BL15

1.3K 44 11
                                    

Tak peduli seberapa jauh aku berlari, tak peduli seberapa banyak titik peluhku tumpah ruah bersama keletihan, yang ku tau aku tidak akan berbalik hanya untuk sebuah ketidak pastian. Aku disini akan melepas kenangan, mengukir lembaran baru untuk masa depan. Bersama dia yang telah mengisi hariku.

Arumi masih juga asik menikmati caramel machiato miliknya, tampak acuh pada Ali yang bahkan sejak tadi sudah gugup dan salah tingkah. Bukan apa-apa, sebagaimana dia harus mengungkap 'kan hal ini, dia takut kalau Arumi akan berubah dan bersikap licik demi sebuah ambisi untuk memilikinya. Katakan saja Ali geer akan hal itu, tapi kekhawatirannya sangat wajar andai itu terjadi. Takutnya Arumi akan sakit hati dan melampiaskan seluruh kemarahannya pada Prilly, dan Ali tidak mau sesuatu yang buruk menimpa Prilly dan calon anak mereka. Ali tidak bisa melihat hal itu terjadi, mereka denyut nadi Ali sekarang. Jika kemarin-kemarin dia belum menyadari satu hal, maka kemarin lagi dia sudah menyadarinya, menyadari kalau perasaan itu sudah ada semenjak seringnya kebersamaan ia dan prilly. Bodohnya Ali baru menyadari itu sekarang, setelah ia menghujam sembilu pada hati Prilly. Dan dia, Ali baru tersadar kalau dia sudah mencintai Prilly!

"Coklatnya dingin tuh." Arumi menarik ali dari dunianya itu. Pandangannya berubah serius melihat Arumi.

"Arum, aku nggak tau harus mulai dari mana." Ali menarik nafas sejenak demi mengatur perasaannya yang sedikit deg-degan. "Aku rasa, hubungan kita tidak bisa di lanjutkan lagi," putus Ali akhirnya.

"Uhuukk!!" Arumi langsung tersedak mendengar kalimat Ali. Dengan sigap pria itu memberikan segelas air putih hingga Arumi menandaskan air itu tanpa sisa. Setelah agak tenang, Arumi menatap Ali dengan penuh tanya, mencari keseriusan di mata Ali yang nyatanya tidak ada sebuah guyonan disana. "Karena apa?," suara Arumi serak bergetar, ia ketakutan akan segala pikiran buruk yang melintas di otaknya. Dia tau hari ini akan tiba juga, hari dimana Ali akan mengetahui semuanya dan meninggalkannya dengan kehampaan. Arumi berkaca-kaca sembari meraih tangan ali.

"Prilly hamil." Ali berucap pelan.

"Aku tau." Ali langsung mendongak mendengarnya. Mata Arumi sudah berkabut, senyumnya getir menghias bibir. "Aku udah tau kalau Prilly hamil. Aku tau waktu dia pingsan, aku minta maaf atas kelicikanku ini, Li. Aku tau kalau sewaktu-waktu kamu akan meninggalkan aku untuk mereka. Aku nggak sanggup kehilangan kamu, Li." Arumi tergugu dalam tangisnya, tangan mereka masih saling bertaut demi mencari sebuah pegangan dalam kefanaan. Ali merasa tidak akan menjelaskan lebih panjang lagi, karena Arumi sudah memiliki jawaban dari semua kalimat yang akan ia lontarkan berikutnya. Ali hanya menggeram kecil karena Arumi sudah membohonginya perihal kehamilan Prilly.

"Ku rasa tidak ada banyak kata lagi, kamu sudah mengerti. Kita tidak mungkin kembali seperti dulu, mengulang kisah lama yang sekarang tidak akan bisa kembali. AKu hidup di masa sekarang, kalau kamu memang mencintaiku, tidak mungkin di masa lalu kamu meninggalkan ku hanya untuk sebuah alasan yang tidak masuk akal." Arumi hanya mengangguk lemah, air matanya berderai tanpa bisa di tahan. Dengan perasaan yang masih bercampur aduk, Arumi meminta Ali untuk memeluknya sesaat. Demi sebuah rasa yang masih besar ia miliki, demi belajar mengikhlaskan Ali untuk kehidupan nyatanya.

Setelah pertemuannya dengan Arumi, Ali melajukan mobilnya menuju rumah kediaman sang Mama, dia harus memberitahu Mamanya soal kehamilan Prilly. Ali tidak sabar ingin memberitahukan kabar bahagia ini, Mamanya pasti sangat senang setelah sekian lama penantian mereka.

Maya tengah duduk di taman belakang rumah bersama kedua adiknya ketika ia tiba di sana. Ketiganya menyambut Ali dengan girang karena lelaki itu memang cukup lama tidak berkunjung. "Abang kok gak bawa kak Prilly sih? Ih nggak asik ini mah, nyebelin deh!." Fitri memanyunkan bibirnya saat tahu kalau Abangnya hanya datang sendirian. "Kenapa Prilly nggak ikut, Li?." Maya meneliti wajah anaknya yang terlihat seperti mengulum senyum. Ketiganya lantas duduk pada tikar yang terhampar di atas rerumputan hijau itu.

Because Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang