Jatuh dan Bangkit

43 8 0
                                    

Tak terasa kini ujian semakin dekat, Affan masih pada kebingungannya, sementara kini dia belum begitu siap dengan apa yang terjadi.

Awan mendung masih menyelimuti langit Muara Enim, membawa suasana kekhawatiran bagi Affan. Sementara di rumah begitu menambah kegelisahan Affan. Tekanan demi tekanan yang menghujam pikiran dan perasaan Affan. Antara ingin semangat namun angin hitam masih ada di hati Affan.

Jarum jam menunjukkan angka 9. Di kamar dia dengan setumpuk buku yang belum dibaca. Buku itu terlihat berdebu dan kusam. Tampak hari-hari Affan terlalu sibuk memikirkan masalah yang kurang penting. Terlalu banyak memikirkan masalah hati dan masalah pertemanan, sampai-sampai dia lupa kalau 3 bulan lagi Ujian Nasional. Affan terduduk dan termenung saja.

Affan berjalan menuju dapur, mengambil gelas, sendok, dan gula. Tak lupa ia mengambil teh untuk diseduh.

"Paling tidak, ini bisa menenangkan pikiranku", gumam Affan di dalam hati.

Baru saja dia hendak kembali ke kamarnya, tiba-tiba Ibu memanggil.

"Kamu kenapa, Fan? Kelihatan murung dari tadi. Ibu lihat setiap haru wajahmu semakin suram saja,", Tanya Ibu Affan dengan penuh heran.

"Eng... Enggak kok bu, aku hanya... A.. aku hanya kurang istirahat. Iyaa. Aku istirahat dulu ya bu.", Jawab Affan dengan terbata-bata.

Ibu Affan sebenarnya tahu, bahwa Affan sedang punya masalah. Affan memang biasanya terlihat bahagia. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini dia terlalu bermuram durja. Namun, tetap Ibu Affan mendoakan yang terbaik untuk Affan.

"Affann....",

Terdengar suara panggilan dari luar memanggil Affan. Benar saja, itu teriakan Arman, sahabat lamanya.

"Arman? Ka.. kamu ke sini?", Jawab Affan dengan penuh heran.

"Iya, aku gak ganggu kan? Kamu lagi ngapain?", Tanya Arman

"Oh, aku baru selesai belajar. Aku pusing nih, tadi baru saja istirahat sejenak. Oh ya.. Btw, kamu udah maafin aku?", Affan bertanya lagi

Sembari tersenyum kecil, Arman menjawab pertanyaan Affan, "Hmm, Fan. Aku sadar, sahabat lebih penting daripada pacar. Dan mungkin mantanku itu sudah bahagia dengan pacar barunya. Udah ah, daripada mikirin pacar muli, mending kita JJS yuk. Sambil melihat indahnya sungai Lematang.

Affan dan Arman terlihat akrab seperti dahulu, walaupun sebentar lagi ujian, namun Affan tak terlalu piusing memikirkan ujian. Karena dia sadar masih ada tempat berbagi, saat senang maupun susah. Langit di atas tepi sungai Lematang begitu menawan, begitu indah untu dipandang. Rasanya Affan tak mau hari itu cepat berakhir. Bersama sahabatnya itu, dia merasa tak perlu mengeluh lagi tentang permasalahan yang ada.

"Man, berenang yuk! Dari tadi kamu liatin awan mulu", Affan mengajak Arman untuk berenang di Lematang.

"Bentar Fan, coba kau lihat awan di sana. Merek berjalan ditiup angin. Lihat! Mereka tak pernah mengeluh, tak pernah menceritakan masalahnya. Awan juga tak pernah bilang kalau dia itu tinggi, tapi semua orang pun tahu kalau dia tinggi.", Jawab Arman

"Ah, kamu mah sok bijak. Haha. Udah berenang aja.", Ajak Affan.

Mereka berenang dengan asyiknya. Sebenarnya ada fakta terselubung mengapa Arman berucap demikian. Affan tak pernah tahu kalau keadaan Arman begitu menyedihkan. Arman senantiasa menutupi kesedihan yang ia rasa dan tak pernah banyak mengeluh tentang apa yang ia rasa. Bahkan tentang keluarga Arman sendiri pun, Arman begitu sedih. Ada masalah keluarga yang membuatnya terpukul. Bahkan pernah dulu ketika sendiri, rasanya Affan hendak menyakiti dirinya dengan silet dan kaca yang ia punya. Hampir-hampir dia putus asa. Tak pernah mengeluh, ya begitulah cara Arman menutupi kesedihan. Dia masih punya Allah untuk tempat berbagi, mencurahkan segala yang dia rasakan, berdoa untuk kebaikan dirinya. Ia masih punya sahabat yang berusaha menutupi kesedihannya.

Amnesia CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang