MEREKA berdua tetap saling menyerang dan menghindar dalam tata gerak yang semakin rumit. Tubuh mereka seolah-olah hanya berupa bayang-bayang yang saling menyambar satu sama lain. Tata gerak yang benar-benar rumit itu membuat seluruh medan perang tanding bagaikan diselubungi oleh tubuh mereka berdua.
Sebenarnyalah, tidak memerlukan waktu lebih lama lagi, baik Serat Manitis maupun Kebo Anggara telah merambah ke puncak tata gerak ilmu kanuragan mereka. Hampir bersamaan pula tenaga cadangan dan ilmu meringankan tubuh mereka telah sampai pula pada puncak kemampuan yang mereka miliki.
Ternyata, begitu masing-masing telah sampai ke puncak tata geraknya, mereka berdua tidak terlalu banyak lagi untuk dapat menghindar dari serangan lawan. Yang kemudian sering mereka lakukan adalah membenturkan wadag mereka masing- masing. Begitu terjadi benturan wadag itu, tubuh mereka pun nampak bergoncang bahkan kadang-kadang harus saling terdorong ke belakang.
Namun mereka tidak selalu bisa membenturkan kekuatan wadag tersebut. Baik Serat Manitis maupun Kebo Anggara juga harus menahan sakit disaat bagian tubuhnya terkena pukulan atau tendangan lawan.
Semakin lama mereka dalam bertarung itu, akhirnya nampak biru lebam telah mulai terlihat di tubuh Serat Manitis dan Kebo Anggara.
Akhirnya, saat ujung telapak kaki Serat Manitis tepat mengenai perut Kebo Anggara, tubuh salah satu pemimpin Perguruan Semu itu terlempar dan jatuh terguling-guling di tanah.
Akan tetapi. Agung Sedayu yang menyaksikan dari pinggir arena telah berdegup cepat jantungnya beberapa saat sebelumnya. Sebenarnyalah, Agung Sedayu telah melihat Kebo Anggara membuat suatu gerak khusus bersamaan dalam ungkapan puncak tata geraknya. Sikap gerak yang luput atau bisa jadi memang Serat Manitis belum mengerti akan maksud dari tata gerak khusus tersebut.
"Anggota Perguruan Semu tersebut ternyata telah berbekal ilmu kebal pula" batin Agung Sedayu dengan debaran di dadanya yang semakin menjadi-jadi. "Serat Manitis justru belum mengenal sikap khusus itu."
Kegelisahan ternyata seketika itu juga tumbuh dalam hati Agung Sedayu. Yang terjadi kemudian memang seperti yang sedang dikhawatirkan oleh Agung Sedayu. Walaupun hentakkan kaki Serat Manitis telah dalam ungkapan puncak tenaga cadangannya, namun seolah-olah tidak berarti sama sekali bagi Kebo Anggara. Kebo Anggara yang seolah merasa tidak pernah terjadi apapun di tubuhnya itu, segera bangkit berdiri.
Menyaksikan apa yang telah terjadi itu, sesaat Serat Manitis terkesiap. Serat Manitis tidak mengira sama sekali puncak tenaga cadangannya ternyata tidak berakibat apapun bagi lawan.
Akan tetapi, Serat Manitis tidak ingin berlama-lama larut dalam kecemasannya tersebut. Sesaat kemudian, Serat Manitis ternyata telah mampu membuat pertimbangan-pertimbangan
yang mapan, walaupun kemungkinan-kemungkinan yang lain pun akan juga dapat terjadi.
"Orang ini telah mengetrapkan tirai ilmu kebalnya" berkata Serat Manitis dalam hati. "Semoga masih ada cara untuk menembusnya."
Sebenarnyalah, yang terjadi kemudian adalah begitu Kebo Anggara bangkit berdiri, saat itu juga ia telah melompat cepat menyerang Serat Manitis kembali. Tidak nampak ada kekangan sama sekali. Sebenarnyalah, Kebo Anggara telah memutuskan untuk tidak mengulur ulur waktu lebih lama lagi. Sejenak kemudian, Serat Manitis sangat terkejut sehingga ia harus melompat menjauh dari lawan.
"Aku disini anak muda."
Hampir bersamaan dengan ucapan itu, Serat Manitis merasakan bagai terhantam bongkahan batu besar dadanya. Bagai diterjang badai, tubuh Serat Manitis terlempar dan berguling guling di tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANJUTAN API DI BUKIT MENOREH
Fanfickarya : Nyi Flam Zahra (terbatas untuk penggemar AdBM, tidak untuk di komersialisasikan)