13

20 0 0
                                    

Mataku membelalak lebar ketika Hana bertanya seorang wanita yang bersama Alfian kemarin. Mengapa pula dia bertanya padaku yang juga sama tidak tahunya? Hana mengerutkan dahi. Sementara aku sontak bangun dari dudukku.

"Wanita? Wa... wanita siapa maksudnya?"

"Jadi kamu juga belum tahu? Oh, Ya Tuhan, Elmira. Kemarin aku melihat pemilik perusahaan lampion itu bersama seorang wanita. Aku melihatnya memasukkan wanita itu ke dalam mobilnya. Aku tidak tahu jelas ciri-cirinya. Tetapi, sepertinya mereka sedang bertengkar. Pemilik perusahaan lampion itu dengan kasar mendorong wanita itu masuk ke dalam mobil."

"Ap... apa dia..." Oh, Tuhan. Mengapa napasku tersengal? Aku mulai tidak bisa berpikir jernih. Termasuk pada hal wanita yang bersama Alfian.

"El? Kamu oke?" Hana memandangku dengan perasaan cemasnya.

"Mbak. Sepertinya aku tahu wanita itu siapa."

"Siapa, El? Apa kamu yakin tahu?"

"Iya. Itu sudah pasti dia. Aku tidak mungkin salah."

***

Jauh sebelum kau mengenal dia, aku sudah lebih dulu mengenalmu. Jauh sebelum kau mencintai dia, aku sudah lebih dulu mencintaimu. Jauh sebelum kau menjalani hubungan dengan dia, aku sudah lebih dulu menjalin hubungan denganmu. Pun jauh sebelum kau menyesalinya, aku sudah lebih dulu tersakiti olehmu.

Mengapa? Itu pertanyaan yang selalu aku tawarkan padamu ketika kita mulai saling menaruh harap lagi satu sama lain. Aku sepertinya terlalu bodoh dalam percintaan ini. Benar bahwa cinta segitiga tidak akan pernah berhasil. Dan cinta pertama tidak akan pernah terwujud untuk kembali lagi. Akan selalu ada jarak antara aku dan Alfian. Akan selalu ada dia. Gaby.

Aku memukul-mukul stir mobil sambil menangis. Bahkan aku tidak sadar telah menekan klakson berapa puluh kali di kemacetan malam ini. Sesekali memalingkan wajahku ke jendela mobil. Butir hujan mengembun di balik kaca mobil. Turun terus, menuruni butiran lainnya. Kau sengaja kan? Hujan, kau sengaja turun di saat suasana hatiku seperti ini, bukan? Kau sengaja seolah menjadi pendukungku agar semakin merasakan kekacauan ini.

Ini yang ke-174638 kalinya aku dibodohi perasaanku sendiri. Penyebabnya dia. Penyebabnya kau. Alfian!

Apa memang seperti ini rasanya menjadi yang tak terpilih? Mengasihani diriku sendiri. Mengasihani hatiku sendiri. Sementara kau merajut asa dengannya, aku merajut luka dengan diriku sendiri. Aku tersenyum sambil menangis. Wahai hati, mengapa kau begitu mudah bermain-main denganku? Tidakkah kau melihat kepada kedalaman mataku? Aku sakit.

Oh, Tuhan. Mengapa ini begitu sulit? Setelah sekian tahun aku nyaris berhasil, namun akhirnya aku jatuh ke lubang itu lagi.

***

"El, bagaimana sesi konselingmu?" Papa memulai pembicaraan ketika aku dan Mama mengupas apel yang hendak dimakan sebagai camilan setelah makan malam.

"Begitulah, Pa."

"Apa Yas bersikap baik? Dia tampan, bukan?" Papa antusias membahas Yas. Oh, Papa. Andai saja aku bisa mengatakan padamu bahwa sebenarnya aku sedang tidak ingin membahas Yas, sesi konselingku, atau bahkan Alfian. Hah! Mengapa dia lagi yang terpikirkan oleh benakku? Sial sekali. Bahkan saat aku baru saja mendapatkan nafsu makanku, dia hadir lagi.

"Pa. Sudahlah. Anakmu ini butuh istirahat. Jangan ditanya apa-apa dulu." Mama memang tahu betul perasaanku sedang kacau. Mama mengenal baik anaknya. Matanya masih fokus pada apel yang sedang dikupas.

"Mama ini bagaimana? Ini jelas har-"

"Pa, besok aku ceritakan, ya? Sekarang aku ingin istirahat. Papa makan saja apelku." Aku memberikan sebuah apel pada tangan Papa. Lantas membawa diriku ke kamar.

"Papa sih." Mama mulai menyalahkan sambil bisik-bisik, padahal aku jelas mendengarnya.

"Kok Papa? Kan Papa cuma tanya."

Aku menggelengkan kepala sambil menaiki anak tangga. Mengikat rambutku yang semakin panjang. Ah, aku jadi ingat masa-masaku ketika berlatih tari di sanggar. Mbak Jihan selalu memarahiku jika aku tidak segera mengikat rambutku ketika melakukan latihan gerakan-gerakan tarian. Katanya itu benar-benar mengganggu. Melihat rambutku yang acak-acakan membuat Mbak Jihan risih. Aku benar-benar rindu sanggar.

Kumatikan lampu kamar, lalu kunyalakan laptop. Membuka email-email yang masuk. Membacanya satu per satu. Kebanyakan hanyalah email tawaran kerjasama dari perusahaan-perusahaan furniture.

"Harus berapa kali kubilang? Aku tidak sedang merencakan untuk mengganti dekorasi restoran." Aku berbicara sendiri di depan laptop. Entahlah, mungkin jika orang lain melihatku mereka akan menyangka aku ini gila. Ya. Memang gila.

El, apa kita bisa bertemu? Besok jam 10. Di tempat pertama yang selalu kita sukai.

APA? Berani sekali dia mengirim email padaku? Dan isinya adalah perjanjian untuk bertemu? Hah! Dia benar-benar sudah tidak waras. Di saat suasana hatiku seperti ini, dia berani membuatnya semakin kacau balau? Aku menutup layar dengan keras. Menyandarkan punggung ke kursi. Menyisir rambut dengan jari-jariku. Menariknya keras hingga rambutku kembali amburadul. Ikatannya lepas entah jatuh ke mana. Aku tak peduli.

Aku bangun dari dudukku. Berjalan mondar-mandir di depan tempat tidur sambil menggigit jari. Apa yang harus kulakukan? Sebenarnya aku pun ingin bertemu dengannya. Aku ingin memastikan sesuatu hal. Aku sungguh ingin mengonfirmasi sesuatu. Tapi, jika aku datang dan bertemu dengannya, aku terlalu gengsi. Tidak. Aku tidak akan datang.

"Tuhaaaan, mengapa ini terjadi? Aku ingin pingsan saja hingga besok sore." Aku menjambak rambutku sendiri. Lantas menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur.

Aku menutup wajahku dengan bantal. Menendang-nendangkan kaki ke udara. Lantas kusingkirkan bantal dari wajahku. Aku tidak bisa bernapas ternyata.

Aku bangun dari tidur. Duduk sambil memijat-mijat pangkal hidungku. Otakku mencoba untuk berpikir namun mengapa aku merasa tidak bisa berpikir saat ini. Aku merasa otakku berhenti sekejap. Oh, ayolah! Aku membutuhkan jawabannya sekarang.

***

Kubuka pintu dengan suara deritannya yang khas. Ternyata tidak dikunci. Apa dia sudah datang? Ah, tidak mungkin. Aku menyangka bahwa petugas sudah datang dan sedang membersihkan ruangan. Aku berjalan. Ke tempat itu. Perlahan sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Ke sekeliling.

Aku memutar tubuh. Tidak juga kujumpai dia. Bagus sekali. Apakah saat ini aku sudah masuk dalam perangkapnya? Sepertinya dia mempermainkanku. Bodoh sekali aku ini. Seharusnya aku sudah menyangka akan seperti ini jadinya.

Ketika aku hendak melangkah meninggalkan tempat itu, sebuah suara kudengar samar-samar. Aku berhenti. Lantas mencari sumber suara itu. Aku tahu. Aku tahu suara ini. Aku tahu. Jelas aku tahu. Ini adalah lagu yang kusuka.

Aku berlari sambil memegangi tas yang menggantung di pundak kananku.

"Kau masih ingat lagu dan gerakannya?" Dia bertanya sambil tersenyum tanpa dosa.

***

*-* Terimakasih kepada yang sudah membaca. Jangan lupa berikan komentar dan vote yaaa. Sedikit banyaknya kritik dan saran sangat berarti buatku yang masih belajar.

*-* Dilarang keras melakukan plagiarisme! Tahu, kan? Penjiplakan yang melanggar hak cipta. Semua pengarang tentu tidak ingin karyanya dijiplak oleh oknum tidak bertanggungjawab.

*-* Terimakasih atas kerjasamanya. Tunggu bagian selanjutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menata Puing HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang