9

13 0 1
                                    

"Jangan ingatkan lagi, Al." Ucapku sambil memalingkan wajah ke depan.

"Aku tidak mengingatkan. Kamu sendiri yang akan selalu mengingatnya, El. Kamu dan hatimu masih sama." Alfian bersikeras mengatakannya. Ya. Aku tahu. Aku tahu bahwa memang aku dan hatiku masih sama. Masih selalu mendebarkan namanya. Terlepas setelah dia menghancurkannya menjadi puing-puing. Debar itu hanya untuknya.

"Jadi kenapa kita bisa bertemu? Apa kamu sengaja?" Tanyaku sambil berusaha menatap kedua matanya yang selalu membuatku rindu.

"Kebetulan, El. Orang menamainya takdir." Dia memegang tanganku selama beberapa detik. Lantas aku melepaskannya.

"Jangan coba dekati aku sementara kamu masih..."

"Gaby?" Seolah dia tahu apa yang ada di dalam otakku, dia begitu saja melontarkan nama itu. Aku mengangguk pelan.

Aku menatap kedua matanya. Ada kebohongan sekaligus kecemasan terpancar dari matanya. Aku tahu. Aku tahu bahwa dia masih dengannya. Hanya soal waktu aku menangis lagi. Aku sendiri tidak tahu. Aku merindukannya. Dan sekarang aku bertemu dengannya. Lantas aku menangis di hadapannya. Lagi.

Ada kesakitan dalam hatiku yang tidak pernah bisa disembuhkan oleh orang lain. Entahlah. Aku merasa bahwa hanya dia yang mampu menata hatiku kembali. Namun cerita cintaku begitu rumit. Seperti pintalan benang. Aku menyayangkan itu.

Seketika aku mengingat kejadian itu lagi. Ketika dia memutuskan hubungan dengan alasan yang konyol. Setidaknya berikan aku alasan yang sebaik mungkin, karena dia pembual ulung.

"Sebulan setelah kita pacaran, kamu yang memutuskan hubungan kita."

"Aku tahu."

"Dengan alasan ingin fokus belajar? Hebat, Al. Aku percaya."

"Elmira..."

"Aku harus kembali bekerja, Al. Hati-hati di..."

Kebiasaan. Sebelum aku menyelesaikan perkataanku, dia selalu memotongnya dengan perkataan dia dan tingkahnya. Kali ini dia tiba-tiba memelukku lagi. Ya. Dan ini di bawah langit senja. Tepat ketika dulu dia mengakhiri hubungannya denganku.

Hebat. Aku membasahi kemeja putihnya lagi yang lengan kemejanya digulung sampai sikut. Alfian gila. Usia sudah berkepala dua pun dia masih selalu membuatku jatuh cinta padanya.

"Aku tidak peduli. Aku hanya bisa mencintaimu." Bisiknya seolah dia berkata pada dirinya sendiri.

***
Malam lagi. Aku melemparkan tas sembarang ke tempat tidur. Juga tubuhku. Mengingat semua hal yang telah terjadi sepanjang hari ini. Kenapa? Kenapa dia muncul lagi setelah aku bersusah payah membangun pertahanan agar bisa melupakannya? Sia-sia saja selama bertahun-tahun ini usahaku melupakannya.

Aku bergegas pergi mandi dan berganti pakaian. Ah, baju tidur. Apa saja yang aku alami mengapa selalu ada kaitannya dengan Alfian? Baju tidur. Masa bodo. Aku akan tetap memakainya meskipun hari ini aku bertemu dengannya.

Aku melangkah menuju meja makan. Mama dan Papa sudah tiba sore tadi. Mama mengambilkan nasi dan menaruhnya di piringku beserta lauk pauknya. Aku menerimanya dengan wajah ditekuk. Jujur saja aku selalu begini kalau ada hal yang tidak baik terjadi.

"El?" Mama membuyarkan lamunanku. Menghentikan gerakan tanganku yang sedari tadi mengacak-acak nasi tapi aku tidak sadar.

"Makan, sayang. Jangan diacak-acak. Kamu kenapa, sih?" Mama mengelus rambutku yang baru saja kukeringkan dengan hair dryer.

"Besok Papa akan atur jadwal dengan dokter. Kali ini kamu harus mau." Papa memaksaku untuk menemui psikolog. Katanya, dokter itu adalah anak sahabat dekatnya.

Menata Puing HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang