AstériTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang