3 - Getting Closer

93 6 2
                                    

Akhir minggu biasanya aku habiskan dengan berolahraga. Nggak mau dong aku, setelah hampir seminggu makan ini-itu, terus akhir minggu dilalui dengan malas-malasan. Nanti badan aku nggak menarik dipandang lagi.

Pagi-pagi aku bangun untuk lari pagi sekaligus latihan yoga di dekat komplek perumahan kostku. Isinya mayoritas ibu-ibu, sih. Kadang suka risih kalau beberapa diantara mereka menawarkan anak mereka padaku. Siapa tahu cocok, katanya. Nggak heran, sih. Mukaku yang ada campuran Amerika alias blasteran memang suka menarik perhatian orang-orang. Ditambah, Ibuku merupakan orang bandung asli, yang katanya geulis-geulis. Jadilah hasilnya seperti ini.

Satu hal yang kurang sampai saat ini, aku belum pernah sama sekali menjalani hubungan asmara dengan cowok. Aku bukan jomblo, tapi single. Inget, ya! Aku menjadi single itu pilihanku sendiri, kok. Mencoba fokus dengan studiku. Walaupun banyak cowok yang datang menawarkan sebuah hubungan.

"Pagi, Rissa! Duh semangat banget, ya." Salah satu ibu-ibu menyapaku. Aku tersenyum saat melihat Bu Nike didepanku. Sudah siap diatas matras yoganya.

"Pagi, Bu Nike! Wah keliatan tambah muda aja, Bu." Aku balik menyapanya, beliau memang masih kelihatan segar, kok. Bukannya mencoba perez. Aku taksir kira-kira umurnya baru 50-an awal.

"Bisa aja kamu, Ris." Bu Nike tersenyum malu-malu. "Gimana larinya, Ris? Dapet berapa putaran komplek?"

Kini kami sama-sama duduk di atas matras. Yoganya belum akan dimulai, baru jam enam dan masih banyak yang belum datang. Jadi, kami selalu habiskan dengan mengobrol-ngobrol dulu.

"Kayak biasa, Bu. Cuma 2 aja, kan nanti yoga, kalau banyak-banyak nanti aku modar, dong."

Kami sama-sama tertawa setelahnya. Bu Nike ini salah satu ibu-ibu yang enak diajak ngobrol. Nggak selalu ngangkat topik tentang anaknya yang masih bujang dan belum ada calon istri. Kalau ibu-ibu yang lain itu selalu deh, nawarin aku anak-anak bujang mereka.

"Eh, Ris. Kamu tau nggak? Itu... Bu Fatma, katanya dia udah dapet laki baru loh."

Yah... namanya ibu-ibu, kan, ya. Tetep deh kalau urusan gossip mah. Jalan terus!

"Masa sih, bu? Wah, perasaan baru cerai deh satu bulan yang lalu?" Aku turut menanggapi aja. Kadang, hal yang begini tuh bikin seru juga. Lihat deh, nanti juga bakalan ada ibu-ibu lain yang ikut nimbrung.

Bu Nike mengangguk antusias. "Iya, Ris. Ibu dapet kabar dari Bu Helda. Dia mah emang tukang gossip, sih. Gossip apa aja langsung tau."

Aku tertawa kembali menanggapinya. Ibu Helda, cerminan ibu-ibu hebring masa kini. Badannya montok dengan gincu merah setiap saat--bahkan pas olahraga juga--terus suka banget pakai pakaian yang ketat sampai-sampai pantatnya tercetak jelas.

"Udah, bu. Mungkin kan ada alasannya. Lagian baru gossip, kan?"

Bu Nike terlihat menimbang. "Iya sih, Ris. Tapi tetep aja, kan. Gossip nggak akan menyebar kalau nggak ada pemicunya."

Aku kembali teringat oleh pemikiranku kepada Pak Dosen beberapa hari lalu. Iya, gossip nggak akan menyebar kalau nggak ada pemicunya, kan.

"Ibu, ini minuman ibu tadi ketinggalan di mobil Wira."

Tiba-tiba punggungku merinding. Nama Wira nggak hanya ada satu, suaranya juga pasti ada lah satu-dua yang kayak begitu di muka bumi ini. Tapi kenapa kayaknya itu 'dia' banget, ya? Bu Nike memang bukan berasal dari kawasan komplek perumahan ini, jadi beliau selalu di antar–biasanya sih suaminya yang antar. Nah ini, aku baru tau kalau anak yang sering dibanggainnya itu si Pak Dosen.

"Aduh Ibu lupa, Mas. Makasih, ya." Bu Nike yang disebelahku sudah berdiri dan mengahadap ke belakang. Aku mau bernapas aja susah, apalagi berdiri terus melihat dia?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang