CHAPTER FOUR

292 27 9
                                    

Dani POV.

"Kau tidak memikirkan masa depannya? Apa kau pikir dia tidak terbebani dengan kondisimu seperti sekarang ini?" Marc memandangiku dari ujung kepala sampai telapak kaki, menyiratkan betapa menyedihkannya keadaanku yang dulu merupakan saingan terberatnya.

Aku terdiam, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Marc.

"Dia memang tidak akan mengeluh, karena yang dia lakukan semata-mata untuk membalas semua kebaikanmu padanya. Dia tidak ingin berhutang jika suatu saat dia harus meninggalkanmu. Kau sadar bahwa dia berhak mendapatkan yang jauh lebih baik?"

Marc berdeham pelan. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku, kemudian berbisik. "Kau cacat, Dani. Aku tidak bermaksud menghinamu, tapi kau tidak pantas bersanding dengannya."

Aku mengepalkan tangan hingga buku-buku jariku memutih. Sungguh, aku ingin menghajar Marc jika laki-laki itu berani menyentuh Adel. Semua yang dikatakan Marc memang tidak sepenuhnya benar, aku yakin itu, tapi... satu kenyataan pahit yang ada di depan mataku tidak bisa dilawan. Aku cacat. Seberapa keras aku mencoba membuat Adel bahagia, pada akhirnya aku hanya akan mempermalukan gadis itu.

"Kalau kau benar-benar mencintainya, biarkan dia menemukan seseorang yang jauh lebih baik darimu. Aku tahu kau bukanlah tipe laki-laki egois yang mementingkan dirimu sendiri. Jadi, kau pasti bisa memilih yang terbaik untuknya."

Marc melenggang ke arah pintu dan keluar dari ruang kamarku. Sementara batinku masih bergumul, Adel masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Entah apa yang terbersit di benakku saat itu, aku langsung menghardiknya hingga ia membatu di tempat.

"Pergi!"

Detik itu juga aku menyesali keputusan bodohku.

"Kau... kenapa?" tanya Adel, berjalan menghampiriku.

"Kau tidak dengar? Kubilang pergi! Aku tidak mau diganggu!" Aku menepis tangannya. Aku membalikkan tubuhku menghadap jendela dan menarik selimut sampai batas leher.

"Kalau kau ingin beristirahat 'kan kau bisa mengatakannya padaku. Kau menakutiku, tahu?" kata Adel, sedikit gemetar.

"Pergi, dan jangan pernah temui aku. Aku muak, Adel. Aku tidak mau melihatmu lagi," desisku penuh amarah.

Selanjutnya, keadaan menjadi hening. Lamat-lamat terdengar suara pintu tertutup yang seakan menyadarkanku bahwa Adel telah pergi. Aku harus mengejarnya sekarang atau tidak sama sekali. Begitu aku menggerakkan kakiku, aku tahu aku sudah melakukan hal yang tepat. Dengan begini, Adel tidak akan merasa tertekan dan ia akan mendapatkan yang lebih sempurna dariku.

Kini aku tidak pernah menyesalinya, bahkan aku tidak merasa kedatanganku ke Barcelona berakhir sia-sia. Setidaknya aku bisa melihat gadis itu baik-baik saja. Namun secercah rasa penasaran masih terselip, mengapa Adel mempertaruhkan nyawanya saat itu bila ia tidak berniat meneruskan hubungannya denganku.

Pemandangan yang tersaji di depan mataku sangat jelas. Di tengah guyuran hujan yang perlahan semakin deras, Marc menyodorkan cincin perak yang berkilauan diterpa sinar lampu, menunggu gadis itu akan mengatakan ya, aku bersedia padanya, lalu mereka akan hidup bahagia selamanya.

Ketika aku hendak beranjak dari situ, gadis itu mengangkat kepalanya dan mata kami saling bertatapan. Ekspresi terkejut tampak tercetak jelas di wajahnya. Aku menyunggingkan seulas senyum sebelum memutar badanku dan berjalan menjauhi keramaian orang-orang yang sedang menyaksikan prosesi lamaran atau apalah itu, aku tidak mau tahu.

Kemana langkah kaki akan membawaku, aku akan mengikutinya. Karena aku tidak tahu arah tujuanku saat ini.

*

Author POV.

Suasana di bistro bertema Portugal klasik ini tidak terlalu ramai. Mungkin karena cuaca sedang tidak bersahabat. Angin yang bertiup kencang menandakan hujan badai akan turun sebentar lagi. Hanya ada beberapa meja yang terisi di ruangan ini.

Dengan malas, aku menyeruput sesendok sup yang masih panas. Sebenarnya rencanaku sepulang kerja adalah bermalas-malasan di kamarku sambil menonton film yang dipinjamkan Alicia. Namun semuanya buyar ketika Marc datang menjemputku dan memaksaku untuk menemaninya makan malam.

Aku hanya memesan semangkuk sup jagung dan secangkir teh hijau, sementara Marc memesan sepiring besar pasta dan segelas wine.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Marc.

Aku menghela napas. "Sejak aku bersamamu satu setengah jam yang lalu, kau baru menanyakan kabarku sekarang?"

Marc tampak salah tingkah. "Eh, maaf... Kalau kau tidak keberatan, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?"

"Bertanya apa?"

"Aku hanya bertanya, tapi kau janji jangan tersinggung ya," ujar Marc lagi.

"Iya, Marc. Kau ingin menanyakan apa?" Aku mulai gemas, tinggal bicara saja apa susahnya sih?

"Apa kau masih menjalin hubungan dengan Dani?" tanya Marc hati-hati.

Aku tergelak, tidak tahu akan kujawab apa pertanyaan Marc yang satu ini. "Ha! Menurutmu?"

Marc mengernyitkan alisnya dan berpikir sejenak. "Hm, kurasa tidak."

Suasana mendadak canggung, Kami terdiam sampai Marc mengeluarkan sesuatu dari balik jas hitam pas tubuh yang mempermanis penampilannya malam ini. Sebuah kotak berwarna biru gelap berhiaskan grafiti inisial namaku. Aku terperangah.

"Itu..."

"Aku sudah jatuh cinta padamu sejak lama, Adel. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi aku jauh lebih sempurna untuk menjadi pendamping hidupmu. Aku bisa membahagiakanmu, dan aku bisa memberikanmu apa saja."

Mataku terpejam sejenak, mencari kalimat penolakan yang tepat agar tidak menyakiti hatinya. Biar bagaimana pun juga, aku tidak ingin memutuskan tali pertemanan kami.

"Maaf, Marc. Aku tidak bisa," ujarku seraya bangkit berdiri dari kursi. Aku mengenakan mantelku dan segera pergi meninggalkan Marc.

Namun Marc mengejarku dan menarik lenganku sebelum aku sempat memanggil taksi. Ia kembali menyodorkan kotak berisi cincin itu sembari meyakinkan diriku berulang kali. "Aku sudah menantikan saat-saat seperti ini, tidak bisakah kau memberikan jawaban secepatnya? Apalagi yang kau ragukan? Aku lebih baik dari Dani, Adel. Laki-laki itu bahkan tidak mampu berdiri dari tempat tidurnya..."

"Dani..." ucapku dengan bibir bergetar pelan. Aku tidak menyangka dia akan muncul di waktu yang tidak tepat, bahkan waktu terburuk sepanjang hidupku.

Aku berharap dia akan datang menghampiriku dan memelukku erat sambil memamerkan pada puluhan pasang mata yang sedang menatap kami, bahwa dia sangat mencintaiku. Namun ternyata harapan tinggalah harapan, dia tersenyum dengan pandangan terluka dan berbalik menjauhiku. Dia melangkah lebar-lebar, menghilangkan dirinya di antara kerumunan manusia yang memadati tempat ini.

"Dani, tunggu!"

Aku mengejarnya tanpa peduli tubuhku yang basah kuyup terkena air hujan. Bagiku, yang terpenting sekarang adalah bertemu dengannya. Sesederhana itu.

Waiting for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang