Nunno Bettencourt

78 8 6
                                    

Adel mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam sekolah baru. Sejujurnya, Adel masih merasa takut harus beradaptasi dengan orang-orang yang berbeda daerah sehingga akan beda cara sosialisasinya. Jantung Adel berdegup cepat sekali karena takut ia gagal mendapat teman dan berakhir ia sendirian seperti biasa. Sebisa mungkin, Adel berusaha untuk tak terlihat seperti anak baru. Walau gagal karena Adel langsung bengong dan kebingungan mencari kelasnya.

"Eh ada cewek penunggu teras rumah," ucapan jahil yang membuat Adel menengok ke arah belakang. Ada Bambang dengan cengiran khasnya. Adel menghembuskan napas lega. Minimal dia tak terlalu buta karena ada orang yang bisa dia tanya tanpa takut.

"Eh, Bambang, boleh nanya gak?" tanya Adel dengan senyum yang dibalas anggukan Bambang, "eh, tapi jangan panggil aku Bambang di sini, nanti ada yang sewot hehehe." Adel mengerutkan kening bingung dengan pernyataan misterius itu. Tapi dirinya hanya mengangguk saja.

Adel mengikuti Bambang yang ada di sampingnya. Mereka berbicara tentang banyak hal. Lebih banyak membicarakan tentang sekolah ini serta seluruh isi sekolah. Mulai dari topik penting seperti materi terakhir hingga tak penting makanan kantin paling enak. Tanpa sadar, Adel sudah sampai di depan kelasnya. Adel tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Tetapi tangannya dipegang saat Adel akan berjalan memasuki kelas.

Bambang memegang tangan Adel sambil cengengesan. Membuat Adel tebingung-bingung. Apakah ada yang salah? Tapi tulisan di papan kelas menunjukan kalau itu memang kelas Adel. Jadi tak mungkin salah kelas. Seragam Adel berbedakah? Tidak, seragam yang Adel kenakan sama seperti seragam siswi yang sedang bercanda di lorong.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Adel bingung yang hanya dijawab cengengesan oleh Bambang, "hehehe, aku cuma mau kasih kamu ini. niat awalnya kasih pas pulang sekolah. Ternyata kita satu sekolah hehehe." Buku bersampul cekolalat berada dalam genggamannya. Bambang memberikan Adel buku tulis. Diterimanya buku tulis dari Bambang dan segera Adel buka untuk mengetahui apa isinya. Rupanya buku catatan Bahasa Sunda.

"Nunno Bettencourt?" eja Adel bingung melihat nama pemilik buku tersebut. Bambang cengengesan semakin keras dengan tangan sibuk menggaruk belakang kepalanya. Bambang akhirnya memberitahukan kalau itu adalah namanya lewat gestur tubuh. Mulutnya hanya mengeluarkan cengengesan tanpa henti.

"Kok ngenalin diri ke aku jadi Bambang? Dipanggil Bejo sama anak kecil kemarin juga," tanyaku dengan senyum geli melihat tingkah Bambang yang seakan salah tingkah, "nanti kamu jugaa tahu siapa Bambang hehe. Soalnya namaku kebagusan sih. Aku di sini dipanggil Jawa sama yang lain. Padahal mukaku gak kayak orang jawa kan ya? Nisebal," jelas Bambang panjang lebar dengan ekspresi lucu yang membuat Adel mengangguk-angguk paham sambil menahan tawa.

"Eh, tapi masalah nama Bejonya darimana belum" tanya Adel penasaran.

"Oh itu? Hehehe itu singkatan dari bengeut jonk. Artinya tuh muka jelek. Aku memang jelek sih hehehe." Tangan Bambang asyik menggaruk belakang kepalanya. Salah tingkah.

Waktu berjalan sangat lambat di dalam kelas, berkali-kali Adel harus mengenalkan diri di depan kelas karena setiap pergantian pelajaran, pasti Adel diminta untuk mengenalkan diri di depan kelas. Sangat tidak efektif tapi Adel yakin hal itu terjadi karena guru dan semua murid di kelasnya ingin membuang waktu belajar. Adel tak masalah untuk alasan ini. karena jelas kalau dia kurang mengerti materi yang dipelajari.

Selama pelajaran berlangsung, Adel sibuk menanyakan segala hal ke teman sebangkunya, Yolan. Adel berusaha mengingat semua hal walau Adel tahu itu hal mustahil. Tapi semua usaha akan membuahkan hasil yang manis, bukan? Jadi Adel berusaha mengingat semua nama teman sekelas serta guru yang mengajar.

Adel mulai putus asa mengingat semua hal, jadi ia mulai membuka catatan dari tetangganya yang mengaku bernama Bambang. Tulisan khas anak cowok terlihat jelas di buku tulis itu. Ada banyak gambar coretan yang dibuat Bambang di buku itu. Membuat Adel tersenyum melihat coretan-coretan itu.

"Minimal bisa hilangin jenuh karena gak paham materi yang diajarkan," batin Adel riang. Tak jarang, Adel melihat tulisan yang ada di novel-novel yang pernah Adel baca. Rupanya Bambang menyukai sastra juga. Bahkan ada beberapa kutipan yang Adel tak tahu berasal darimana karena baru pertama kali membacanya.

Jam pelajaran berganti lagi menjadi jam musik. 2 jam pelajaran lagi dan Adel dapat mendengar bel merdu yang menyuruh semua murid pulang ke rumah masing-masing. Adel sendiri walau tak dapat benyanyi karena buta nada, tapi cukup mahir bermain suling ala suling anak SD. Kemampuan menggambar Adel bahkan termasuk yang di atas rata-rata.

Guru kesenian masuk ke dalam kelas. Membuat kelas yang awalnya gaduh, menjadi hening seketika. Adel berusaha menutupi diri agar ia tak dipanggil ke depan untung memperkenalkan dirinya lagi. tapi sayang, harapan tinggal harapan karena Adel tetap dipanggil untuk memperkenalkan diri di depan kelas.

"Selamat siang semua, perkenalkan, nama saya Adelia Aryani Putri. Biasa dipanggil Adel. Saya pindahan dari suatu SMA negeri di bilangan Jakarta. Salam kenal semuanya, mohon bantuan kedepannya ya?" ucap Adel sambil senyum dan membungkuk hormat. Setelah itu, Adel menengok ke arah guru kesenian seakan meminta izin kembali duduk di bangku.

"Ya, Adel nyanyi dulu 1 lagu sebelum kembali duduk ke kelas," suara berat khas bapak-bapak terdengar. Bagai disambar petir, Adel hanya berdiri mematung menatap guru kesenian yang menunggu dirinya menyanyi.

Adel menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bingung bagaimana menjelaskan atau menghindari agar ia tak bernyanyi. Ia hanya ingin menyelamatkan telinga seluruh teman serta satu guru keseniannya. Adel bahkan mencoba negosiasi bermain alat musik suling jaman SD. Tapi ditolak oleh guru keseniannya tersebut.

Adel menghembuskan napas kasar. Kesal karena akhirnya ia harus menyanyi di depan kelas. Adel pun mulai bernyanyi lagu beatles karena Adel menebak guru keseniannya menyukai lagu yang ia nyanyikan sehingga guru kesenian tersebut asyik bernyanyi sendiri seperti guru kesenian di sekolahnya dulu saat di Jakarta.

Baru 4 baris lagu, Adel sudah disuruh duduk oleh guru keseniannya. Sambil tersenyum lebar, Adel berjalan ke arah bangkunya santai. Entah mengapa, Adel merasa senang dapat duduk di bangku itu lagi. Adel menatap ke arah papan tulis dimana guru keseniannya asyik mengajar. Tapi hanya sebentar karena guru kesenian tersebut izin ke kamar mandi.

"Ih, itu guru kesenian siapa namanya? Aku kan gak bisa nyanyi sama sekali. Buta nada," oceh Adel kesal yang ditertawakan oleh Yolan, "hahahaha suara kamu bagus kok. Walau fals sedikit."

Adel mengerucutkan bibir kesal karena jawaban Yolan yang setengah meledek Adel. Adel tahu kalau Yolan bercanda, makanya Adel hanya mengerucutkan bibir kesal. Kalau Adel menganggap ucapan Yolan serius, pastinya Adel memilih untuk tak peduli lagi dengan Yolan. Apapun yang terjadi.

"Oh iya, nama gurunya tuh, Pak Bambang. Dia memang hobi bolak-balik kamar mandi sama kelas setiap ngajar," kata Yolan setelah ia berhasil berhenti tertawa. Apa katanya? Bambang? Sepertinya Adel mulai paham alasan mengapa dirinya dilarang memanggil tetangganya dengan sebutan 'Bambang' kalau di sekolah. Mungkin mulai saat ini Adel harus memanggil Bambang dengan sebutan 'Jawa' jika berada di sekolah.


Terimakasih sudah menyemangatiku untuk terus menulis

Guitar BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang