téssera - 4

1.4K 176 34
                                    

            Rindu.

Satu kata dan lima huruf yang mampu menggetarkan hati seseorang. Mampu membuat siapa saja yang merasakannya terjerat dalam lingkaran hitam nan pekatnya yang mengerikan. Bayang-bayang sejuta kenangan merebut tiap helaan napas yang tertarik. Mengilu tiap-tiap sendi tulang dan mencabiknya hingga luka.

Senyumnya yang terbesit dalam ilusi di antara tangisan kalbu. Menginjak-injak diri dan mengikat nadi hingga sulit untuk bertahan. Ingin dirinya membuang rasa rindu itu, namun begitu sulit untuknya melakukan hal tersebut. Segala rasa gundah, resah, dan gelisah yang tercampur menjadi satu, terasa memporak-porandakan dirinya. Menumpuk dan membentuk gumpalan rindu yang membelenggu.

Kapankah dirinya akan kembali? Kapankah dirinya akan kembali dan mengisi kekosongan hati? Menghapus segala rasa sakit nan menyayat hati bagaikan rintihan dalam pedihnya kubangan kalbu alunan rindu.

Meretakkan kepercayaan dan meremukkan hati. Terasa pilu hari-hari yang ia lalui. Yang ia lalui bersama tingginya ombak nan menenggelamkan jiwa. Memandang langit yang begitu hitam tanpa cahaya bintang. Menghapus sedikit demi sedikit kerinduan dalam dimensi relung yang begitu sulit.

Dikala kerinduan tak mampu lagi tertolong, dunia ini seakan tak mampu lagi untuk bercahaya. Gelap-gelap malam di tengah badai hitam, akan selalu mendominasi layaknya penjara bawah tanah yang mengurung diri.

Kalau sampai saat itu tiba, sudah waktunya bagi gadis itu untuk menyerah. Menyerahkan segala rasa kasih dan sayang, serta rindu yang terpaksa ia kubur dalam-dalam. Takkan pernah ia gali kembali. Ia tumpahkan segala gundah dan gelisahnya di dalam sana. Selamanya. Selamanya yang akan terasa begitu lama.

Dan ... dengan begitu, rasa rindu melebihi kata dan gambaran yang dapat terucap dan terlihat, akan mati terkubur tanah.

"Hari ini aku gak bisa nganter kamu kuliah," kata Teofano seraya menyantap sarapannya, menatap wajah Asterina yang begitu suram dengan kantung mata hitamnya yang membengkak. Bekas tangisan semalam.

"Kenapa?" Asterina bertanya dengan pelan, yang juga sedang melakukan hal yang sama dengan Teofano. Namun, satu yang membedakan, ia menyantap sarapannya dengan jiwa yang pergi terbawa naungan gelamnya badai. Seolah-olah, hanya raganya sajalah yang tertinggal di ruang makan saat ini.

"Aku ada kepentingan mendadak di kantor." Teofano lagi-lagi harus menahan amarahnya di saat kembali menatap wajah adik terkasih dan tersayangnya itu. Hatinya benar-benar ikut menangis. Namun sekuat tenaga ia tidak menampakkannya, karena kalau itu terjadi, siapa lagi yang akan menghibur Asterina selain dirinya?

Asterina mengangguk pelan, tidak ingin merepotkan Teofano dengan memaksanya untuk tetap mengantarkannya kuliah seperti biasa. Sebenarnya bisa saja sih ia membawa mobil sendiri, tapi rasanya malas sekali. Ia tidak begitu suka membawa mobil tanpa ada seseorang yang ikut bersamanya. Maka dari itu, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia mengendarai mobilnya sendiri.

"Kalau gitu, aku naik bus aja."

Kata-kata yang keluar dari bibir Asterina, tentu saja Teofano terperangah. Saat itu juga, ia menghentikan acara menyantap sarapannya dan menatap Asterina lekat-lekat. "Gak ada yang namanya naik bus, Aster. Kamu tahu gak, kejahatan sering banget terjadi di sana. Aku, gak akan biarin kamu jadi salah satu korban lainnya."

Asterina hanya diam saja. Bahkan, sebelum ia mengatakan kalau ia akan naik bus untuk berangkat kuliah, ia sudah tahu kalau Teofano akan melarangnya seperti itu. Dari dulu kakaknya memang tidak pernah berubah, terlalu perhatian berlebihan padanya yang saat ini bahkan sudah berusia dua puluh tahun. Asterina tahu maksudnya adalah untuk melindungi dirinya sendiri. Namun, harus begitu memangnya?

"Aku bukan anak kecil lagi."

"Ya, kamu emang bukan anak kecil karena umur kamu udah menggambarkannya. Tapi, gimana aku gak nganggep kamu anak kecil kalau melupakan seseorang yang gak pernah ada buat kamu aja gak bisa. Aku ini sayang sama kamu, Asterina. Aku peduli sama kamu. Aku selalu melakukan berbagai macam cara supaya bisa melihat kamu kaya dulu lagi. Apa kamu gak tau gimana perasaan aku? Perasaan Mama yang setiap hari melihat kamu nangis karena pria brengsek itu?"

Asterina pun lagi-lagi hanya bisa terdiam disaat Teofano selesai berbicara. Oh tidak-tidak, mengomeli lebih tepatnya. Sungguh bodoh, mementingkan perasaan dan dirinya sendiri, tanpa memikirkan orang-orang yang ikut terluka melihat dirinya seperti ini. Dan bersamaan dengan itu, air mata Asterina meluruh. Membentuk sebuah cairan bening yang membasahi wajah, sembari menatap wajah ibu dan kakaknya bergantian dengan perasaan bersalah.

"Ma-maafkan aku. Maafkan aku yang terlalu bodoh sampai membuat kalian ikut sedih kaya gini. Aku emang gak berguna, benar-benar gak berguna. Aku tau aku sering  menyusahkan kalian, aku minta maaf," kata Asterina sambil sesenggukan. Air matanya jatuh lagi dan lagi  membasahi bajunya membentuk sebuah danau.

"Kamu gak pernah menyusahkan kami, Nak. Berhentilah meminta maaf seakan-akan kamu punya salah dengan kami. Aku Ibumu dan aku tau betul apa yang sedang kamu rasakan." Mama Asterina segera bangkit dari duduknya dan dengan cepat menghampiri Asterina dengan rengkuhan hangatnya, serta-merta dengan air mata yang ikut jatuh membasahi wajah.

"Aku harus tetap minta maaf, aku salah." Asterina mengeratkan rengkuhan Mamanya. Erat dan semakin erat seolah-olah ingin menyalurkan segala sesuatu yang membuat hidupnya seakan mimpi buruk tiada akhir.

Melihat kedua orang yang ia cintai tengah menghangatkan diri satu sama lain, Teofano tersenyum. Tersenyum penuh bahagia walau ada sesuatu yang masih meresahkan dan mengganggunya. Antares. Lelaki yang sampai detik ini masih belum muncul dari ceritanya.

"Aku juga ingin minta maaf. Perkataanku tadi emang kasar, tapi kamu tau betul apa maksud dari kata-kataku tadi, bukan?" Teofano pun ikut tergerak untuk mendekatkan dirinya pada Asterina. "Walau begitu, aku tetap gak akan biarin kamu pergi sendiri. Aku udah minta tolong temanku untuk nganter kamu dan dia gak keberatan sama sekali."

Asterina mengernyit bingung sambil dilepaskannya rengkuhan sang mama. "Maksud kamu?"

Teofano tersenyum dengan penuh arti. Ada maksud terselubung dalam ucapannya barusan. "Kamu bakal tahu orangnya sebentar lagi kok, makanya cepet buka pintu dan persilahkan dia masuk ke dalam."

Walau penasaran setengah mati, Asterina langsung menjalankan perintah Teofano dengan segera. Dan bersamaan dengan dibukanya pintu rumah, nampaklah seorang pria berperawakan tinggi dengan tubuh gagah nan kokohnya. Tersenyum begitu manis dengan kedua lesung pipinya sambil berkata:

"Hai, aku Aristarco. Apa kamu Asterina? Si bintang dengan cahaya terangnya?"

Saat itu juga, tubuh Asterina bagaikan meleleh di atas panasnya api yang membakar dirinya.

••••••

Nah, disini udah mulai keliatan kan siapa yang bakal jadi karakter baru di cerita ini? Jangan lupa beri komentar dan vote kalian ya:)

Sept 16, 2017.

AstériTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang