CHAPTER ONE

785 43 14
                                    

Semua usahaku untuk berbicara padanya sia-sia belaka. Gemetaran ditambah gigi yang bergemeletukan, aku sudah bersiap-siap menghadapi datangnya mobil itu ke arahku.

Aku melihatnya. Sorot matanya menunjukkan kalau ia sedang berkutat dengan pikirannya--mencari langkah yang paling tepat untuk diambilnya sekarang.

Apakah dia akan berusaha menyelamatkanku? Memelukku dan meminta maaf atas semua ide konyolnya itu? Aku sendiri memang tidak berani berharap karena kemungkinannya sangat kecil.

Mobil itu melaju kencang. Suara decitan ban yang terdengar dan bunyi klakson yang menggema di sepanjang jalan raya memecah keheningan malam. Saat itulah, aku merasakan seluruh tubuhku seperti menghantam sesuatu.

***

Aku masih ingat dimana kami bertemu untuk pertama kalinya--di sirkuit ini, di sebuah tempat bernama Valencia yang sarat akan kenangan bersejarah.

Mengenakan kemeja Honda berwarna putih, laki-laki itu memang selalu tampak sempurna. Pahatan wajahnya nyaris tanpa cela, alis tebal yang membingkai mata jernihnya dan senyuman manis dengan tatapan hangatnya mampu membunuh siapa saja yang terhipnotis olehnya.

Dialah Dani Pedrosa, yang kini menjadi pacarku sejak tiga tahun yang lalu.

Di sebelah kirinya, seorang laki-laki berpakaian mirip dengan Dani--yang membedakan hanyalah kemejanya yang berwarna hitam--terlihat sibuk memandangi layar ponselnya. Memiliki kharisma dan daya tarik yang begitu memikat, tidak heran kalau Marc Marquez termasuk dalam kategori suami idaman bagi para gadis-gadis muda di luar sana.

Sementara di sebelah kanannya, laki-laki dengan anugerah ketampanan melebihi malaikat itu tertawa lebar, memamerkan giginya yang berderet rapih. Ia tidak kalah sempurna bila dibandingkan Dani dan Marc.

Namun bagiku, Jorge Lorenzo akan tetap sama--seseorang yang penuh perhatian dan kadang bersikap kekanak-kanakkan. Tapi itulah yang aku sukai darinya.

Kali ini, aku kembali menginjakkan kaki di sirkuit Valencia setelah tahun lalu tidak bisa menemani Dani karena pekerjaanku yang menumpuk. Aku menarik napas melalui hidung, menikmati suasana senja di pinggir sirkuit.

"Adel, kenapa kau menunggu di luar?" tanya Dani, sempat membuatku terkejut.

"Aku bosan di dalam paddock, jadi aku jalan-jalan sebentar untuk melihat matahari terbenam."

"Anginnya kencang sekali. Lebih baik kita pulang sekarang sebelum kau terkena flu," Dani menggumam pelan.

Ia melepas jaketnya, kemudian memakaikannya padaku, dan menggandeng tanganku menuju tempat parkir mobil. Aku menatapnya sekilas dan mendapati adanya sesuatu yang tidak beres. Benar saja, ia melamun dan hampir menabrak Marc yang lewat di depannya.

"Apa kalian mau pergi berkencan malam ini?"

Dani menaikkan kedua alisnya. "Begitulah."

"Kurasa tidak," tukasku cepat. "Dani akan segera kembali ke hotel setelah mengantarkan aku pulang."

Ia pasrah saja ketika aku menarik lengannya dan beranjak menjauhi Marc. Akhir-akhir ini, aku rasa ada sesuatu yang salah dari cara mereka bertatap muka. Aku tidak mau mempunyai pikiran buruk bahwa Dani dan Marc akhirnya memutuskan untuk bersaing secara terbuka.

Aku duduk di balik kemudi, memasang sabuk pengaman dan mulai menyalakan mesin mobil. Dani mengernyit heran, ia hanya terdiam selama perjalanan menuju bistro Italia di dekat hotel.

"Jadi, kau mau menceritakan padaku apa masalahmu atau kau mau aku tinggal disini sementara aku makan?"

Akhirnya aku bersuara juga. Mobil sudah terparkir di halaman depan yang memang disediakan untuk tempat parkir kendaraan.

Dani tidak menjawab. Ia malah merengkuh pipiku dan mencium bibirku dengan lembut. Ia terus melakukannya tanpa henti, seolah kita akan berpisah dan tidak bisa bertemu dalam waktu yang lama. Aku meremas pelan tangannya dan menarik wajahku dari rengkuhannya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku hari ini, tetapi perasaanku tiba-tiba saja menjadi sangat kacau. Sepertinya ini karena aku terlalu gugup untuk balapan besok, iya 'kan?" tanya Dani, lebih kepada dirinya sendiri.

Ia menggelengkan kepala dan berujar, "Lupakanlah. Ayo kita makan, aku sudah lapar."

"Baiklah. Aku mengerti, paling tidak kau tahu bagaimana rasanya merana sepanjang hari. Ini yang sering aku alami," kataku sambil tersenyum lebar.

"Merana?"

"Iya."

"Maksudmu?"

Aku melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. "Tidak tahu apa yang kita rasakan, tidak tahu cara mengatasinya, dan yang kita butuhkan hanyalah pelukan dari orang yang kita sayangi--atau dalam kasusmu, ciuman."

Senyumku rupanya menular juga. Dani mengacak-acak rambutku. Aku melotot ke arahnya dan ia masih saja melakukan kebiasaannya yang paling menyebalkan. Susah payah aku menyisir rambutku supaya terlihat rapih dan Dani seenaknya saja merusaknya dalam hitungan detik.

Namun aku tidak pernah menduga, kalau hal itulah yang paling aku rindukan...

Waiting for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang