#3

30 3 2
                                    

Dia selalu kembali menggeluti bukunya di waktu yang senggang. Yang terlintas dipikirannya hanya betapa palsu hidup yang dimilikinya, tak ada hal yang ia berikan kepada orang lain, tapi orang lain selalu memberinya. Teman, sahabat, rasa kasih sayang, peduli, dan juga rasa sakit, hancur, ditinggalkan, dikhianati, dibuang.
Yang disadarinya hanya semakin banyak kau memberi semakin banyak pula menerima. Dan semua itu tentu punya resiko. Oleh karena itu dia tidak ingin memberikan hal-hal khusus yang ia miliki kepada orang lain.
Kembali, harinya terasa kembali terulang. Dia berjalan pelan untuk sampai ke rumah. Namun kembali terhenti di jalan dekat sungai. Bosan menatap langit dan gemerlap sungai yang memantulkan cahaya sore, dia membuka buku sambil minum dari botol air yang dia bawa dari rumah. Dan sekali lagi, sudut matanya menangkap seorang lelaki yang duduk memeluk lututnya.
Kali ini terlihat jelas rambutnya memang hampir menutupi sebagian wajahnya, rambut itu berwarna cokelat. Tubuhnya dibalut oleh pakaian serba hitam. Lelaki itu hampir menoleh saat Axel langsung saja memalingkan wajahnya dan kembali pada bukunya.
Sampai malam hari, lelaki itu tidak berkutik dari tempatnya. Sementara Axel menutup bukunya karena sudah kesulitan membaca. Kepalanya mulai kembali terasa sakit dan tanah disekitarnya terasa berputar. Kunang-kunang bermunculan di dalam pandangannya yang telah sayu. Axel melepaskan ikatan rambut yang terasa semakin memperparah rasa sakitnya.
Tak lama rasa sakit itu menghilang, setelah mengikat rambutnya, dia berjalan gontai ke rumah. Tanpa memikirkan lelaki itu, karena dia tidak merasa ada yang membuntutinya dari tadi. Sesampainya di rumah, kembali dia mendapat tamparan, kali ini empat kali dan jauh lebih parah sampai bibirnya berdarah. Kembali dia memberikan daftar nilai, dan berhasil masuk kamar.
Tiba-tiba lelaki berambut coklat tadi memasuki pikirannya ketika dia sedang belajar. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Berbeda dari hari sebelumnya. Dan dia menyadari bahwa hal yang berbeda itu adalah bahwa jarak lelaki itu semakin mendekatinya. Segera dia menghilangkan pikiran itu dan segera belajar.
Masih terulang, dan kali ini lelaki itu lebih dekat. Entah berapa jarah yang diambilnya, tapi kian hari lelaki itu semakin dekat dengan tempat yang biasanya diduduki oleh Axel. Hingga suatu hari, dengan beban yang makin menumpuk dibahu lelahnya, lelaki itu kini duduk di sisi Axel, masih sama dan tidak mengatakan apapun.
Dan keesokan harinya lelaki itu mulai berbicara pada Axel. "Aku bukan penguntit seperti yang ada dalam pikiranmu, Axelia." Katanya dengan nada ragu, mata coklatnya lurus menatap gadis yang sedang membaca buku itu. Merasa ada yang meminta balasan, tanpa menatap balik lelaki itu, Axel menjawab. "Aku juga tidak terlalu peduli, selama kau tidak menggangguku." Nada bicara Axel sangat datar.
"Dan begitulah nada bicaramu yang sebenarnya, Axel. Bukan ceria dan penuh senyuman, hanya nada bicara yang datar, penggambaran penuh dari goresan kepedihan, rasa sakit, sepi, gelap, bosan, benci, dan setiap beban yang tak pernah ringan. Kau sungguh tabah." Kepalanya yang dipenuhi buku langsung merubah isinya.
Axel langsung menatap lurus mata cokelat indah milik lelaki itu. "Siapa kau?," lelaki itu tersenyum lembut. "Akhirnya kau melihatku. Aku Slaine. Panggil saja begitu. Asal tau saja, aku sudah lama mengamatimu. Mungkin aku tidak dapat memahamimu karena aku ini orang asing. Tapi bukankah kau merasa begitu?, kau merasa diasingkan oleh duniamu sendiri. Bahkan kau sudah lupa caranya menangis." Dia mengalihkan tatapannya dari lelaki itu. "Kenapa kau peduli?," ekor mata Axel menangkap senyuman lelaki itu lagi.
"Sel, kenapa bibirmu terluka?, kau menyembunyikannya dengan memakai masker kan?, berkata bahwa kau sedang flu tapi tengah menutupi luka itu." Masker itu sudah menjadi kebiasaan untuk dipakainya akhir-akhir ini, sehingga sering kali terabaikan. "Maaf jika lancang, apa boleh aku melihatnya?, hanya ingin mengetahui itu luka seperti apa." Axel menghela nafas, dia menutup bukunya dan memasukannya ke dalam tas. Lalu membuka masker yang ia kenakan.
"Kenapa sampai bengkak begini?, apa kau tidak mengobatinya?," Axel hanya menggeleng pelan. "Benar. Lagi pula ini semua sudah tidak ada artinya lagi 'kan?, tapi kau masih melakukannya. Pulang malam hari dan terbebas setelah memberikan daftar nilai. Selalu saja begitu. Itu artinya kau masih ingin hidup, Axel."
Dia menampik tangan Slaine. "Maaf, Slaine. Tapi semua yang kujalani tidak ada urusannya denganmu. Aku punya alasan kenapa aku masih melakukannya. Kenapa aku berusaha untuk mendapatkan nilai bagus, selain menghindari perkataan kasar orang tuaku. Dengan begitu aku juga bisa memiliki teman. Aku masih ingin berbuat baik dengan seseorang. Setidaknya mereka menganggap keberadaanku ini benar adanya. Bukan kesalahan."
"Kau banyak bicara juga ternyata." Slaine menatapnya dengan tatapan menelisik, seakan dia mampu melihat segala yang ada di dalam dirinya. Lalu dia memeluk gadis itu, mengelus kepalanya dengan pelan, membagi kehangatan di antara mereka berdua. "Aku mengerti Axel. Aku tau kau tidak pernah baik-baik saja. Berhentilah berbohong. Lepaskan topengmu. Kau telah frustasi akan hidup ini 'kan?," Slaine mengendurkan pelukannya dan menatap mata biru Axel yang berkilauan tanpa meneteskan air mata.
"Aku harus pulang." Slaine menahan tangannya. "Tapi.., keadaanmu akan semakin memburuk, Axelia." Axel berbalik dan tersenyum hangat. "Tenang saja, aku bisa menghadapi semuanya sendiri, Slaine. Tidak peduli seberat apapun itu. Aku bisa melakukannya. Akan kuhadapi sampai akhir."

***















; Hello readers..., ;
; Thank you for reading.., ;
; O iya, Author mau bilang aja kalo cerita ini bakal lanjut kalo votenya udah sampai 10 💫. Jadi mohon votenya ya.., ; 😋😄💞💞💞

Come Back To You {FINISHED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang