2 - Teman

108 13 1
                                    


"Tunggu di sini, Arissa."

Aku cuma mengangguk saat Mas Wira menyuruhku tetap diam di dalam mobil, sementara dia keluar dan masuk ke dalam Apotek. Hujan sudah mulai reda, hanya menyisakan rintik-rintik yang turun ke bumi.

Sepanjang jalan tadi, kami sama-sama diam, mungkin karena canggung. Satu-satunya obrolan antara kami cuma saat Mas Wira menanyakan keningku, masih sakit atau nggak dan juga menanyakan alamatku. Terus, diam lagi, deh.Tahu-tahu dia malah berhenti di salah satu apotek biru-oranye.

Nggak lama kemudian, dia keluar dengan membawa plastik di tangannya. Aku mau diobatin, nih? Aduh, aku nggak yakin hati ini bakalan kuat kalau benar-benar mau diobatin sama Mas Wira.

Aku pikir dia bakalan masuk ke dalam mobil, tapi ternyata dia malah membuka pintu tempatku duduk.

"Arissa, coba buka seat belt-nya." Dia memerintahku lagi. Aku nurut saja, daripada kenapa-kenapa, 'kan?

"Putar coba, sini hadap saya."

Pak Dosen mengisyaratkan dengan gerakan tangannya juga. Ya aku nurut lagi, deh. Nggak tau deh maunya apa.

Saat badanku sudah menghadap Mas Wira, dia langsung mengambil kapas dalam plastik dan sebotol minyal tawon, kemudian menuangkannya sedikit-sedikit ke atas kapas. Lalu, ia menepuk-nepuk kapas itu dengan pelan ke keningku yang sakit.

Tuh, 'kan! Aku mana kuat yang kayak begini-begini. Bikin salah paham aja, deh.

"Duh, Mas. Saya bisa sendiri kok."

Aku mencoba menghentikannya, tapi dia menggeleng sambil melanjutkan kerjannya.

"Nggak papa, Arissa."

Aku mendengus. "Udah kayak teman aja, Mas."

"Loh, kita teman, 'kan?"

"Kata siapa?"

"Kata saya barusan."

Mas Wira menyunggingkan senyumnya. Pekerjaannya sebagai dokter dadakan sudah selesai. Ah, dokter apaan, adik aku yang baru berumur lima tahun juga bisa.

"Ini, simpan aja buatmu."

Mas Wira menyodorkan plastik itu kepadaku, yang langsung kuterima. Setelah itu dia kembali ke kursi pengemudinya.

"Sudah agak baikan, belum?" tanyanya setelah memberi uang receh kepada pak ogah yang menjaga parkir.

"Sedikit, Mas. Untungnya 'kan nggak benjol."

"Emang mau benjol?"

"Ya enggak, dong! Siapa yang bilang saya mau benjol, mas?!"

Sejurus kemudian, aku menutup mulutku. Karena aku rasa sudah tidak sopan.

"Ma-af...," cicitku.

Aku kira bakal kena semprot, tahunya dia malah ketawa.

"Kok malah ketawa, sih, mas?"

"Kamu tuh ekspresif banget, ya, Arissa?"

Bukannya jawab, dia malah bertanya lagi, tapi aku jadi malu sendiri dia bilang kayak begitu. Duh, baru juga sehari ketemu dan kenal, udah kayak begini aja.

"Nggak papa, santai aja sama saya, jangan terlalu tegang."

"Nggak tegang kok, Mas. Cuma kan banyak gossip tentang Mas, jadinya suka terbawa, deh."

Dia ketawa lagi, ternyata nggak jutek-jutek banget, ya, Pak Dosen ini. Tetapi kemudian selanjutnya kita malah nggak ngomong apa-apa lagi, kecuali saat aku menunjuk arah jalan.

Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang