CHAPTER FIVE

398 27 14
                                    

"Dani, tunggu!"

Aku berlari menerobos keramaian dan berusaha mengejarnya. Kalau tidak salah, jalan ini mengarah ke belakang gedung apartemenku. Kami sering menghabiskan malam di bawah hamparan bintang sambil bernyanyi. Ehm, aku yang bernyanyi, dia yang bermain gitar. Bisa kalian bayangkan bagaimana reaksiku ketika mendengar suara merdunya itu.

Jalan beraspal kini berganti menjadi jalan berbatu kerikil dan berpasir. Karena hujan, maka tanah di kiri dan kanan jalan berubah basah dan licin. Beberapa kali aku nyaris terjatuh, dan sebelah sepatu flat-ku sudah terlepas entah dimana. Rasa sakit akibat menginjak tajamnya bebatuan yang mengenai telapak kakiku kalah oleh kepanikan luar biasa yang berkecamuk dalam batinku.

Itu dia! Masih melangkah lebar-lebar menuju bangku kayu, Dani tidak mempedulikan teriakanku sama sekali. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas bangku dan menghirup napasnya dalam-dalam.

Aku tidak mengalihkan pandanganku sedikit pun darinya, alih-alih memperhatikan jalan di depanku. Dan bisa ditebak, aku tersandung dan jatuh berlutut. Untung saja tangan kananku sigap menahan berat badanku sementara tangan yang satunya meraih ranting pohon yang menjulur ke bawah. Dani menoleh, ia bergeming tanpa ekspresi. Setengah menahan malu, aku berdiri dan mengibas mini dress hitamku yang terkena lumpur, kemudian berjalan mendekatinya.

"Apa kau akan percaya jika aku mengatakan ini semua tidak seperti dugaanmu?"

Aku memberanikan diri duduk di ujung bangku, tetap menjaga jarak.

"Marc menjemputku tadi sore, dia memaksaku untuk menemaninya makan malam. Aku tidak tahu kalau dia punya niat lain. Selama ini dia memang mencoba mendekatiku, tapi aku tidak pernah menganggapnya lebih daripada seorang sahabat."

Aku meringis ketika pergelangan kakiku mengirimkan sinyal yang tidak beres.

"Jadi ini hanya kesalah pahaman? Kau kira aku akan percaya? Aku lelah, akhiri saja sandiwara yang kau buat. Aku bukan boneka yang bisa kau permainkan, Adel."

"Apa maksudmu bicara begitu?" tanyaku tidak mengerti.

Hujan mulai reda dan menyisakan angin yang berhembus kencang, menerbangkan helaian rambutku yang tidak diikat.

"Kau merawatku di rumah sakit waktu itu karena kau tidak ingin berhutang padaku, bukan? Kau mempertaruhkan nyawamu demi membantuku agar bisa kembali berjalan, kuakui aku sempat berpikir yang Marc katakan itu salah. Namun kejadian yang aku lihat tadi sudah cukup menjelaskan semuanya, dan itu membuat mataku terbuka bahwa Marc merupakan laki-laki yang pantas untuk bersanding denganmu."

Aku tertawa pelan. "Baiklah, aku memang tidak tahu apa yang telah dikatakan Marc padamu, tapi sekarang aku paham. Marc sedang memanfaatkan situasi di antara kita dan dia selalu mengambil celah sekecil apa pun itu."

"Aku yakin Marc pasti akan menemuimu," lanjutku lagi. "Bilang padanya, dia berhasil menghancurkan hubungan kita. Dia berhasil menghancurkan segalanya, tapi dia menyisakan sesuatu yang tidak akan pernah bisa disentuhnya. Hatiku yang sampai kapan pun akan tetap menjadi milikmu."

Sembari menghapus air mataku dengan punggung tangan, aku beranjak dari bangku kayu dan menyeret kakiku selangkah demi selangkah. Baru kusadari kalau pergelangan kakiku terkilir.

"Adel," Dani memanggilku.

Jawab, tidak. Jawab, tidak. Menyampingkan ego demi menyelamatkan hubungan kami? Mengapa aku yang harus mengalah lagi? Jawab, tidak. Jawab, tidak. Coba sekali lagi, Adel. Mungkin ini bisa memperbaiki keadaan.

"Iya," jawabku pada akhirnya.

Dani berjalan menghampiriku dan merengkuh kedua pipiku. "Beritahu aku, bagaimana caranya supaya aku pantas untuk dimaafkan."

Waiting for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang