WEDDING CHAPTER

95 3 3
                                    

Aku mematut diriku di depan cermin sekali lagi, memastikan tidak ada yang terlewat dari atas kepala sampai ke ujung kakiku. Hari ini adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku, dan aku tidak ingin kesalahan sekecil apapun merusak semuanya.

Rambut hitamku yang biasanya tergerai kini tersanggul rapih, menambah anggun penampilanku yang mengenakan gaun putih gading pas tubuh berekor panjang ini. Riasan wajah yang terkesan natural juga menambah rasa percaya diriku untuk dapat bersanding bersamanya di atas altar nanti.

Kuakui, tidak mudah menyaingi ketampanannya dalam balutan kemeja putih yang dipadukan dengan jas biru gelap, serta dasi yang berwarna senada. Ia terlihat amat sempurna--dan ia memang selalu tampak sempurna di mataku--tanpa cela.

Mengingat persiapan pernikahan kami yang terbilang singkat, aku merasa sangat beruntung karena sejauh ini segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Kalau tidak salah kami hanya memiliki waktu satu bulan begitu kembali ke Barcelona setelah meminta restu Casey dan Adriana.

"Berapa lama lagi kau akan berdiri disana?" tanya Laura sambil membawa hiasan rambutku.

Ia memakaikan jepit sisir bertaburkan batu-batu kecil berkilauan itu, kemudian meletakkan sepasang sepatu hak tinggi di hadapanku.

"Kau benar-benar luar biasa, Adel!" pekik Laura puas, kagum dengan hasil karyanya sendiri.

"Sungguh?"

"Kapan aku berani berbohong padamu?" Laura balas bertanya.

Aku dan Laura saling menatap, lalu tergelak menertawakan satu sama lain. Namun sebuah suara berdeham di ambang pintu tiba-tiba saja mengubah suasana menjadi sunyi senyap.

"Kau sudah siap?"

Raut wajahku berubah serius. Sembari menarik napas aku mengangguk, berjalan menghampiri Casey dan mengamit lengannya.

"Sedikit gugup, tapi aku lebih dari siap Dad."

Casey tersenyum. "Kalau begitu Dad tidak perlu mencemaskanmu lagi, karena kau telah menemukan pria yang tepat untuk menjadi pendamping hidupmu."

"Benarkah? Dad juga berpikir seperti itu?"

Casey menggenggam erat tanganku. "Kau bahkan tidak tampak sebahagia ini saat pertama kali Dad dan Mom mengajakmu ke taman bermain. Kau sudah beranjak dewasa, nak."

"Dad..."

"Adel, sebentar lagi!" seruan Kelly terdengar cukup keras dari ruang tamu.

"Dad, terimakasih atas semuanya. Aku sangat mencintaimu, sangat!" ujarku seraya memeluk Casey.

"Aku juga sangat mencintaimu, gadis kecilku. Ingatlah bahwa pintu rumah kami akan selalu terbuka bagimu."

"Adel!" seru Kelly lagi. "Kau bisa keluar sekarang!"

Sayup-sayup alunan musik mulai terdengar, mengiringi setiap langkahku untuk menapaki lembaran baru yang telah menjadi impianku sejak dulu.

Begitu melewati pintu kaca berhiaskan tanaman rambat, pandanganku segera menyapu ke seluruh bagian halaman depan yang kini dipenuhi oleh para tamu undangan. Sambil berjalan perlahan menyusuri kelopak-kelopak bunga yang disebar di atas rerumputan hijau, aku menyapa mereka dengan seulas senyuman manis.

Sementara aku mempercepat langkah kakiku yang semakin mendekati altar, rasa gugup yang entah darimana datangnya kembali menyergapku. Pikiranku tiba-tiba saja berubah kacau dan...

Dalam hitungan detik, uluran tangannya mampu meredam kepanikan luar biasa yang sempat melemahkanku.

"Jaga putriku baik-baik, aku yakin kau adalah pria bertanggungjawab yang bisa membahagiakannya," ujar Casey seraya menyerahkan tanganku.

"Pasti. Dad, terimakasih untuk segalanya yang telah kau berikan pada kami," Dani meraih tanganku dan menggenggamnya jauh lebih erat lagi.

Kemudian ia membantuku menaiki tiga undakan kecil, dan sekarang, kami benar-benar berada di atas altar.

Sejurus kemudian, semua kejadian-kejadian berkesan bagiku yang pernah terjadi di antara kita mulai terbayang layaknya rekaman video yang diputar ulang.

Diawali dengan pertemuan pertama kami di Valencia, lalu masa-masa yang merupakan titik terberat dalam hidupku--saat Dani harus mengalami kecelakaan cukup fatal sepanjang karirnya, sampai detik ini kami bisa berdiri disini.

Aku lebih sibuk memikirkan hal ini dan itu, hingga tanpa disadari Dani sudah memutar tubuhku secara perlahan hingga kami saling berhadapan.

Waktunya untuk mengucapkan janji suci pernikahan. Dan aku kembali gelisah.

Seperti biasanya, Dani selalu bersikap tenang. Ia mampu mengatakan semua kalimat dengan jelas dan penuh kelembutan, seolah ia amat sangat meresapi setiap kata-katanya. Sorot mata teduhnya pelan-pelan mampu melenyapkan seluruh rasa gugup yang mengaduk-aduk isi perutku.

Aku bahkan sempat menyunggingkan senyum lagi sebelum memasuki bagian akhir dari kalimatku yang aku tambahkan sendiri.

"Apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintaimu sampai maut memisahkan kita. Setelah maut memisahkan kita pun, kau akan tetap menjadi satu-satunya pasangan dalam hidupku yang pernah aku cintai sebesar ini. Karena sejatinya bahagiaku hanyalah bersamamu, selamanya."

Riuh tepuk tangan para tamu undangan menyeruak. Ia menyematkan cincin di jari manisku, dan aku juga melakukan hal yang sama padanya. Lalu sebelah tangannya merengkuh wajahku, sedangkan tangan yang satunya lagi mendorong tubuhku agar lebih mendekat ke arahnya, dan... aku merasakan kadar oksigen di sekelilingku mulai menipis.

Entahlah.

Apapun itu, yang jelas aku tidak akan pernah melupakan segalanya tentang hari ini. Setiap hal yang terjadi akan menjadi bagian mengesankan dalam memoriku.

Aku harap, kebahagiaan ini akan terus menemani kami.

Selamanya...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Waiting for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang