BL17

1K 45 2
                                    

Dua lelaki dewasa itu bersipandang dalam diam, satunya memberi senyuman sinis, satunya lagi menaikkan sebelah alis tanda tidak peduli dan malas menanggapi. Dan untuk kelakuan mereka pagi ini, membuat wanita mungil itu mendengus sebal. Kelakuan Leon yang kekanakan, dan sifat santai Ali. Oh, Prilly cukup pusing beberapa hari ini karena dua lelaki itu. Leon selalu saja mencari kesempatan untuk mengerjai Ali, atau setidaknya menendang bokong Ali pagi-pagi hingga tercebur ke dalam kolam renang. Untung bukan kolam buaya.
"Makan tuh sarapan, jangan main pelotottan aja kayak gak pernah liat mangsa cakep!" Leon berdecih dan meraih piring nasi gorengnya.

"Eh mau ke mana?."

"Mau ke bogor, sarapan." Leon melimbai pergi setelah membuat Prilly menahan kesal setengah mati. Ali hanya tersenyum sembari memakan sarapannya, rasa nasi goreng buatan Prilly yang selalu memanjakan lidahnya.

"Minum susu apa teh hangat?"

"Air putih aja. Kamu udah minum susu ibu hamil? Jangan lupa ya Prill, anak kita butuh asupan." Prilly merekahkan senyumnya. Ia mengangguk meletakkan segelas air putih untuk Ali.
Tengah asik keduanya menikmati moment sarapan mereka, suara bel yang meraung-raung membuat keduanya saling pandang. "Biar aku aja." kata Ali mencegah istrinya yang sudah hendak berdiri.

Prilly melanjutkan makannya menikmati buah-buahan dan sesendok nasi putih dengan lauk telur rebus, ia menghela nafas merasakan tulang belakangnya yang kembali nyeri. Prilly meneguk air putih, ia meringis beberapa saat. Namun itu tidak berlangsung lama, nyeri di punggung itu secepat kilat beralih pada hatinya yang kini bagai tertancap belati. Matanya nanar, tangannya bergetar memegang sendoknya hingga jatuh berdentingan di lantai.

Dua orang itu adalah sumber dari kesakitan Prilly saat ini, dadanya serasa dihimpit batu besar, matanya memanas. Belati yang menghujam hatinya terasa ngilu dan menyayat, bagai sebuah torehan yang disayatkan secara perlahan.

"Lily!." Suara itu serak memanggil namanya, hendak mendekat namun Prilly mengacungkan tangannya di depan sebagai isyarat agar pria paruh baya itu berhenti. Prilly melihat dengan jelas dalam sorot mata itu, sarat oleh kesakitan dan juga rindu. Tapi ia tak peduli, baginya itu sebuah kepalsuan. "STOPPPP!!!." Prilly berteriak, nafasnya memburu, rongga dadanya kembali sesak. Ia tersengal karena kesulitan meraup oksigen yang makin menipis disekitarnya.

"Papa rindu nak." suara pria itu kembali bergetar menyiratkan betapa terlukanya dia, namun lagi-lagi Prilly menghujam tatapannya. Ia hendak berdiri, namun karena tubuhnya yang bergetar ia hampir terjatuh, namun Ali sigap menahannya. Papa Prilly juga panik mencoba menolong sang Putri yang sangat ia rindukan itu, tapi Prilly menatapnya bagai harimau garang akan sebuah dendam. Orang tua itu menghela nafas berat, ingin sekali ia berlari untuk mendekap Prilly, mengelus rambutnya dan memberikan kecupan sayang di kening. Namun ia tak mampu berbuat saat tatapan tajam penuh kebencian itu menghujam hulu hatinya, menciptakan rasa sakit yang tak kalah ngerinya sama seperti saat ia kehilangan Prilly belasan tahun lalu. Ia tersenyum walau dalam rasa sakit itu, mengungkapkan kerinduannya lewat sang air mata yang mengalir dari sudut matanya yang nampak keriput oleh usia.

Menanggung dosa dan rindu selama bertahun-tahun, membuat Papa tak mampu bergerak lagi. Ia merindukan Lily-nya, namun mereka tehalang oleh tempok pemisah yang transparan. Dan ia sendiri lah yang menciptakan tembok itu begitu kuat hingga ia sendiri tak mampu menembusnya.

Prilly tahu hari ini akan datang juga, tapi ia tidak siap dan tidak akan pernah siap. Melihat dua orang di hadapannya sama dengan mengulik luka yang tak pernah sembuh itu. Ia bergetar dalam pelukan Ali, meluapkan segala kesakitan yang di deritanya selama ini. "Lily, maafkan tante. Ini semua salah tante, nak." Wanita paruh baya yang sedari tadi hanya diam itu, kini mulai berucap, matanya merah oleh liquit bening juga. Ia sama seperti Papa Lily yang menanggung dosa, ia yang merusak semua ini hingga hancur dan terlalu jauh untuk diperbaiki lagi. Dengan gemetar ia berlutut di hadapan Prilly tanpa peduli seperti apa reaksi Prilly. Ia menangis, meraung penuh kesakitan, menumpahkan segala beban yang ditanggungnya selama ini. Ia menyesal, beribu kata maaf terucap dari bibirnya pada Prilly.

Leon hanya mampu berdiri di ambang pintu menyaksikan drama itu, ia berdecih dalam hati melihat semua kejadian. Tapi tetap saja Leon ingin semua ini cepat selesai, ia juga tidak sanggup melihat Prilly menanggung semuanya. "Maaf? Jika dengan kata maafmu itu bisa mengembalikan keluargaku yang utuh, maka tanpa perlu kamu bersujud pun aku akan memberikan maaf. Hanya sepatah kata, tapi bisa kah itu semua kembali?" Prilly tertawa sinis, dadanya bergemuruh. Ia tidak perduli akan wanita yang sudah bersujud itu. "Berdiri tante, jangan seperti ini, berdiri lah." pinta ALi dengan suara lemah, ia memang tidak tahu letak permasalahannya, hanya saja ia mengerti kalau ada yang tidak beres. Selama ini dia bahkan tidak tahu asal usul wanita dalam dekapannya itu. Dan ali menyesal karena sudah menutup mata akan kehidupan Prilly yang sebenarnya.

"Berdiri, Ma!." Leon mengangkat wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu, ia menopang Mamanya agar tidak terjatuh. Mamanya menolak keras agar tetap memohon pada Prilly, tapi Leon menahannya agar tetap berdiri. Rumit. Satu kata itulah yang Ali dengungkan dalam kepalanya.

"Pergi kalian, simpan saja kata maaf itu. Bagiku kalian sudah mati. PerGI!!. " jeritan Prilly berusaha Ali redamkan dengan dekapannya yang erat, mensugesti istriny itu agar tenang.

"Sama seperti yang kamu katakan Prill, kata maaf memang tidak akan mengembalikan keadaan, jadi percuma kamu menyimpan dendam itu. Berikan lah kata maaf, setidaknya itu mampu membuat Mama sama Papa memperbaiki diri. Mereka sudah menerima hukumannya Prill, berikanlah maaf buat orangtua kita ini, aku juga sakit hati. Tapi mau bagai mana lagi, semua sudah terjadi. seharunya kita bisa memperbaiki keadaan."

"Cukup LEON! Kamu tidak mengerti!" gigi Prilly bergemelutuk menahan geraman. "Aku mengerti. Sangat Prill. Maafkan mereka. Mereka adalah orang tua yang menghadirkan kita ke dunia ini."

"Aku tidak pernah mau di lahirkan dari lelaki tukang selingkuh!!" Prilly kembali meraung. Seluruh tenaganya hampir habis karena menangis sejak tadi.

Leon menghela nafas berat. "Mama sakit leukimia stadium akhir, ku harap di sisa usianya yang tak seberapa ini, berikanlah kata maaf itu. Ma, Pa, sebaiknya kalian pulang dulu." Leon menghela kedua orang tua itu meninggalkan Prilly yang menangis terisak dalam pelukan Ali. Mengalihkan pandangnnya dari tatapan dua orang tua itu sebelum mereka benar-benar pergi dari sana.

**

"Tante Hana itu Mamanya Leon, sahabat terbaik Mama dari masa kuliah hingga mereka sama-sama menikah. Tapi semua drama itu terungkap, mereka berselingkuh di belakang Mama. Duniaku berubah kelam, aku nggak tahan liat Mama yang kecewa dan terluka, mereka bercerai. Dan aku pergi dari rumah, tanpa tujuan. Terlunta-lunta bak seorang gelandangan, kalau nemu nasi ya makan, kalau nggak, cukup tidur aja biar laparnya gak kerasa." Prilly menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.

"Aku kerja, jadi tukang cuci piring di warung makan, cukup dengan bayaran sekali makan pagi dan malam. Aku berusaha buat bertahan hidup, makanya aku lama-lama ngebentuk karakter gadis matrealistis, ngegebet cowok berdompet tebal buat ku pacari, peduli setan dengan cinta. Bagiku waktu itu cinta adalah sebuah kebodohan yang akan mengecewakan, makanya aku pacaran gak pake hati, cuma pake logika bertahan hidup di tengah kekejaman dunia. Beberapa kali terusir dari kos karena gak sanggup bayar. Aku ketemu sama Veraya, dia baik, dia sering nasihatin." Ali menghapus air mata Prilly. Tangannya kembali membelai rambut Prilly yang berbaring dalam pangkuannya. Setelah kejadian tadi pagi, Ali mengajak Prilly untuk tetap tenang walau rasa penasaran di hati Ali membuncah.

Namun dengan lapang dada, Prilly bercerita tanpa Ali minta. Ia ingin ALi tahu kehidupannya di masa lalu agar tidak ada yang di tutupi lagi. "Nggak taunya aku malah terjebak sama pernikahan konyol yang perjanjiannya pun gak pernah tertulis di atas kertas apalagi bermatrai. Dari situ aku malah terjebak perasaan asing yang awalnya aku ngga mengerti, aku merasa nyaman dekat kamu, aku cemburu pas kamu sama Arumi, aku emosi sampai lari ke klub. Dan semuanya berawal dari malam itu," Prilly menghela nafas, ia menengadah membelai wajah Ali. "Aku cinta kamu. Aku harap kamu nggak negecewain aku kayak Papa. Kamu gak mau kan liat anak kita nantinya menderita atas kelakuan bodoh orang--"

"Ssstttt, nggak usah di bahas. Aku cuma nggak bisa bayangin aja kamu ngelewati masa sulit itu sendirian, maafin aku yang selama ini egois ya." Ali mengusap perut Prilly yang baru menampakan tonjolan kecil, mengusapnya perlahan. Hati mereka bergetar membayangkan kehidupan mereka ke depannya, tapi mereka tak akan banyak berharap karena takut sebuah kekecewaan itu kembali menyapa.

"Sekarang kamu tidur, ya udah malam." Ali memindahkan kepala Prilly ke atas bantal, mengambil guling dan menarik selimut untuk mereka berdua. Seperkian menit sebelum kegelapan menyedot mereka, keduanya hanya melempar senyum dalam diam.

***

Stop aja nih ya kayaknya, aku harus banyak belajar lagi biar banyak peminat. Ini spertinya belum layak baca

Because Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang