Api Di Bukit Menoreh Versi Flam Zahra Jilid 399

22.4K 104 8
                                    

SEMENTARA di tepian timur Kali Praga, siang yang mulai terik itu terjadi kegaduhan yang berujung terjadinya perkelahian.

Sebenarnyalah enam orang tukang satang sedang berkelahi berkelompok menghadapi seorang pemuda yang berpakaian layaknya seorang saudagar kaya. Enam orang tukang satang itu berkelahi dengan menggunakan senjata seadanya yang mereka ambil dari sekitar tempat mereka berkelahi. Orang yang berpakaian sebagaimana saudagar kaya itu tampak tersenyum-senyum, walau dirinya di serang membabi buta dari segala penjuru.

"Ayo orang-orang dungu, peras seluruh tenagamu, sebentar lagi kalian akan mati kehabisan nafas" teriak pemuda yang berpakaian mewah itu.

"Jangan terlalu mengulur waktu, Adi Sasangka. Kita tidak punya banyak waktu. Segeralah selesaikan orang-orang bodoh itu, tinggalkan seorang untuk menyeberangkan kita" teriak orang yang memakai ikat kepala kuning keemasan yang berdiri tidak jauh dari tempat perkelahian itu.

"Baiklah kakang" sambil tertawa keras-keras orang yang berpakaian mewah itu menjawab perkataan temannya. Orang- orang yang berdiri agak jauh dari tempat perkelahian itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika tiba-tiba saja ke-lima tukang satang itu telah jatuh bergelimpangan di tanah.

"Ayo siapa di antara kalian yang mau seperti orang-orang dungu ini" teriak orang yang memakai pakaian mewah yang di panggil dengan sebutan Sasangka tersebut.

Beberapa orang yang kebetulan berada di tepian Kali Praga itu, seakan-akan tanpa menunggu perintah berikutnya, segera berjalan cepat-cepat menjauhi tempat perkelahian itu. Bahkan kebanyakan dari orang-orang itu memilih untuk meninggalkan tepian Kali Praga.

Sementara itu, tukang satang yang seorang lagi, hanya berdiri termangu-mangu, tanpa tahu apa yang harus ia perbuat.

"Aku belum membunuh kawan-kawanmu itu, mereka hanya pingsan. Akan tetapi jika kau tidak segera menye- berangkan aku dan kakang ku, aku akan segera menusuk jantungmu sekarang" berkata orang yang disebut sasangka tersebut.

Seolah seperti baru saja mendengar suara petir yang sangat keras tiba-tiba tukang satang itu menjatuhkan dirinya di depan orang yang berpakaian mewah itu, menyembah- nyembah mohon ampunan.

"Aku percaya kau tidak menyembah orang itu dengan hatimu ki sanak, tiba-tiba terdengar suara perlahan dan halus yang mendekati tempat perkelahian itu."

"Dalam keadaan terpaksa, apalagi kau merasa nyawamu mendapat ancaman, apa yang kau perbuat itu tidak terlalu menjadi soal ki sanak" lanjut orang tersebut.

Orang yang berpakaian mewah yang di panggil dengan sebutan Sasangka itu seakan-akan diam membeku di tempatnya, ketika semua orang yang berada di tepian Kali Praga meninggalkan tempat itu, tiba-tiba di hadapannya berdiri seorang pemuda yang tampak tenang tanpa ada perasaan takut sedikitpun. Seorang pemuda yang berkumis tipis serta memakai pakaian yang agak kebesaran itu,

tersenyum memandang tukang satang yang masih dalam keadaan menyembah terhadap orang yang di panggil Sasangka tersebut.

"Ilmu kanuragan tidak untuk bertindak sewenang-wenang terhadap sesama. Aku tetap mempercayai, empunya yang dahulu menciptakan tata gerak ilmu kanuragan itu mempunyai tujuan yang luhur. Dan aku yakin para guru, para pendahulu-pendahulunya akan sangat kecewa melihat yang telah diwariskannya kepada penerusnya, dipergunakan untuk berbuat sewenang-wenang menebar angkara murka." Berkata anak muda itu.

Orang yang dipanggil Sasangka itu masih tetap diam tanpa mampu berkata sedikitpun, seolah-olah ia baru melihat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehatnya. Tiba- tiba teman orang yang dipanggil Sasangka itu dengan tidak sabar membentak terhadap pemuda yang memakai pakaian sedikit kebesaran itu. "Siapa kau anak muda? Apakah kau seorang pemain ludruk atau mungkin wayang orang yang ketinggalan rombonganmu, sehingga kau menjadi gila. Aku kira kau sebenarnya memang pemain wayang orang, melihat kulitmu yang putih bersih itu pastinya kau sering memainkan peran ksatria yang lemah lembut."

LANJUTAN API DI BUKIT MENOREHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang