1

138 6 2
                                    

Prakkk!!!

Lagi dan lagi foto yang terpajang di meja kecil yang berada di samping tempat tidurku jatuh. Mimpi itu (lagi). Untuk ke sekian kalinya dia mengganggu istirahat malamku setelah aku penat berada di ruang kerja memandangi layar laptop. Seperti sebuah hal yang terjadi dengan sengaja dan secara berulang-ulang. Apa aku harus selalu mengalaminya?

Setiap malam setelah mimpi itu datang, aku selalu terjaga dibuatnya. Untuk saat ini telah ada perubahan baik pada diriku, aku tak lagi menangis setiap kali dihantui mimpi itu. Entah kenapa perasaan itu selalu menyiksa batinku. Untuk menjauhkannya, aku membutuhkan waktu bertahun-tahun dengan bertubi-tubi penyiksaan.

"El, mimpi lagi?" Tanya Mama yang datang menghampiriku setelah dia tahu ada yang menuruni tangga dengan sandal yang selalu diseret.

Aku mengangguk pelan. Air mineral mampu mendinginkan suasana hatiku yang bergejolak panas. Aku bersandar pada kursi goyang milik Papa. Mengingat jelas mimpi yang selalu berhasil membangunkanku.

"Mama jadi khawatir dengan keadaan kamu. Apa kamu gak turuti saja saran Papa untuk ke psikolog?"

"Entahlah. Aku belum siap, Ma."

"Tapi Mama sangat khawatir dengan kondisi kamu yang setiap tengah malam harus terbangun dan baru kembali tidur jam empat pagi. Apa kamu gak capek?" Mama mengusap lembut kepalaku. Hal yang selalu Mama lakukan ketika terjadi kecemasan padanya.

"Aku baik-baik saja, kok. Mama gak perlu khawatir." Ucapku memegang tangan Mama mencoba meyakinkannya.

"Mama temenin kamu tidur, ya?"

"Mama apa-apaan, sih? Aku bukan anak kecil lagi, Ma." Jawabku sambil tertawa kecil bergegas menyimpan gelas ke meja makan.

"Iya, deh. Mama antar kamu ke kamar boleh, kan?"

Aku tersenyum mengiyakan. Beginilah, seperti ini hidup yang kujalani. Dengan berbagai macam permasalahan hidup, hanya ada satu masalah yang bertahun-tahun tak pernah terselesaikan.

Hati.

***

Pagi. Pada mentari kutitipkan beberapa harapan dan keinginanku agar hari yang akan kujalani dapat berjalan baik. Menaruh beberapa puing masa lalu tanpa harus menatanya kembali, rasanya itu sulit kulakukan. Nyatanya, hingga detik ini puing-puing itu masih berkecambuk hinggap pada hatiku. Entahlah, harus berapa lama lagi aku menyimpannya.

"Bu, siang ini ada meeting dengan pemilik perusahaan lampu lampion yang datang dari China." Sekretarisku, Hana namanya, setia mengatur jadwalku setiap hari. Umurnya tiga tahun lebih tua dariku. Ya, aku masih berusia 23 tahun sedangkan dia sudah berusia 26 tahun.

"Iya. Terimakasih. Oh ya, Han. Tolong suruh pelayan yang baru mengantarkan kopi ke ruangan saya, ya?"

"Baik, Bu. Nanti saya sampaikan."

Begitulah. Hidup sebagai pewaris tunggal pasangan Susilo dan Vina. Setiap hari aku harus mengurus restoran yang berada di daerah Gronggong. Setelah menyelesaikan kuliah di Paris, aku sempat ragu untuk menjadi seorang pebisnis seperti Papa. Ini sama sekali bukan seperti yang aku inginkan. Dalam mimpiku hanya tertera sebuah sanggar. Ya, sanggar.

Sejak kecil aku sangat suka menari. Pernah terlintas dalam benakku bahwa aku ingin menjadi seorang penari. Entahlah, bakat itu lahir begitu saja. Pepatah bilang, kerang akan membuka dengan sendirinya ketika mutiara di dalamnya telah mulai bersinar. Begitu juga dengan manusia. Seseorang akan menunjukkan jati dirinya ketika kemampuannya mulai muncul ke khalayak.

Dulu, menari adalah caraku menghabiskan waktu luanh dan menyalurkan hobi. Tapi sekarang, waktuku hampir habis dengan segala urusan restoran. Menjadi anak tunggal memang ada senang dan susahnya. Lantas sebenarnya aku ingin menjadi apa? Diberi kebahagiaan seperti ini pun masih mengeluh? Maafkan aku, Tuhan.

Menata Puing HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang