Formasi Kita

152 13 2
                                    

Berhubung kami para bocah unyu masih baru di kelas XI IPA 1, tempat duduk pun masih asal asalan. Ada yang duduk dikantin, dikelas sebelah, atau bahkan diruang Kepala Sekolah. Untuk menghilangkan kerancuan yang menggeluti anggota kelas, diadakanlah 'lotre' untuk menentukan tempat duduk yang sebenarnya. Tempat duduk emang dilotre, tapi pasangan duduk boleh pilih sendiri. Hingga akhirnya aku menjatuhkan pilihanku sama kamu, iya kamu.

"Gimana nih formasi tempat duduknya?" Yoni membuka pembicaraan.

Widih, kenapa pake formasi segala? Ini mau pake formasi 4-4-2 atau 4-4-1-1? Batinku. Yah aku hanya bisa menjerit didalam batin yang ada kamunya. Iya kamu.

"Menurut pendapat kamu gimana Yan?" Tanya Pini pada Ian.

"Kok aku?" tanyanya dengan tampang tak berdosa.

"Kamu kan Ketua Kelas, yaelah masih baru sih," Putra, Wakil Ketua Kelas angkat bicara.

Kali ini tidak ada pelebaran yang siknifikan pada kedua sisi hidung Ian. Yang terjadi adalah pelebaran pembuluh darah balik pada kakinya. Yah varises dong.

"Yah terserah kalian aja. Aku sih setuju setuju aja," kata Ian. Maklum masih baru, masih polos.

"Kayak biasa aja lah Yon," ujar Dara nggak mau ribet.

"Emang mau dikreasiin kaya gimana?" tanya Ian.

"Bentuk huruf U aja gimana?" kali ini Faya mengusulkan dengan mata berbinar. Matanya sipit, karena keturunan China sampai sampai belek matanya kejepit saking sipitnya.

"Janganlah, udah mainstream. Bentuk huruf Q aja gimana?" Yanut excited.

Pokerface.

"Tapi dipikir pikir boleh juga sih," Yoni manggut manggut. Sok fokus dan sok serius.

"Huruf Q? Makasih Yon udah nerima usulku. Love you,"

"Bukan! Huruf U maksudnya,"

"Dih PHP,"

"Eh sorry ya, aku selalu diPHP-in jadi sekali kali nge-PHP-in orang kan boleh,"

"Yah baper," aku mengeluarkan suara perungguku.

"Ntar kalau formasinya huruf U, guru bakal lebih leluasa mengarungi setiap keramik dikelas ini," kata Faya.

"Hm. Bener juga. Gurunya terkesan jadi pemeran utama. Kita jadi penonton," Dara yang awalnya mengusulkan formasi biasa, menjadi luluh ginjalnya, eh hatinya.

"Penonton alay," timpal Fira.

"Nggak, penonton yang haus akan ilmu pengetahuan," ucap Dara dengan suara yang dihalus haluskan dan mata yang dibinar binarkan.

"OOOOOOOO!" seperti biasa. Sorakan yang udah jadi ciri khas.

"Tapi aku takut deh kalau kita pakai formasi ini," aku bersuara ditengah sorak sorak bergembira bergembira semua, sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka. Eh.

"Takut kenapa?"

"Takut gurunya salting. Takut gurunya grogi, kakinya gemetaran, bibir pecah pecah, mata merah, gigi kuning,"

"Nggak bakal lah. Emang kenapa gurunya salting?"

"Karena kitanya ngeliatin beliau dengan formasi yang padat penduduk begini,"

"Siapa juga yang mau ngeliatin?"

"Kamu. Iya kamu,"

You don't say.

"Gimana Ketua? Setuju kalau formasi kita huruf U?" Yoni meminta persetujuan Ian.

"Setuju setuju aja,"

Fix. Jadilah formasi huruf U dijadikan formasi tempat duduk kelas. Tapi kenapa aku kurang sreg ya sama formasi yang dipilih hasil perdebatan yang sengit ini. Bukan, bukan karena takut gurunya salting. Tapi terbesit perasaan gelisah diraga ini. Ah sudahlah. Yang penting aku duduk sama kamu, iya kamu.

Anggota XI IPA 1 berduyung duyung mendatangi meja Yoni, tempat pengambilan gulungan kertas kecil penentu nasib. Yoni lagi Yoni lagi. Yah bocah satu ini emang aktif berorganisasi di kelas tercinta ini.

Saatnya giliranku untuk mengambil satu gulungan kertas dari sekian banyak gulungan itu. Duh kaki gemetar. Tangan ku pun begitu. Lama kelamaan frekuensi gemetarnya tanganku semakin tinggi. Tingginya frekuensi gemetar itu menyebabkan aku lebih terlihat seperti epilepsi. Akhirnya aku berhasil meraih satu gulungan kertas pilihanku. Tiba tiba terputar lagu 'We Are The Champions' euforia kemenangan atau lebih ke ketegangan semakin menyeruak didalam lokal. Dengan perlahan, kubuka gulungan kertas itu. Kawan kawan berkumpul, mengerubungiku. Melihat, dimana posisi dudukku. Kertas mulai terbuka setengah. Murid dari kelas sebelah mulai masuk ke kelas XI IPA 1, melihat momen saklar itu eh sakral. ¾ kertas mulai terbuka. Kali ini, murid dari SMA sebelah yang datang. Dan akhirnya gulungan kertas itu terbuka secara sempurna. Sekarang, giliran murid dari Sulawesi Utara yang datang. Dan, aku duduk di... haha udah paling belakang, paling pojok lagi, dekat gantungan sapu, dibawahnya ada kardus berisi sampah botol bekas. Duh menderita. Penonton yang datang tadi eh murid dari berbagai penjuru yang datang tadi keluar dengan kecewa. Maafkan aku penonton. Tatapku nanar melihat kepergian mereka. Lagu yang terputar kali ini adalah 'Gugur Bunga'.

Aku dan Widya, teman dudukku melangkah gontai menuju tempat duduk naas itu. Ternyata benar firasatku tadi, aku sempat kurang setuju terhadap formasi yang diusulkan Faya. Yah mau gimana lagi. Bersyukur masih bisa duduk. Untung nggak lesehan.

"Maafkan tangan nistaku, Widya!" aku terisak sambil memegangi tanganku.

"Nggak apa apa Valen, maaf aku nggak ada disamping kamu saat pengambilan lotre tadi," Widya memegang tanganku. Lalu kami menangis sejadi jadinya. Kali ini lagu yang terputar lagu itu tu yang 'Bapak mana Bapak mana Bapak mana, dimanaaaaaaa...'

Dari kejauhan, kulihat mereka yang mendapatkan tempat strategis tersenyum penuh kemenangan. Tak sadar ilerku netes, iya iler, kali ini nggak salah emang iler yang netes ke seragam putih abu abunya Widya melihat kegembiraan yang mereka rasakan. Seandainya aku bisa seperti mereka, batinku. Iya aku selalu ngebatin, sulit untuk ngungkapin perasaan ini ke kamu, iya kamu.

Pak Dedi masuk. Yah Bapak masuk disaat yang tidak tepat. Kenapa tidak tepat? Sedang mengiler ria begini malah masuk, yah Bapak.

Tapi, sebenarnya ada keuntungan juga kok duduk dibelakang dan dipojok. Keuntungannya ya bisa ngerumpi. Selain itu bisa kentut sekenanya. Eh enggak juga ding, gas Nitrogen yang terkandung dalam kentut kan bakal mental ke dinding yang berada dibelakangku dan akhirnya menyeruak memenuhi seisi ruangan. Duh walau mojok dibelakang tetap nggak bisa kentut sembarangan nih. Eh, tapi ada alternatif lain, kentut aja waktu lagi duduk. Otakku masih berpikir keras menemukan jalan keluarnya. Eh tapi tapi, ntar anginnya masuk lagi kedalam gimana? Yah emang nggak aman nih kentut disekolah.

Tapiaku dan Widya nggak sampai naik kelas kok mojok dibelakangnya. Sebab, akandiadakan pertukaran tempat duduk setelah ujian. Baik UTS, maupun US. Sedikit legamendengar kabar itu. Kenapa aku lega? Karena aku cinta kamu, iya kamu.    

Cesio Itu... Lokal NgenesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang