Aftertaste - 3

10.3K 1.2K 62
                                    

Zalsa bukannya tidak mengerti tentang cinta. Sebenarnya gadis itu sudah beberapa kali berpacaran sejak di bangku SD hingga sekarang. Saat ini dia hanya tidak ingin berurusan dengan yang namanya cinta. Tapi sekarang, karena tantangan dari sepupunya itu, membuatnya terjebak di entah-hubungan-apa-ini dengan Lio.

Menurut Zalsa, Lio adalah salah satu masalahnya saat ini. Cowok itu kelewat dingin, tidak tertebak, dan ditambah lagi cewek-cewek pengikut Lio. Atau bisa dipanggil Fans dari cowok itu. Zalsa tidak habis pikir, apa yang harus di gemari dari cowok itu? . Setahu Zalsa, cowok itu tidak pernah melakukan sesuatu yang harus digemari. Kecuali keikursertaannya dalam ekskul basket, mungkin?

Zalsa mangut-mangut. Tidak peduli dengan tatapan ketiga temannya yang bingung.

Cowok itu pasti terkenal karena basket. Tapi bisa juga karena cowok itu berteman dengan ketiga cowok yang manis dan baik hati; Dani, Alfa, dan Rey.

Tepukan dibahu Zalsa membuatnya menoleh. Gadis itu harus mengedipkan matanya beberapa kali untuk memastikan kalau cowok didepannya adalah Alfa.

Kalau Adelio dingin, berbanding terbalik dengan ketiga teman cowok itu. Terutama Alfa. Alfa kelewat hangat, apalagi pada perempuan. Cowok itu suka tebar pesona, tentu saja playboy. Mungkin yang ada diotaknya adalah dia harus mempergunakan tampang dengan sebaik-baiknya.

"Weyy, Alfa!" panggil Naufal. Kedua cowok itu memang satu ekskul. Basket.

Alfa menyengir lebar kearah Naufal, lalu menghampirinya dan berbincang sebentar tentang anak satu tim mereka yang sedang masuk rumah sakit.

"Gue kesini ada maksud." ujar Alfa.

Zalsa menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"

Alfa menoleh ke seberang lapangan, membuat Zalsa keikut menoleh. Diseberang lapangan ada Rey dan Adelio yang sedang berdiri menghadap mading.

Alfa mengalihkan pandangannya ke Naufal, Darin, dan Tiara secara bergantian. Cowok itu tersenyum kecil sebelum berbicara. "Gue bawa Zalsa bentar doang, boleh ya?"

Mereka bertiga mengangguk. Dan Zalsa hanya menatap Alfa aneh. Sebenarnya Zalsa tida kenal Alfa. Tapi entah kenapa cowok didepannya ini bersikap seolah mereka adalah teman lama.

"Ngomong disini aja gak bisa, ya?" tanya Zalsa.

Alfa menggeleng, lalu merangkul bahu Zalsa dan membawanya menjauh dari ketiga teman Zalsa.

"Gue denger-denger lo sama Lio jadian ya?" tanya Alfa.

"Bisa lepasin tangan lo nggak?" Zalsa malah mengalihkan pembicaraan. Dia risih. Cowok ini sok kenal. Ditambah lagi setahunya, cowok ini sudah punya pacar.

"Jadi, lo sama Lio pacaran. Gue gak tau apa yang ada di otak itu anak. Tapi gue cuma mau ngasih tau kalau akhir-akhir ini dia lagi berduka."

Zalsa mengerutkan keningnya. Entah karena mendengar Alfa yang berbicara kalau dia dan Lio pacaran atau karena mendengar Lio sedang berduka.

"Ada yang meninggal?" tanya Zalsa.

Alfa mengedikkan bahunya. "Lo cari tahu aja sendiri. Gue sama yang lain awalnya kaget karena ternyata dia nerima lo. Maaf, jangan salah paham dulu yaa.."

Cowok itu berhenti sebentar untuk tertawa kecil. "Lo cantik. Kelewat cantik malahan. Gak mungkin Lio nerima lo kalau gak ada alasannya. Gue minta lo buat deketin dia, bisa?"

"Kenapa harus gue?" tanya Zalsa.

"Karena lo pacarnya." jawab Alfa santai. Cowok itu kini melepaskan tangannya dari bahu Zalsa saat melihat seorang gadis di ujung lapangan.

"Gue bukan--"

"Yah, cewek gue ngeliat. Gue duluan, Sa." potong Alfa. Cowok itu tersenyum sebelum berlari ke ujung lapangan.

Zalsa terdiam, lalu menoleh kearah tempat yang tadi dia dan ketiga temannya duduki. Tapi tidak ada mereka. Lalu Zalsa menoleh ke arah mading, tempat Lio berdiri. Ternyata cowok itu masih disana, berdiri menghadapnya. Menatapnya. Tapi tidak ada Rey disana.

Perlu beberapa waktu hingga akhirnya Zalsa mendekati cowok itu. Tapi Lio hanya diam menatapnya.

"Kenapa?" tanya Zalsa.

Adelio membuang pandangannya, menatap jam tangan hitamnya. "Enggak."

Setelah itu, Adelio berbalik dan pergi. Zalsa mengedip beberapa kali, menatap punggung cowok itu yang semakin mengecil.

***

Tiara menopang dagunya, menatap Zalsa sang lawan bicara lekat.

"Gue gak pernah ngarep apa-apa dari Lio, astaga. Gue mau mutusin dia nanti." ujar Zalsa.

"Nanti.." ulang Tiara. Zalsa tidak suka dengan nada bicara Tiara. Seolah-olah gadis itu sedang mengoloknya.

"Serius, Ra! Gue gak ngerti lagi kenapa dia nerima gue kalau ujung-ujungnya kaya kita gak ada hubungan." Zalsa lagi-lagi berujar.

Tiara tersenyum miring. Mengejek. "Dari kata-kata lo barusan bisa gue simpulkan kalau lo nerima hubungan ini dan lo lagi kesel ke pacar yang lagi nyuekin cewenya."

Zalsa memelototi gadis didepannya. "Gue.Gak.Suka.Adelio."

"Lah yang bilang lo suka sama dia siapa??" Lalu Tiara tertawa. Benar-benar ngakak.

Karena sudah kesal diejek Tiara, Zalsa menyambar tasnya dan berjalan keluar dari kantin. Jam sekolah sudah berakhir sejam yang lalu. Tapi mereka berdua memilih untuk berlama-lama disekolah. Tawa Tiara bahkan masih terdengar setelah Zalsa melewati pintu kantin.

Zalsa sudah berada di luar gerbang, terpaku saat melihat Lio sedang duduk dengan Rey, dengan sebatang rokok terselip dibibirnya. Dia tidak tahu kalau cowok itu merokok..

"Datengin gih.."

Zalsa menoleh kaget, menatap Tiara yang kini sudah ada disampingnya.

"Gak."

"ADELIO!!" pekik Tiara.

"Eh goblok." Zalsa melebarkan matanya, lalu membekap mulut Tiara dengan tangannya. Tapi percuma saja. Zalsa yakin kalau Lio sudah menoleh.

Tiara hanya terkikik pelan, lalu mengedikkan dagunya kearah Lio. Zalsa kembali menoleh dan melihat Lio yang kini sudah mematikan rokoknya dan berjalan kearahnya.

"Ra, kalo gue langsung ngacir masuk lagi kedalam keren gak?" bisik Zalsa.

"Enggak banget." sahut Tiara.

Saat Lio sudah berdiri didepan Zalsa dan Tiara, cowok itu hanya menatap Zalsa lekat. Hingga akhirnya setelah Tiara ngilang tiba-tiba, barulah Adelio berdehem pelan.

"Kenapa belum pulang?" tanya cowok itu.

Zalsa menatap Adelio dengan mulut terbuka. Tapi dengan cepat dia kembali sadar. "Males pulang aja."

"Oh. Yaudah." sahut cowok itu, lalu berbalik.

"Adelio." panggil Zalsa cepat sebelum cowok itu benar-benar pergi.

Lio berbalik, menatap Zalsa dengan sebelah alis yang terangkat.

"Bisa anterin gue pulang, gak?"

Dan setelah mengatakan itu, Zalsa merasa menyesal beribu-ribu kali lipat. Bodoh. Kenapa malah minta dianterin pulang??

***

abiss saur gue apdet lagi yaa

AftertasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang