2. Hari yang Buruk

3.4K 160 6
                                    

Gaby menormalkan ekspresinya ketika sampai di dapur. Ia tersenyum saat Reyhan menanyakan keadaannya karena pergi terlalu lama. Tidak ingin membuang waktu lagi, ia segera melanjutkan pekerjaan. Memasuki jam makan siang, kafe semakin ramai.

"Meja nomor lima belas, ya."

Gaby mengangguk, mengambil alih nampan. Lalu, membawanya menuju meja yang berada di dekat pintu masuk, di mana terdapat dua orang pria tengah bercengkerama. "Maaf mengganggu. Pesanannya, Kak."

"Terima kasih."

Pria itu tersenyum, memperlihatkan dua lesung pipit yang membuatnya tampak manis, sedangkan pria yang satunya hanya diam dengan tatapan mengintimidasi.

"Kalau begitu ... saya permisi. Selamat menikmati." Secepat kilat, Gaby pergi dari sana. Memutus tatapan pria itu yang membuatnya tidak nyaman.

"Biasa aja kali, lo buat dia takut."

"Kenapa, Kak?" tanya Sea, mengikuti arah pandang Gaby. "Lo kenal mereka?"

Gaby mengerjap. Ia sampai tidak sadar sudah memperhatikan pria itu dari balik kasir. "Hah? Eng-enggak."

Sea memicing, tidak percaya begitu saja.

"Beneran! Gue juga baru ketemu, kayaknya pelanggan baru." Gaby melihat seseorang mengangkat tangan, pertanda ingin memesan. "Gue ke sana dulu, ya."

Sea terkekeh pelan, merasa lucu melihat Gaby salah tingkah.

[+]

"Bisa saya catat pesanan –" suara Gaby kian memelan di akhir kalimat, "nya, Kak?"

Wanita itu tersenyum miring, tampak angkuh memegang sisi buku menu dengan kedua tangannya. Jangan lupakan tatapan penuh kemenangan itu, seolah mengejek posisi Gaby saat ini. Ya, khas seorang Rachella Vania.

Gaby berdeham pelan. Meskipun merasa jengkel, ia harus tetap profesional dalam bekerja. "Maaf, Kak, saya ulangi. Bisa saya catat pesanannya sekarang?"

Rachel menarik rambut bebasnya ke belakang telinga. Menatap Gaby sekilas sebelum menyebutkan menu makan siang yang ia inginkan.

Gaby mencatat pesanan dengan cepat. "Baik, Kak. Pesanan akan siap dalam lima belas menit."

"Eits, lo nggak mau ngobrol dulu sama gue?" Rachel menutup buku menu, bersandar pada kursi dengan tangan bersedekap.

"Maaf, Kak, saya masih harus bekerja." Gaby berusaha menahan diri. Wajah Rachel itu timpuk-able sekali. Ia yakin, kedatangan wanita itu hanya untuk mengganggunya.

"Sayang banget, padahal gue pengen ngobrol banyak hal sama lo, tentang ... masa high school mungkin. Kalau bisa mutar waktu, gue pengen balik ke masa itu."

Gaby semakin meremat kuat buku catatan kecil dan pulpen di tangannya, menyorot datar wajah sok polos yang dipenuhi make up itu. "Andai lo nggak muncul di depan mata gue, gue nggak bakal inget kalau dulu kita pernah ada di kelas yang sama. Itu berarti lo nggak ada kepentingan dalam hidup gue. Permisi."

Rachel tidak menahan lagi. Senyum sinis menyertai kepergian Gaby, sangat puas melihat amarah yang terpancar di balik wajah tenang gadis itu. "Well, gue akui, lo makin berani."

Sea segera menghampiri Gaby, merasa ada yang aneh saat ia memperhatikannya berdiri cukup lama di meja nomor sembilan. "Kak, lo enggak apa-apa?"

Dugaan Sea semakin kuat kala melihat wajah masam Gaby.

"Gue nggak papa" Gaby tersenyum menenangkan, tidak ingin membuat Sea khawatir. Ia menjepit sobekan kertas di gantungan. Lalu, menerima nampan berisi makanan untuk diantar ke meja pelanggan.

The ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang