1. Dia, Gaby

4.3K 158 17
                                    

D'Flo Café

Begitulah tulisan berukuran jumbo yang terpampang di dekat pintu masuk. Bangunan satu lantai yang didominasi warna coklat kayu itu sudah beroperasi sejak pukul sembilan pagi. Pengunjung kafe yang datang silih berganti tanpa henti, tak jarang membuat para pekerja kewalahan.

Salah satunya adalah Galencia Gaby Dionzha. Panggil saja Gaby. Gadis bertubuh mungil dalam balutan kemeja putih lengan pendek dengan bawahan rok biru laut selutut itu, bergerak lincah ke penjuru kafe. Rambut lurus sepunggung yang dikucir tinggi, meliuk-liuk mengikuti pergerakan kakinya yang dibungkus sneakers lusuh berwarna biru tua.

"Latte dan cheesecake untuk menemani siang ini. Selamat menikmati, Kak." Gaby tersenyum ramah pada dua gadis yang duduk di pojok dekat jendela. Tidak ada yang dibutuhkan lagi, Gaby segera kembali ke dapur untuk mengantar pesanan lainnya.

"Semangat banget, Kak." Sea mengintrupsi ketika Gaby melewati kasir, di mana saat ini, ia yang tengah berjaga.

Gaby tertawa kecil. Sea adalah teman pertamanya ketika Gaby bekerja di kafe ini dua tahun lalu. Perbedaan usia yang hanya terpaut satu tahun membuat mereka cepat akrab tanpa rasa canggung. Gaby juga lebih dekat dengan Sea daripada rekannya yang lain.

"Harus semangat, dong, biar rezekinya nggak dipatok ayam." Gaby tersenyum lebar, menunjukkan nampan yang ia bawa. "Antar ini dulu, Se."

Setelah hari yang sibuk, akhirnya pekerjaan Gaby selesai. Kafe sudah tutup sejak setengah jam lalu. Ia juga telah selesai merapikan kafe sebelum pulang.

"Gue duluan, Kak." Sea melambaikan tangan sebelum naik ke motor yang menjemputnya.

"Hati-hati." Gaby tersenyum kecil, menatap kepergian Sea sampai hilang di belokan. "Huft, perasaan gue aja atau emang hari ini capek banget, ya?"

Tersisa Gaby yang masih berdiri di depan kafe. Jam menunjuk pukul sembilan malam, tetapi ia belum ada niatan kembali ke kontrakan. "Males jalan, bisa terbang aja nggak, sih?"

Mengambil napas panjang, seolah hendak bertandang ke medan perang, Gaby beranjak dari tempatnya dengan langkah lesu. Bisa saja ia memesan ojol, tetapi kontrakannya yang tidak terlalu jauh dari kafe, membuatnya berpikir ulang. Lebih baik ongkosnya digunakan untuk kebutuhan yang lebih penting.

Berjalan hampir sepuluh menit, Gaby sampai di depan bangunan berlantai tiga yang tampak sepi dengan pencahayaan tidak terlalu terang. Ia masih harus naik tangga untuk sampai di rumah kontrakannya. Langkah pelannya terdengar nyaring, memecah kesunyian.

Sampai di dalam, Gaby melempar tasnya asal. Lalu, merebahkan dirinya di kasur kecil. "Hah, punggung gue. Lega banget rasanya."

Gaby menggerakkan kedua tangannya di sisi kasur seraya menatap langit-langit kamar. Untuk beberapa saat, ia hanya diam. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh otak kecilnya.

"Laper."

Gaby segera bangkit, mengelus perut ratanya yang meronta meminta asupan. Ia berjalan gontai menuju kulkas kecilnya. Berharap ada bahan yang bisa dimasak.

"Ya ampun, miskin banget gue!"

Gaby tersenyum miris kala melihat isi kulkasnya. Tersisa sebutir telur dan berbotol-botol air. Bisa dipastikan, besok, Gaby hanya makan dengan taburan garam.

Menghela napas pelan, Gaby tersenyum lebar. Mengambil telur itu dan membawanya ke dapur mini. "Meskipun cuma telur, nggak boleh sombong, Gab. Harus tetap bersyukur."

[+]

Gaby menggeliat pelan. Mulai terusik dengan cahaya yang masuk melalui celah gorden. Bulu mata lentik itu bergerak sebelum kelopaknya terbuka sempurna. Tatapan sayunya menyorot jam beker di nakas. Pukul 6:17.

The ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang