Membawa Kembali

501 54 5
                                    

Telepon yang terus berdering membuat mataku mengernyit dan badanku memaksakan diri untuk bangkit. Dengan gerakan setengah terseret dan setengah meregang, aku meraih ponselku dan menekan tombol hijau.

"Bangun, kampret! Kita harus jalan sekarang!"

Ini yang aku benci dari teknologi. Menginvasi ruang privat, merecoki pagiku dengan video call yang lebih luas dari yang dahulu kita kenal (sebatas jangkauan kamera atau seluas layar ponselmu). Kini Reno bisa melihat isi kamarku, keadaan badanku seluruhnya, dan jendela kamarku yang sudah terang benderang.

"Gue tahu di Jakarta udah terang. Cepetan ke sini, gak pake alasan!"

Lagi, aku benci teknologi yang bisa secepat kilat membawaku ke London hanya dalam satu kali pembayaran tiket. Tidak ada alasan untuk menyeret badan ke kedai kopi tubruk, tidak ada alasan untuk bengong memikirkan masa depan di kloset atau di bawah shower, atau... oke yang terakhir urusan lelaki dan kamar mandi dan pagi hari.

"Ya, ya, ya." Aku menekan tombol merah.

Badan ini terduduk sebentar di pinggir kasur, kemudian meregang, menatap satu titik kosong dengan malas, dan beranjak ke kamar mandi.

Masa depan bukanlah seperti yang kalian duga (kalau kalian pembaca dari masa lalu... yah, sebut saja, tahun di mana punya iPhone 6 menjadi komoditas gokil bagi para siswi SMA untuk dipamerkan setelah mencak-mencak pada kedua orang tuanya yang pegawai biasa. Coba tebak, iPhone 6 sekarang jadi ganjalan kulkas. Android berkuasa, hail Android... bukan hail hydra). Mandi, masih nikmat dengan kucuran air. Kami juga tidak bereproduksi dengan bayi tabung, tak kenal orang tua satu sama lain... kami masih manusia-manusia normal yang menikah karena suka dan mandi karena suka. Justru semakin sibuk dan cepatnya dunia ini, kami masih butuh bereproduksi dan quality time dengan pasangan, serta merasakan kucuran shower manusiawi dan bukan sucker yang bisa menghisap semua kotoran dan kuman dalam dua detik seperti ide-ide gila dari jaman kalian, wahai pembaca yang mungkin saja dari masa lalu.

Setelah mandi, aku memakai jubah putih di balik kemeja hitam dan celana jinsku. Sudah saatnya pergi ke negara yang sekitar tahun 2010-an dinyanyikan oleh band dengan celana ketat. Oh ya ampun, old style banget aku ini. Aku saja lahir tahun 2016.

Stasiun nampak ramai dengan orang-orang dari berbagai profesi dan berbagai jenis pakaian. Di kota Jakarta yang ramai dengan pebisnis, aku nampak misplaced dengan jas putihku. Pekerjaan ilmuwan tidak selangka dulu, namun sedikit ilmuwan yang bertahan di Indonesia, apalagi Jakarta. Banyak ilmuwan yang dikirim ke daerah-daerah untuk meratakan kemajuan Indonesia. Jakarta sudah cukup keren, sudah saatnya daerah lain bersinar.

"Hoi, Ren. Gue otw London." Aku mematikan tombol pesan suara barusan dan mengirimnya pada Reno, cowok kampret berlabel sahabat yang tadi menganggu tidur indahku. Voice note tetap eksis, dan aku mencintainya. Jadi semua yang video-videoan itu tidak selamannya keren, apalagi untuk introvert seperti aku.

Kereta cepat yang hanya terbuat dari kaca anti peluru dengan penahan gesekan yang dibuat sedemikian rupa dengan waktu yang sangat singkat. Satu jam antar benua, dua menit antar kota. Aku memegang tiket London milikku dan memberikannya pada petugas di depan pintu.

Waktu terasa sangat singkat. Aku disambut oleh negara paling polite sedunia, rumah bagi Harry Potter—tuh kan, lagi-lagi aku old style.

"Hoy! Sini lo!" Reno mengacak-acak rambutku. "Ayo, kita mulai sekarang aja!"

Aku yang terkenal datar dan benci polite greetings pada orang yang sudah lebih dari asing, langsung menembak Reno di tempat. "Berapa persen kemajuannya?"

GenreFest: Sci-FiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang