Aku satu, kamu dua

44 1 2
                                    

Hariku sepi, tapi hatiku tidak. Amarah berkecamuk dalam hatiku, rasanya begitu mengecewakan. Hari ini adalah hari terakhir kajian yang diselenggarakan tiap bulan oleh divisi tempat aku bekerja di BEM, karena kajian ini sudah mencapai target waktu jadi hari terakhir inilah puncaknya

Kami bekerja sama dengan berbagai macam organisasi agar program kerja terakhir kami lebih banyak dihadiri mahasiswa dari berbagai macam jurusan dan latar belakang. Aku pun berharap ada orang itu yang beberapa bulan ini mengisi hariku. Aku suka diskusi, aku suka berbagi pemikiran dan aku bangga kalau dia hadir di acara itu. Dia petinggi BEM pasti dia akan datang, mana mungkin dia tidak menghiraukan acara ini dan mempermalukan divisiku dan jurusan kami.

Ini sudah pukul empat sore acaranya dimulai sebentar lagi, kepala divisiku bertanya, "Dy, coba liat ke sekret kok mereka belum dateng nggak enak kalo jurusan kita sedikit yang dateng." Aku mengangguk dan segera berlari ke sekret meninggalkan gazebo kecil halaman kampus. Aku mencari-cari di mana mereka, ka Ryno dan teman-temannya. Aku naik sampai lantai empat, mungkin mereka masih ada di kelas membicarakan sesuatu, tapi ternyata kelas itu kosong. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke gazebo karena sebantar lagi acara akan mulai, tidak mungkin aku meninggalkan acara tersebut dan sibuk sendiri.

Setengah jalannya acara ada salah satu petinggi BEM yang datang, dia tidak sekelas dengan ka Ryno, tapi cukup saling mengenal aku penasaran dan ku hampiri dia.

"Hei, Ka Nindy dateng. Kok yang lain nggak ada sih ka? Pada kemana kakak tau nggak? Sepi nih, parah masa jurusan kita orangnya cuma segini padahal kita loh yang punya acara." Aku mengajak Ka Nindy duduk di deret agak belakang agar tidak mengganggu yang lain.

"Nggak tau sih, tadi aku udah ajak mereka tapi katanya mereka mau nonton film baru itu Sky...l. Aku aja dari tadi celingak-celinguk nyari temen. Eh ketemu kamu juga untungnya."

Aku tersenyum tidak membalas ucapan Ka Nindy lagi, dadaku berdegup kencang rasanya panas, kelopak mataku pun rasanya panas. Siapa yang harus aku salahkan? Aku pamit sebentar untuk ke kamar mandi, tanganku gemetar mencari kontak di handphoneku. Panggilanku masuk pertanda handphone miliknya aktif, tapi beberapa kali teleponku tidak diangkatnya. Aku hanya menghela napas, mencoba memaklumi menenangkan diriku sendiri sebelum kembali ke tempat acara.
*****

Pukul enam sore semua yang hadir sudah bubar, kajian pun ditutup dengan berbagai macam pencerahan dari hasil bertukar pikiran dengan beberapa teman-teman dari jurusan yang berbeda. Aku bersama kepala divisi sosial dan politik masih ada di gazebo menunggu shalat magrib.

"Ka Ardi, lo marah nggak sama temen-temen lo para petinggi BEM yang nggak dateng acara hari ini? Kok kesannya kaya nggak dihargain ya?" Dia menepuk-nepuk bahuku.

"Sabar aja, tinggal dikit lagi kan? Gue lebih ke kecewa sih, nggak marah mungkin mereka lupa."

Aku tersenyum kecut mendengar penuturan kadepku, sabar sekali dia. "Serendah ini mereka mandang kita padahal untuk proker-proker lain gue sediain waktu gue buat mereka tapi untuk satu setengah jam duduk, diskusi mereka lebih milih nonton film ka."

Dia menoleh ke arahku dan menganggukan kepala tanda mengerti, "Ryno bilang nggak tadi? Lo tau dari mana mereka nonton film? Setau gue ketua BEM kita mau ke bengkel." Aku menggelengkan kepala.

"Nggak mereka nonton film ke bioskop, tadi gue tanya ke ka Nindy kok. Ka Ryno dia nggak bilang apa-apa, dan kenapa harus bilang sama gue ka? Itu kan temen-temen dia, urusan dialah mau kaya apa." Lagi-lagi Ka Ardi menepuk bahuku, mencoba menenangkanku, "Sholat dulu aja yuk, biar adem."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Story Of Dy And RyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang